Aku terlahir di jaman yang salah.
Aku tumbuh di jaman yang salah.
Aku hidup di jaman yang salah.
Waktu itu umurku hampir menginjak 3 tahun. Entah kenapa Ibuku memutuskan untuk memasukkanku ke Taman Kanak-Kanak. "Numpang duduk", itu istilah mereka saat itu. Yep, itu karena mereka menganggap anak umur 3 tahun belum mampu menerima pelajaran untuk anak TK yang rata-rata berumur 4 tahun.
Setahun berlalu. Dari yang tadinya kelas Nol Kecil, aku pun ikut naik ke kelas Nol Besar bersama anak-anak lainnya. Setahun berikutnya saat mereka lulus dari TK dan masuk SD, akupun ikut masuk SD. Seorang anak TK yang tadinya "numpang duduk" berakhir masuk SD unggulan pada saat usianya hampir 5 tahun.
Begitulah dunia pendidikan kujalani. Aku selalu setahun lebih muda dari teman-teman sekelasku yang lainnya. Aku selalu menjadi yang termuda diantara teman-teman seangkatanku.
Have you ever seen a kitten soooo damn cute and you just want to hug it? Or if you don't like felyne, you can change it to puppy or calf or another animal. Still no? How about newborn baby. Still no? Then I give up.
Pernah suatu hari waktu aku masih kelas 3 SD, guruku tak sanggup menahan hasratnya. Kebetulan waktu itu aku duduk di deretan paling depan. Sembari menjelaskan pelajaran, dia menghampiri mejaku.
"Coba kalian liat pipinya yang mulus ini", ujarnya sambil mencubit pipiku.
Tentu saja aku cuma diam. Saat itu aku masih kelas 3 SD yang tidak mengerti apa-apa. Polos.
Karena yang paling mudah terpengaruh oleh ke'unyu'an adalah perempuan, akibatnya daftar temanku kebanyakan diisi oleh orang-orang dengan jenis kelamin perempuan. Dan karena aku agak pendiam, maka aku agak susah berteman dengan anak laki-laki. Kalau dijadikan persentase, mungkin 70-30 lah.
Efek samping lainnya mulai terlihat pada saat aku menginjak SMA, saat para anak muda mulai mengenal yang namanya cinta.
Aku yang pendiam hampir tidak punya teman selain dari teman-teman sekelasku. Otomatis, orang yang kusuka juga berasal dari kelas yang sama. Sialnya, aku selalu lebih muda dari orang yang kusuka.
"Berondong". Istilah anak muda kekinian yang mengacu kepada seorang laki-laki yang lebih muda daripada pasangannya. Konotasi kata "berondong" sendiri lebih ke arah negatif. Kalau seorang perempuan punya pacar berondong, itu sama saja dengan aib.
Aku yang tidak bisa berbuat apa-apa dengan umurku, akhirnya berusaha mencari jalan keluar lain. Dan jawaban yang terlahir adalah persona. Aku menciptakan sebuah sosok lain dalam diriku, sosok yang lebih dewasa.
Ketika aku berusaha berkenalan dengan teman-teman baru, aku menonjolkan sisi 'anak kecil' ku.
Ketika aku ingin membuat mereka kagum kepadaku, aku menonjolkan sisi 'dewasa' ku.
Entah karena cara ini atau bukan, aku berhasil menjalin beberapa kali hubungan dengan menyandang status "berondong".
Suatu hari yang cerah di bangku kuliah aku bertemu dengan seseorang yang membuat duniaku lebih galau dari yang pernah terjadi.
Dia orang biasa, bukan orang yang punya bentuk tubuh ataupun wajah bagai artis. Dan seperti biasa, semua dimulai dengan 'ga ada apa-apa'.
Semakin lama aku mengenalnya, semakin terlihat potensi aslinya. Yang pertama terlihat adalah koleksi buku nya.
"It's said that to understand someone, one just needed to look at their bookshelf." Rak bukunya, atau mungkin lebih cocok disebut daftar buku yang pernah dibacanya, dipenuhi dengan novel-novel masterpiece dari pengarang-pengarang kelas dunia. Tolkien, Tolstoy, you name it. Rata-rata judul buku yang belum pernah kudengar. Setelah kubaca salah satu diantaranya, akupun langsung menaruh hormat kepadanya.
Yang kedua adalah sifatnya yang juga bisa dibilang memiliki dua persona sepertiku. Dia punya sisi kekanakan yang kadang ditunjukkannya pada saat santai, dan dia juga punya sisi dewasa yang bisa diandalkan disaat serius. Aku serasa melihat cerminan diriku pada dirinya.
Yang ketiga adalah kelakuannya yang 'nyeleneh'. Tak jarang aku dijadikan kelinci percobaannya. Hanya untuk memuaskan hasrat ingin tahunya tentang cara berpikir manusia.
Terlepas dari segudang keunikan lain yang menyelimuti dirinya kuharap tiga poin itu bisa memberikan kalian gambaran yang jelas tentang seperti apa dia sebenarnya.
Dan kuputuskan untuk mengejarnya.
Karena dia satu tingkat diatasku, semuanya serasa lebih susah.
Pertama, bagaimana cara memanggilnya tanpa tambahan 'kak'. Seperti yang sudah kuberitahu diatas, "berondong" masih dianggap aib sampai saat ini. Kalau aku memanggilnya menggunakan tambahan 'kak' maka di benaknya akan tertanam kalau dia lebih tua dariku. Tapi kalau aku memanggilnya tanpa tambahan 'kak' maka aku akan dianggap tidak sopan dan kurang ajar. Karena itulah aku berusaha sebisa mungkin menghindari memanggilnya. Semua percakapan dilakukan tanpa aku pernah menyebut 'kamu' ataupun 'kak'.
Salah satu cara paling efektif adalah menggunakan 'you'; sebuah kata dalam bahasa inggris yang bisa digunakan kepada orang yang lebih tua tanpa mengurangi rasa hormat sedikitpun. Karena kalau mengucapkan kata-kata dalam bahasa inggris bisa memicu perhatian berlebih dari orang sekitar, akupun memutuskan hanya menggunakannya pada sesi chatting.
Setahun, dua tahun berlalu. Aku yang tadinya hanya berani menggunakan you, perlahan-lahan mencoba menggunakan 'kamu'. Aku yang tadinya hanya berani menggunakan 'saya' atau I, perlahan-lahan mencoba menggunakan 'aku'. Satu hal yang aku belum berani untuk mencoba; memanggilnya menggunakan namanya, Nana.
Singkat cerita kami berdua lulus kuliah dan melanjutkan hidup di kota terpisah. Dia kembali ke kampung halamannya di Jakarta dan melanjutkan kuliah S2 nya disana, sedangkan aku mendapatkan pekerjaan di Surabaya.
Suatu hari untuk pertama kalinya aku melakukan perjalanan dinas ke jakarta untuk bertemu klien. Langsung aku menghubunginya dan mengajaknya bertemu. Akhirnya diputuskan kami akan bertemu siang itu di sebuah toko buku yang berjarak tidak terlalu jauh dari hotel tempatku menginap.
Toko buku yang katanya 'tidak terlalu jauh' tadi setelah dilihat-lihat berjarak sekitar 5KM. Sugesti 'tidak terlalu jauh' tadi jugalah yang membuatku memutuskan berjalan kaki di tengah terik matahari jakarta, berjalan sejauh 5KM. 'Tidak terlalu jauh' inilah yang membuatku membenci Jakarta.
Secapeknya (sesampainya) di toko buku yang telah dijanjikan, aku langsung mencarinya. Setelah menemukannya, diam-diam aku menghampirinya yang sedang serius melihat-lihat sebuah buku.
"Hei," sapaku tiba-tiba di belakangnya.
Dia menoleh kearahku, lalu lanjut membolak-balik halaman buku di tangannya. Tak lama kemudian dia menaruh buku itu kembali ke raknya, dan dia berjalan menjauh tanpa berbicara atau melihat kearahku.
Aku mengambil buku yang tadi dibacanya dan melihat-lihat isinya. Tak lama kemudian handphoneku bergetar. Ada pesan masuk darinya yang berbunyi:
"Lunch's on you".
Aku tersenyum simpul. Meletakkan buku yang kupegang kembali ke raknya lalu berjalan dengan santai ke kasir, tempat dia menunggu.
"Nih," ujarnya sambil menyodorkan Teh Kotak yang dibelinya di kasir. "Cuma orang bodoh yang mau jalan kaki sejauh itu di siang bolong kayak gini. Apalagi ini jakarta." sambungnya.
Aku cuma bisa tertawa kering.
Kami berdua pun pergi ke sebuah restoran yang terletak tak jauh dari toko buku itu. Kali ini beneran dekat, tak sampai 100 meter. Selama sesi makan siang itu aku merasa aku terlalu banyak memandanginya. Sedangkan dia seperti biasa, selalu mendominasi percakapan.
Setelah makan siangku selesai, dia pulang ke rumahnya dan aku kembali ke hotel. Kali ini aku tidak bodoh, aku memesan taksi.
Suatu hari, dia kembali melakukan percobaan psikologisnya kepadaku.
"if I coult grant you 3 questions to answer, what would you ask me?"
Jeger. Ini percobaan paling berbahaya sejauh ini. Di kondisi kayak gini, orang normal mungkin bakal nanya pertanyaan semacam "km suka sama aku ato gak?", "mau gak jadi pacar aku", atau "menurut km aku orangnya gmn?" ato sejenisnya. Tapi aku tau ini salah satu percobaannya, dan akhirnya aku sekuat tenaga menahan diri tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan normal itu, dan menanyakan pertanyaan lebih normal lainnya:
1. Would you answer my second question?
2. Would you answer my third question?
3. What would your answer be if I ask you to marry me?
Hey, I mean we already at that age where we do date seriously.
Many of our friends already married.
I have a job. I make more than I can spend by myself, alone.
I want you. As simple as that.
Salah seorang teman baikku pernah bertanya kepadaku:
"Pernahkah kau bertemu seorang perempuan, lalu sesuatu terlintas di benakmu; 'Dia pasti bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku'?"
Kupikir saat ini aku telah menemukannya.
Balik ke pertanyaan tadi. Jawaban darinya:
1. Yes
2. Yes
3. Is that a serious question?
Daaaaaaaaamn. Why you mess up with the most important question! Aku terdiam. Aku yang tadinya sudah bersiap dengan jawaban Ya atau Tidak, jatuh. Tak sedikitpun pernah singgah di benakku kalau dia akan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain. KZL!!
Setelah sekian lama diam, akhirnya dia menjawab serius.
"I will marry someone soon"
"Whoa? That's new. Who might that lucky person be?"
"I can't tell you right now"
Saat itu juga aku merasa lelah. Aku cuma terdiam. Aku ingin cepat pulang dan kembali ke kasurku, segera tidur.
"Please don't be sad. I know you would ask something like that to me. And that's why I asked you that question in the first place. So you could be the first one to know that I am going to get married soon"
Aku masih diam.
"I don't know if this could make you feel better. But FYI, I adore you"
Aku hancur.
Orang bilang obat mujarab pasti pahit. Tapi ini terlalu pahit.
"Janganlah kamu meminang pinangan orang lain". Dengan berpegang teguh pada keyakinanan itu, aku berusaha mundur perlahan.
Setengah tahun setelah kejadian itu aku masih belum mendengar kabar rencana pernikahannya. Di ujung hati kecilku aku masih berharap bahwa apa yang dikatakannya malam itu adalah suatu kebohongan, white lie.
I do hope so.
------
Yeeey jadi juga. Semoga sesuai ama apa yang dibayangin kak Wulan :3
Tadi sore gue ngasih cerita Realize ke Tiara, dan komentarnya setelah baca adalaaah,, gue dibilang Alay -_-. Yaudah, sekalian aja diterusin. Jujur pas nulis ini gue berasa alay banget, te. Puas lo?
Kali ini minjem nama Nana tanpa ijin. Karena sesuatu dan lain hal, gue rasa nama ini cocok dipasang di cerita ini :)
Elemen pertanyaan pamungkas itu juga (rasanya) cuocok sekali dipake di tulisan ini, karena itu gue tambahin~
Anyway, enjoy :)
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar