Pertama kali sadar akan kehadiran buku ini adalah saat gugling buat nyari bukunya Kurniawan Gunadi yang berjudul Hujan Matahari. Keesokan harinya hunting ke toko-toko buku lokal buat nyari itu Hujan Matahari. Ga nemu, dan ga bakal nemu. Wong itu buku self publishing, dan mesti preorder ke pengarangnya.
Seperti biasanya, kalo udah mampir toko buku pantang pulang sebelum beli sesuatu. Saat itu terlihatlah seorang akhwat yang berjalan cepat, lalu menyambar buku bersampul hijau, kemudian berlalu. Buku Kambing dan Hujan, dengan warna hijau mentereng diantara buku-buku lainnya.
Coba dipegang, ada tulisan "Pemenang I sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2014".
"Wooo! Ini buku sakti!", pikirku saat itu. "Tapi kok 'kesan dan pesan' pembacanya kurang representatif, bukan dari kalangan penulis"
Dan akhirnya berujung dibeli.
Mari kita coba kupas pelan-pelan buku ini.
Di sampulnya tertulis "Roman". Roman pertama dan terakhir yang pernah kubaca adalah "Bumi Manusia"nya Mbah Pram, setahun lalu (setahun lalu buku ini masih langka, sekarang berhamburan setelah cetak ulang). I put low expectation on this book, at first.
Baca halaman-halaman awal, kesan yang kudapat adalah "Bah, ya kan. Kisah cintacinta anak muda kekinian. Yang cewek aja udah mau kabur dari rumah gini. Ckck."
Beberapa lembar kemudian
"Asem! Tema yang diangkat sensitif banget. Ini mah cinta 'beda keyakinan'" Yang satu anak pembesar Masjid Utara, yang satunya anak pembesar Masjid Selatan. Parahnya, kedua masjid beda 'aliran' itu berseberangan, dan agak kurang akur.
Sampai seperlima buku, akhirnya tersadar kalau ini buku bukan kisah cinta menjijikan sepasang muda-mudi yang kebelet kawin tapi terhalang kedua keluarga yang saling benci.
Tema sensitif, dibungkus dengan gaya penulisan yang ringan dan renyah, kisah cinta sepasang muda-mudi yang tidak biasa, bromance yang manis, alur maju mundur yang membuatku serasa sedang menyusun puzzle kronologi, dan ending yang sangat menyentuh (menurutku). Fiks, novel ini jadi salah satu novel Indonesia terasyik yang pernah kubaca.
Dan akhirnya berujung dibeli.
Mari kita coba kupas pelan-pelan buku ini.
Di sampulnya tertulis "Roman". Roman pertama dan terakhir yang pernah kubaca adalah "Bumi Manusia"nya Mbah Pram, setahun lalu (setahun lalu buku ini masih langka, sekarang berhamburan setelah cetak ulang). I put low expectation on this book, at first.
Baca halaman-halaman awal, kesan yang kudapat adalah "Bah, ya kan. Kisah cintacinta anak muda kekinian. Yang cewek aja udah mau kabur dari rumah gini. Ckck."
Beberapa lembar kemudian
"Asem! Tema yang diangkat sensitif banget. Ini mah cinta 'beda keyakinan'" Yang satu anak pembesar Masjid Utara, yang satunya anak pembesar Masjid Selatan. Parahnya, kedua masjid beda 'aliran' itu berseberangan, dan agak kurang akur.
Sampai seperlima buku, akhirnya tersadar kalau ini buku bukan kisah cinta menjijikan sepasang muda-mudi yang kebelet kawin tapi terhalang kedua keluarga yang saling benci.
Tema sensitif, dibungkus dengan gaya penulisan yang ringan dan renyah, kisah cinta sepasang muda-mudi yang tidak biasa, bromance yang manis, alur maju mundur yang membuatku serasa sedang menyusun puzzle kronologi, dan ending yang sangat menyentuh (menurutku). Fiks, novel ini jadi salah satu novel Indonesia terasyik yang pernah kubaca.
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar