November 2015, Subuh Hari-H
Pagi-pagi buta dia sudah bangun. Dengan menenteng tote bag yang menggembung kepenuhan bergegas dia menuju garasi. Dipanaskannya motornya barang semenit dua. Kemudian dipacunya motor itu menuju sebuah salon.
Meskipun matahari masih belum terbit, salon itu sudah sangat ramai. Parkirannya membludak sampai memakan sebagian bahu jalan. Mulai dari mobil sampai sepeda motor terlihat berebut lahan.
"Gausah kunci stang yah", ujar si tukang parkir kepadanya.
Dimatikannya mesin motornya, lalu setengah berlari dia bergegas menuju ke dalam. Sesuai dugaannya, kacaunya keadaan di tempat parkir nampaknya sudah merambat sampai ke dalam. Beberapa penata rias sudah sangat sibuk memainkan rambut pelanggannya. Beberapa terlihat sedang memoles wajah pelanggan yang lain. Sementara di tempat tunggu terlihat beberapa bapak-bapak sedang asyik menikmati majalah yang disediakan. Beberapa malah terlihat memejamkan mata melanjutkan tidur yang terganggu. Sedangkan ibu-ibu yang mendominasi 50 persen tempat tunggu itu terlihat memandang cemas ke arah 'pasien' para penata rias. Ironisnya para pasien itu tidak berekspresi. Kebanyakan malah terlihat sedang sekuat tenaga menahan kantuk.
Sambil mengatur napas dia berjalan santai menuju resepsionis. Ditunjukkannya struk yang sekaligus menjadi bukti bahwa dia telah membuat janji sebelumnya. Resepsionis yang masih setengah sadar itu pun menyerahkan nomor antrean kepadanya. "Antri empat yah. Silakan tunggu aja di ruang tunggu" ucapnya sambil menunjuk ruang tunggu yang tak kalah ramai dari pasar subuh.
Matanya menatap tajam ke arah bangku kosong di pojok belakang. Dengan langkah cepat ia bergegas menuju ke sana. Sambil duduk, dia memperhatikan sekelilingnya. Lima menit kemudian dia pun ikut tertidur.
*****
"Dua belas. Nomer dua belas", kata salah seorang penata rias sambil setengah berteriak. Seketika itu pula dia terjaga. Sambil mengumpulkan serpihan kesadarannya, dia bangkit dan berjalan menuju ke arah asal suara.
Setelah duduk di kursi 'pasien', dia hanya bisa pasrah mengikuti kemauan sang 'dokter'. Mulai dari rambut yang di'olah' sedemikian rupa, wajah yang dibedak tebal untuk menutupi bekas-bekas jerawat ataupun tahi lalat, maskara, celak, sampe blush on. Paket komplit, tak kalah dengan riasan pengantin. Nampaknya sang 'dokter' tak mengindahkan permintaannya supaya didandani biasa-biasa saja. Secukupnya.
Selesainya dari bagian kepala mulailah sang perias memasangkan kebaya. Ukuran kebayanya pun termasuk susah dicari. Setelah berminggu-minggu berkeliling pasar hanya untuk mendapati bahwa tak ada satu pun toko yang menjual kebaya yang sesuai ukurannya, lalu akhirnya menyerah dan masuk ke toko penjahit. Konsekuensi orang dewasa yang terjebak di tubuh yang lebih cocok disebut "anak kecil".
*****
Saat matahari sudah mulai meninggi dan jalanan sudah mulai ramai, saat itu pula dandanannya selesai. Diambilnya wedges dari tote bagnya, berusaha menambah tinggi badan barang 5 senti. Dengan ragu dia mulai berdiri didepan cermin, membolakbalikkan badan untuk memastikan konsistensi kerapihan tampak depan maupun belakang. Dikeluarkannya toga yang ukurannya juga sudah dikecilkan. Kembali dia berjalan menuju cermin. Setelah puas, dibungkusnya lagi wedges itu.
*****
"Neng yakin mau bawa motor sendiri?" tanya sang tukang parkir kepadanya.
"Eh? Iya pak, gapapa"
"Nanti dandanannya rusak di jalan loh, neng. Mending naik taksi. Nanti saya bantu carikan."
Sedetik kemudian otaknya mulai menyimpulkan fakta-fakta itu dan mengutuki dirinya sendiri atas kebodohannya. Gimana bisa bawa motor pake kebaya, toga, dan dandanan lengkap kayak gini. "Ta Ta. Dodol banget sih jadi orang", batinnya.
Lima menit kemudian dia sudah berada di dalam taksi menuju kampus.
"Hei, Ta. Siniii", terdengar teriakan seseorang. Dia yang sedari tadi terhipnotis oleh baliho super besar dan membentang dari lantai 3 gedung pun menoleh-noleh mencari asal suara. Senyum mulai menghiasi wajahnya setelah dia melihat bahwa yang memanggilnya adalah teman dekatnya.
"Ngapain lo disana tadi?"
"Ga ngapa-ngapain, kok. Cuma ngeliatin nama-nama yang cum laude. Dari jurusan kita ternyata ga banyak, ya."
"Dih. Mentang-mentang namanya dipajang di baliho, lalu berasa terkenal. Jangan-jangan udah lo foto juga itu baliho", godanya.
"Ahahaha" tawanya setengah dipaksa. Sambil berdoa semoga sahabatnya itu tadi tidak melihatnya mengambil foto baliho tersebut.
"Yuk ngumpul. Bentar lagi kita disuruh masuk, nih"
Dia kegerahan. Lebih parah lagi, dia bosan. Di ruangan ekstra besar cuma ada sekitar 20 AC yang tertempel di pinggir ruangan. 20 AC berukuran imut itu pasti bekerja ekstra keras menyediakan udara segar bagi seribu orang yang mengenakan Toga, ditambah dua ribu tamu undangan yang berjubel memenuhi ruangan. Tentunya hal itu tidak berhasil, dan sekitar tiga ribu orang itu tetap terlihat kegerahan. Gerah dan bosan.
Akhirnya mulailah puncak acara yaitu pemindahan tali toga sekaligus pembagian ijazah. Satu per satu wisudawan dipanggil menaiki panggung untuk dipindahkan tali toganya dan diberi ijazah. Gilirannya tiba. Dengan gugup dia berjalan menuju panggung sembari berdoa agar tidak terjatuh karena belum terbiasa dengan wedges dan kebaya dibalik toganya. Diingat-ingatnya pula pesan ayahnya; "Jangan menunduk saat menerima ijazah, biar fotomu bagus".
Semua berjalan lancar. Dia kembali ke tempat duduknya dengan selamat.
Selain itu dia juga menerima hadiah ekstra berupa setangkai mawar putih dari Rektor.
*****
Setelah semua wisudawan mendapatkan ijazah mereka dan kembali ke tempat duduk masing-masing, MC pun melanjutkan ke acara selanjutnya. Piano yang berada di pinggir ruangan tiba-tiba berbunyi, mengalunkan nada-nada mellow. Pianis yang juga salah satu wisudawan itu memainkan versi instrumen dari lagu Bunda yang dipopulerkan oleh Melly Goeslaw.
MC tiba-tiba berbicara.
"Kepada teman-teman yang tadi menerima setangkai mawar, momen ini khusus diberikan kepada teman-teman. Teman-teman boleh pergi ke orangtua teman-teman sekalian yang sedang duduk di area penonton, dan memberikan bunga itu sebagai tanda syukur teman-teman kepada mereka. Silakan"
Para penerima bunga, yang ternyata sekaligus para lulusan cum laude, berdiri. Mereka berjalan ke arah bangku penonton yang dipenuhi orangtua wisudawan dengan diiringi alunan piano yang sangat mengundang air mata. Kamera mengikuti langkah beberapa dari mereka yang sedang sibuk menoleh kanan kiri untuk mencari anggota keluarganya. Memproyeksikan kegiatan mereka ke layar yang ada di panggung. Wisudawan lain pun dapat menyaksikan momen ini tanpa harus menoleh ke arah bangku penonton yang berada di belakang.
Di acara sesakral dan seindah ini, pun tetap ada seorang anomali.
Tata. Dia tidak beranjak dari kursinya. Pandangannya kosong ke arah layar di atas panggung. Tangannya menggenggam erat mawar putih yang durinya sudah dibuang itu. Sesekali menunduk untuk memandangi putihnya mawar.
"Eh, Ta. Lo ga ngasih bunga itu?" tunjuk temannya ke mawar yang dengan erat digenggamnya.
"Oh", setengah kaget dia tersadar dari lamunannya. "Ga, Din. Gue disini aja. Males jalan-jalan"
"Dih. Ga takut dianggap durhaka, lo?"
Seketika jantungnya berdegup keras. Satu detakan. Dengan kekuatan yang berkali-kali lipat lebih keras dari normal. Darahnya berdesir kencang.
"Ahahaha", lagi-lagi dikeluarkannya tawa yang agak dipaksa itu.
Hatinya menangis.
"Serius nih lo mau ngasih ini undangan, Ta?"
"Iya buat apa gue becanda. Lo lagi butuh undangan lebih, kan?"
"Iya, sih. Oma Opa gue tiba-tiba pengen ikut masuk juga, tapi jatah undangan gue udah dipake bokap nyokap. Kalo gue pake undangan ini, orang tua lo gimana, dong?"
"Mereka tiba-tiba ga bisa dateng, Cin. Makanya daripada nganggur mending ini undangan lo yang pake"
"Bentar gue telpon nyokap gue dulu ya", balasnya ragu.
"Nih, Ta", dia menyodorkan uang seratus ribu. "Kata nyokap gue, beli aja"
"Wah. Gausah dibayar segala, Cin. Gue ikhlas, kok"
"I insist! Or to be exact, my mother does!"
"Hello, Mommy. Akhir bulan depan ada wisuda. Kalo aku daftar, Mommy and Daddy bisa dateng, gak?"
"Wow! That's nice, Honey. I'll tell your father. We'll be there for sure"
Stasiun televisi menayangkan berita mengenai pengeboman di Paris. Bergegas dia meraih ponselnya, berusaha menghubungi kedua orangtuanya. Keduanya tengah merayakan ulang tahun pernikahan, yang dirayakan dengan cara berkeliling eropa sambil napak tilas mengenang masa muda.
Telepon itu tidak pernah tersambung.
------------------------------
Yeeey. Ketemu lagi. Syudah lama syekali kayaknya ga nulisnulis. Karna kebetulan akhir november ini ada teman yang wisuda, sekalian deh nulisnulis tentang wisuda. Wawawawaaaaa.
Sabtu kemaren baru beres garap Supernova: Petir nya Dee. Pas nulis ini, yang dibayangin adalah Etra. Tentu saja semua dikarenakan kelakuannya di buku Petir yang kocak luar biasa. Sampai akhirnya melekat di otak dan langsung menempati posisi teratas dalam daftar tokoh favorit dari seri Supernova.
Q: Udah? Segitu doang tamat?
A: Iyes. Hamba bingung. Semedi sambil mencret pun tak menghasilkan inspirasi tambahan.
Q: What happened with her parents?
A: Who knows. Meninggal, hilang ingatan, hape nya hilang, atau lusinan alasan lain, you mention it. Let your imagination runs wild.
Q: Why even her best friend doesn't know about her condition?
A: Mungkin dia tertutup. Nuff said.
Q: Kenapa dia segitu bodohnya sampe bawa motor sendirian ke salon?
A: Entah, mungkin masih syok.
Q: Apa kabar motornya yang ditinggal di salon?
A: Mungkin dijual sama si tukang parkir.
Dah ah, segini aja.
I lay my pen down.
Sambil mengatur napas dia berjalan santai menuju resepsionis. Ditunjukkannya struk yang sekaligus menjadi bukti bahwa dia telah membuat janji sebelumnya. Resepsionis yang masih setengah sadar itu pun menyerahkan nomor antrean kepadanya. "Antri empat yah. Silakan tunggu aja di ruang tunggu" ucapnya sambil menunjuk ruang tunggu yang tak kalah ramai dari pasar subuh.
Matanya menatap tajam ke arah bangku kosong di pojok belakang. Dengan langkah cepat ia bergegas menuju ke sana. Sambil duduk, dia memperhatikan sekelilingnya. Lima menit kemudian dia pun ikut tertidur.
*****
"Dua belas. Nomer dua belas", kata salah seorang penata rias sambil setengah berteriak. Seketika itu pula dia terjaga. Sambil mengumpulkan serpihan kesadarannya, dia bangkit dan berjalan menuju ke arah asal suara.
Setelah duduk di kursi 'pasien', dia hanya bisa pasrah mengikuti kemauan sang 'dokter'. Mulai dari rambut yang di'olah' sedemikian rupa, wajah yang dibedak tebal untuk menutupi bekas-bekas jerawat ataupun tahi lalat, maskara, celak, sampe blush on. Paket komplit, tak kalah dengan riasan pengantin. Nampaknya sang 'dokter' tak mengindahkan permintaannya supaya didandani biasa-biasa saja. Secukupnya.
Selesainya dari bagian kepala mulailah sang perias memasangkan kebaya. Ukuran kebayanya pun termasuk susah dicari. Setelah berminggu-minggu berkeliling pasar hanya untuk mendapati bahwa tak ada satu pun toko yang menjual kebaya yang sesuai ukurannya, lalu akhirnya menyerah dan masuk ke toko penjahit. Konsekuensi orang dewasa yang terjebak di tubuh yang lebih cocok disebut "anak kecil".
*****
Saat matahari sudah mulai meninggi dan jalanan sudah mulai ramai, saat itu pula dandanannya selesai. Diambilnya wedges dari tote bagnya, berusaha menambah tinggi badan barang 5 senti. Dengan ragu dia mulai berdiri didepan cermin, membolakbalikkan badan untuk memastikan konsistensi kerapihan tampak depan maupun belakang. Dikeluarkannya toga yang ukurannya juga sudah dikecilkan. Kembali dia berjalan menuju cermin. Setelah puas, dibungkusnya lagi wedges itu.
*****
"Neng yakin mau bawa motor sendiri?" tanya sang tukang parkir kepadanya.
"Eh? Iya pak, gapapa"
"Nanti dandanannya rusak di jalan loh, neng. Mending naik taksi. Nanti saya bantu carikan."
Sedetik kemudian otaknya mulai menyimpulkan fakta-fakta itu dan mengutuki dirinya sendiri atas kebodohannya. Gimana bisa bawa motor pake kebaya, toga, dan dandanan lengkap kayak gini. "Ta Ta. Dodol banget sih jadi orang", batinnya.
Lima menit kemudian dia sudah berada di dalam taksi menuju kampus.
November 2015, Didepan Aula
"Hei, Ta. Siniii", terdengar teriakan seseorang. Dia yang sedari tadi terhipnotis oleh baliho super besar dan membentang dari lantai 3 gedung pun menoleh-noleh mencari asal suara. Senyum mulai menghiasi wajahnya setelah dia melihat bahwa yang memanggilnya adalah teman dekatnya.
"Ngapain lo disana tadi?"
"Ga ngapa-ngapain, kok. Cuma ngeliatin nama-nama yang cum laude. Dari jurusan kita ternyata ga banyak, ya."
"Dih. Mentang-mentang namanya dipajang di baliho, lalu berasa terkenal. Jangan-jangan udah lo foto juga itu baliho", godanya.
"Ahahaha" tawanya setengah dipaksa. Sambil berdoa semoga sahabatnya itu tadi tidak melihatnya mengambil foto baliho tersebut.
"Yuk ngumpul. Bentar lagi kita disuruh masuk, nih"
November 2015, Acara Wisuda
Dia kegerahan. Lebih parah lagi, dia bosan. Di ruangan ekstra besar cuma ada sekitar 20 AC yang tertempel di pinggir ruangan. 20 AC berukuran imut itu pasti bekerja ekstra keras menyediakan udara segar bagi seribu orang yang mengenakan Toga, ditambah dua ribu tamu undangan yang berjubel memenuhi ruangan. Tentunya hal itu tidak berhasil, dan sekitar tiga ribu orang itu tetap terlihat kegerahan. Gerah dan bosan.
Akhirnya mulailah puncak acara yaitu pemindahan tali toga sekaligus pembagian ijazah. Satu per satu wisudawan dipanggil menaiki panggung untuk dipindahkan tali toganya dan diberi ijazah. Gilirannya tiba. Dengan gugup dia berjalan menuju panggung sembari berdoa agar tidak terjatuh karena belum terbiasa dengan wedges dan kebaya dibalik toganya. Diingat-ingatnya pula pesan ayahnya; "Jangan menunduk saat menerima ijazah, biar fotomu bagus".
Semua berjalan lancar. Dia kembali ke tempat duduknya dengan selamat.
Selain itu dia juga menerima hadiah ekstra berupa setangkai mawar putih dari Rektor.
*****
Setelah semua wisudawan mendapatkan ijazah mereka dan kembali ke tempat duduk masing-masing, MC pun melanjutkan ke acara selanjutnya. Piano yang berada di pinggir ruangan tiba-tiba berbunyi, mengalunkan nada-nada mellow. Pianis yang juga salah satu wisudawan itu memainkan versi instrumen dari lagu Bunda yang dipopulerkan oleh Melly Goeslaw.
MC tiba-tiba berbicara.
"Kepada teman-teman yang tadi menerima setangkai mawar, momen ini khusus diberikan kepada teman-teman. Teman-teman boleh pergi ke orangtua teman-teman sekalian yang sedang duduk di area penonton, dan memberikan bunga itu sebagai tanda syukur teman-teman kepada mereka. Silakan"
Para penerima bunga, yang ternyata sekaligus para lulusan cum laude, berdiri. Mereka berjalan ke arah bangku penonton yang dipenuhi orangtua wisudawan dengan diiringi alunan piano yang sangat mengundang air mata. Kamera mengikuti langkah beberapa dari mereka yang sedang sibuk menoleh kanan kiri untuk mencari anggota keluarganya. Memproyeksikan kegiatan mereka ke layar yang ada di panggung. Wisudawan lain pun dapat menyaksikan momen ini tanpa harus menoleh ke arah bangku penonton yang berada di belakang.
Di acara sesakral dan seindah ini, pun tetap ada seorang anomali.
Tata. Dia tidak beranjak dari kursinya. Pandangannya kosong ke arah layar di atas panggung. Tangannya menggenggam erat mawar putih yang durinya sudah dibuang itu. Sesekali menunduk untuk memandangi putihnya mawar.
"Eh, Ta. Lo ga ngasih bunga itu?" tunjuk temannya ke mawar yang dengan erat digenggamnya.
"Oh", setengah kaget dia tersadar dari lamunannya. "Ga, Din. Gue disini aja. Males jalan-jalan"
"Dih. Ga takut dianggap durhaka, lo?"
Seketika jantungnya berdegup keras. Satu detakan. Dengan kekuatan yang berkali-kali lipat lebih keras dari normal. Darahnya berdesir kencang.
"Ahahaha", lagi-lagi dikeluarkannya tawa yang agak dipaksa itu.
Hatinya menangis.
November 2015, H-1
"Serius nih lo mau ngasih ini undangan, Ta?"
"Iya buat apa gue becanda. Lo lagi butuh undangan lebih, kan?"
"Iya, sih. Oma Opa gue tiba-tiba pengen ikut masuk juga, tapi jatah undangan gue udah dipake bokap nyokap. Kalo gue pake undangan ini, orang tua lo gimana, dong?"
"Mereka tiba-tiba ga bisa dateng, Cin. Makanya daripada nganggur mending ini undangan lo yang pake"
"Bentar gue telpon nyokap gue dulu ya", balasnya ragu.
"Nih, Ta", dia menyodorkan uang seratus ribu. "Kata nyokap gue, beli aja"
"Wah. Gausah dibayar segala, Cin. Gue ikhlas, kok"
"I insist! Or to be exact, my mother does!"
Oktober 2015, Sekitar H-50
"Hello, Mommy. Akhir bulan depan ada wisuda. Kalo aku daftar, Mommy and Daddy bisa dateng, gak?"
"Wow! That's nice, Honey. I'll tell your father. We'll be there for sure"
13 November 2015
Stasiun televisi menayangkan berita mengenai pengeboman di Paris. Bergegas dia meraih ponselnya, berusaha menghubungi kedua orangtuanya. Keduanya tengah merayakan ulang tahun pernikahan, yang dirayakan dengan cara berkeliling eropa sambil napak tilas mengenang masa muda.
Telepon itu tidak pernah tersambung.
------------------------------
Yeeey. Ketemu lagi. Syudah lama syekali kayaknya ga nulisnulis. Karna kebetulan akhir november ini ada teman yang wisuda, sekalian deh nulisnulis tentang wisuda. Wawawawaaaaa.
Sabtu kemaren baru beres garap Supernova: Petir nya Dee. Pas nulis ini, yang dibayangin adalah Etra. Tentu saja semua dikarenakan kelakuannya di buku Petir yang kocak luar biasa. Sampai akhirnya melekat di otak dan langsung menempati posisi teratas dalam daftar tokoh favorit dari seri Supernova.
Q: Udah? Segitu doang tamat?
A: Iyes. Hamba bingung. Semedi sambil mencret pun tak menghasilkan inspirasi tambahan.
Q: What happened with her parents?
A: Who knows. Meninggal, hilang ingatan, hape nya hilang, atau lusinan alasan lain, you mention it. Let your imagination runs wild.
Q: Why even her best friend doesn't know about her condition?
A: Mungkin dia tertutup. Nuff said.
Q: Kenapa dia segitu bodohnya sampe bawa motor sendirian ke salon?
A: Entah, mungkin masih syok.
Q: Apa kabar motornya yang ditinggal di salon?
A: Mungkin dijual sama si tukang parkir.
Dah ah, segini aja.
I lay my pen down.
Yogyakarta, 17 November 2015
"Happy graduation, NEET"
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :
2 komentar:
Jadi namanya tata nih? :)
Iyes, kak :)
Posting Komentar