Anak kecil itu bergegas lari menuju perosotan. Ibunya yang ikut mengantarkannya cuma bisa menggelengkan kepala sambil menasehati agar anaknya berhati-hati. Ia pun duduk di bangku taman tak jauh dari situ, sembari mengawasi anaknya bermain.
"Ki, naik tangga nya ga usah sambil lari-lari. Nanti kamu jatuh" serunya saat melihat anaknya berlari dengan semangat menaiki tangga perosotan.
Pagi itu Rizki diajak oleh ibunya pergi ke taman kota. Biasanya keluarga kecil itu pergi ke pemancingan bersama-sama setiap akhir pekan. Ayahnya sudah seminggu pergi dinas ke luar kota dan baru akan kembali minggu depan. Dan taman itu adalah tujuan mereka jika hanya pergi berdua.
Sang anak tiba-tiba berlari menghampirinya.
Dia terkejut, lalu tersenyum kepada anaknya. Diangkatnya buah hatinya itu ke pangkuannya.
"Rizki sayang. Nama kamu itu artinya kebaikan dan anugerah. Dengan kata lain, kamu adalah anugerah yang terbaik buat Umi dan Abi."
Sejenak pandangannya kosong, pikirannya melayang ke masa lalu. Sejurus kemudian kenangan masa lalu merasuk pikirannya.
Dia teringat jaman dia masih duduk di bangku kuliah. Saat itu mereka sedang dalam tahap akhir rekruitasi keanggotaan sebuah lab.
Lelaki itu keluar dari ruangan dengan wajah kesal yang berusaha ditahannya. Semua peserta tahu, atau setidaknya kira-kira tahu, alasannya keluar dari sana; dia menganggap syarat pada proses rekruitasi kali ini terkesan terlalu 'aji mumpung'. Bagaimana tidak, selain diminta meluangkan setidaknya 70% dari waktu luangnya untuk kegiatan lab, dia juga diminta untuk membagi proyek sampingannya.
Ruangan seketika hening. Panitia pun tak ada yang berani berbicara.
Seorang perempuan diantara para peserta tiba-tiba berdiri. Dia berlari keluar ruangan, menyusul laki-laki yang terlebih dahulu meninggalkan ruangan. Peserta lain hanya terdiam, terpana. Sekali lagi, panitia tetap diam.
"Rizki!" teriaknya. "Tunggu"
Lelaki itu masih tetap berjalan santai seakan tidak mendengar panggilan itu. Saat dia sedang menuruni tangga, perempuan itu telah berhasil menyusulnya dan menghadangnya. Dia terpaksa menghentikan langkahnya.
"Ki, balik ke ruangan yuk" bujuknya. "Kali ini mereka memang agak keterlaluan, tapi kamu bisa jelasin pelan-pelan ke mereka kalo kamu gak suka."
Lawan bicaranya tetap diam. Matanya menatap tajam, namun mulutnya tetap tertutup.
"Ki", pintanya.
"Aku paling ga suka kalo cuma dimanfaatkan. Mungkin mereka ga sadar kalau tanpa mereka pun aku masih bisa berkembang. Masih banyak lab lain yang ada di kampus ini. Kenapa aku harus masuk lab ini dan dikekang kalau ada lab lain yang mau menerimaku tanpa mengekangku? Kalaupun lab lain juga melakukan hal yang sama, aku masih bisa lulus dari kampus ini.
"Mereka harus sadar kalau mereka lebih membutuhkanku daripada aku membutuhkan mereka"
Perempuan itu tertunduk. Semua yang dikatakan lawan bicaranya benar. Dalam hati dia pun sadar kalau sebenarnya lab itulah yang lebih membutuhkannya, bukan sebaliknya.
Oleh karena itu dia hanya bisa terdiam dan tak bisa membalas.
Dan saat laki-laki itu berjalan melewatinya, air matanya mengalir. Dia terisak. Itulah kali pertama air matanya ditampakkannya kepada selain Tuhannya.
"Mi... Umi kenapa? Kok Umi nangis? Rizki bikin salah yah? Maafin Rizki yah, Umi."
Tersadar dari lamunannya, dia mengusap air mata yang tersisa di pipinya.
"Gapapa, sayang. Mata Umi kemasukan debu tadi", sahutnya sambil tersenyum simpul.
"Rizki tau gak? Umi dulu juga punya teman namanya sama kaya nama Rizki, loh"
-------------------------------
Yoooooooooohhhhooooooo.
How's there?
Pagi ini habis beramai-ramai nge-bully orang yang belum move on. Dan akhirnya baper ampe di jalan pas berangkat ngantor.
Daripada terus baper, mending ditulis. Yeeeah!
Pilihan kali ini ada 2; Suaminya sudah mati, apa Istrinya yang masih 'agak' belum muv on.
Karena ga tega 'ngebunuh' laki orang, jadilah seperti ini.
Ini entah kenapa adegannya kebayang jelas di kepala gw, tapi seperti biasa eksekusi nya agak vague.
Dah ah. Gatau mesti ngomong apa lagi. BHAY
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar