Rabu, 24 Februari 2016

Semut Tiga Dimensi

"...singkat cerita kami berpikir bahwa kegiatan kalian para astronot adalah pemborosan, menghambur-hamburkan uang"

Setiap kali aku mendengar pernyataan yang sejenis maupun senada dengan pernyataan diatas, aku teringat pada sebuah kisah singkat yang menyertainya. Itu adalah kisah mengenai semut tiga dimensi.


*****


Pada jaman dahulu kala, semut hanya bisa berjalan pada satu garis lurus. Semut-semut ini tak bisa berbelok ke kanan atau ke kiri sedikitpun. Jalurnya mutlak sebuah garis lurus. Untuk sekian lama mereka bertahan hidup hanya dalam satu garis tersebut.

Suatu hari, secara tak sengaja sebuah ranting terjatuh tepat di atas jalur yang biasa mereka lalui. Semut-semut itu terhenti. Mereka bingung dengan apa yang harus mereka lakukan.

Disaat sebagian besar dari mereka memutuskan untuk kembali ke sarang, seekor semut melakukan hal yang berbeda. Semut itu berjalan keluar dari jalur, dan mulai berbelok ke arah kanan. Semut-semut yang lain mulai meneriakkinya.

"Hoi. Mau ngapain kamu berjalan keluar jalur? Itu berbahaya!"

Namun semut itu tak peduli. Dia terus saja berjalan ke arah kanan, menuju ujung ranting tersebut. Setelah sampai di ujung, dia berbelok ke kiri dan menghilang di balik ranting. Semut-semut yang lain terdiam, lalu memutuskan untuk kembali ke sarang.

Tak lama kemudian semut yang menghilang tadi muncul dari sisi kiri ranting. Dia berhasil mengitari ranting itu dan kembali dengan selamat. Semut-semut yang lain terkejut, lalu mengikuti jalur yang telah dibuatnya dan berbelok ke kanan. Akhirnya semut-semut itu berhasil melewati ranting yang menghalangi jalan mereka.

Sejak saat itu, semut-semut tak lagi hanya bisa berjalan dalam satu garis lurus. Mereka juga mampu berbelok ke kanan dan ke kiri. Dari sinilah muncul istilah semut dua dimensi.


Beratus-ratus tahun kemudian, kembali terjadi sebuah kejadian tak terduga. Terjadi bencana tanah longsor yang begitu besar. Tanah dalam jumlah yang sangat besar menyapu jalur yang biasa mereka lewati, dan menghalangi jalur mereka.

Semut-semut itu berjalan ke kanan dan ke kiri, tapi gundukan tanah itu seakan tak berujung. Mereka tak mampu mengitarinya. Berhari-hari mereka berusaha, namun tetap tak membuahkan hasil.

"Sebaiknya kita menyerah saja," kata salah seorang dari mereka.

Semut-semut itu kelelahan. Usulan itu adalah sesuatu yang mereka tunggu-tunggu. Mereka hanya ingin kembali dan beristirahat. Tak lagi melakukan sebuah pekerjaan yang sia-sia seperti ini.

Sebelum kembali pulang, salah satu dari mereka berdiri di pinggir gundukan. Dia terdiam sambil menatap ke atas, ke arah gundukan tanah yang sangat tinggi seakan tak berujung.

Dia mulai melangkahkan kaki-kakinya menaiki gundukan tanah itu.

"Hei! Apa yang kau lakukan!? Itu berbahaya! Hei!!" semut lain meneriakinya.

Semut itu mengindahkan teman-temannya. Dia terus naik memanjat gundukan itu. Sedikit-demi sedikit dia semakin dekat menuju puncak. Semut-semut yang lain memperhatikannya dengan tatapan khawatir. Saat semut itu sampai di puncak gundukan, napas mereka tertahan. Semut itu terus berjalan, dan menghilang di balik gundukan. Menghilang dari pandangan semut-semut yang lain.

Semut-semut yang ada di bawah mulai bimbang. Seorang dari mereka berbalik dan mulai berjalan menuju sarang. Semut-semut yang lain mulai mengikuti.

Akan tetapi juga ada sekelompok semut yang masih diam terpaku. Semut-semut ini mulai menapakkan kaki mereka di gundukan tanah itu. Ragu-ragu, mereka memanjat dengan hati-hati. Perlahan tapi pasti, mereka semakin mendekat ke puncak gundukan. Teman-teman mereka yang sudah berjalan menuju ke sarang pun kembali terdiam. Sekali lagi mereka tercengang melihat teman-temannya yang lain menghilang di balik gundukan. Mereka pun mencoba mendaki gundukan itu, dan berhasil.

Sejak saat itu semut-semut bisa memanjat. Tak hanya ke kanan-kiri, tapi juga bisa naik-turun. Dari sinilah muncul istilah semut tiga dimensi.


*****


"Nah, ibu, inilah jawaban saya atas pernyataan ibu tadi," kata astronot itu. "Kami tak menyangkal bahwa uang yang dihabiskan untuk misi penjelajahan ruang angkasa tidaklah sedikit. Kamu pun tak menyangkal kalau uang ini bisa digunakan untuk hal-hal lain seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, maupun sarana kesehatan. Tapi kami tak berpikir kalau ekspedisi ke luar angkasa ini tidak penting. Sudah menjadi kodrat kita sebagai umat manusia untuk keluar dari kotak yang mengurung kita, dan mengeksplorasi hal-hal baru. Kita tak akan tahu apa yang menanti kita di luar sana kalau kita tetap diam"

Astronot itu tersenyum, lalu berjalan pergi.


(ditulis ulang, dengan beberapa modifikasi karena lupa, dari apa yang pernah didengar dan dibaca dari Space Brother)


--------------------------------------------


Wamy here~
Hari ini tiba2 gatel pengen nulis ginian. Bukan karna isu LGBT loh, yah. Tapi karna isu lainnya.

Kisah semut 3 dimensi ini adalah salah satu kisah paling 'ngena' yang pernah kubaca. Semoga yang baca ini juga merasakan hal yang sama.

Untuk kali ini, bakal di-post di Notes nya FB, dan besok bakal di-repost ke blog.

Seperti yang udah dikabarin, ini diambil dari salah satu scene di Space Brother alias Uchuu Kyoudai. Karena lupa cerita persisnya kayak gimana, jadi dicoba nge-remake tanpa menghilangkan pesan yang ingin disampaikan. Yang paling parah adalah lupa kata2 penutup dari sang astronot, sehingga impact nya kayaknya terasa kurang. Duh.


Yogyakarta, 21 Februari 2016
"Nothing's in vain”

Baca Selengkapnya....

Selasa, 16 Februari 2016

Biru - Part 1

"Patah hati itu bisa bikin maag, gangguan pencernaan, dan komplikasi lainnya, loh"

"Pernah ngalamin, mbak?" tanyaku setengah bercanda.

"Iya," jawabnya dengan wajah serius. "Aku termasuk orang yang malas mikirin hal ginian, loh. Dan itu tetap bisa bikin aku dapat gangguan pencernaan"

Aku mengangguk sambil menyuap nasi yang ada di hadapanku.


*****


"Kee. Minta alamatmu, dong."

Pesan itu datang di siang hari yang panas. Aku mengernyit bingung. Tumben-tumbennya dia yang memulai pembicaraan duluan. Aku membalasnya diantara kesibukanku.

"Buat apa?"

"Gak. Cuma mau ngirim sesuatu aja"

"Cokelat lagi?"

"Bukaan. Kali ini lebih istimewa"

"Hmm. Cokelat yang banyak?"

"Di otak lo cuma ada cokelat, yah?"

"Gak, sih. Ada puding juga, kok"

"Terserah lo, deh, Kee. Jadi alamat lo masih alamat kost yang lama, kan?"

"Masih, kok. Ditunggu bingkisannya, yah"

"Btw, akhir bulan depan lo ada acara, gak?"

"Yaitu tanggal...?"

"27-28an gitu, deh. Free?"

"Free, kok. Lo mau ke Surabaya ya, Mi?"

"Gak. Lo yang mesti ke Jakarta"

"Untuk urusan apa?"

"Main-main doang. Piknik dimanaaaa gitu"

"Lo yang ngadain acara? Tumben-tumbenan"

"Oleh karena itu, lo bisa dateng, kan?"

"Gue usahain, deh. Di kalender gue juga belom ada agenda buat tanggal segitu. Kemungkinan besar bisa"

"Asiiik. Yang jauh udah konfirm bisa dateng. Thanks, Kiara"

"Emangnya lo ngundang sapa aja, Mi?"

"Ada deeh. Liat aja nanti"

Ada sedikit perasaan aneh yang menempati sudut pikiranku saat itu.


*****


Di pekan berikutnya, saat aku kembali ke kost selepas bekerja, Ibu Kostmemberikan sebuah paket kepadaku. Menurut resi pengiriman, isinya adalah sebuah buku. Bentuk dan beratnya pun sangat mirip. Kubuka paket itu. Kudapati sebuah buku berjudul Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan. Buku itu sendiri sudah terlepas dari segelnya dan digantikan dengan sampul plastik.

Azmi adalah seseorang yang menjerumuskanku lebih dalam ke dunia perkutubukuan. Dia orang yang rutin menyuruhku membeli berbagai macam buku. Dari dia pula lah aku pertama kali mengenal buku karangan mbah Pramoedya; Bumi Manusia. Masih teringat jelas saat dia pertama kali merekomendasikan buku ini sambil menggebu-gebu. Saking bagusnya dan saking langkanya buku ini, wajahnya terlihat begitu bangga saat memamerkannya.

Di buku pemberiannya terlihat ada yang diselipkan di antara halaman. Benda yang diselipkan itu cukup tebal dan mengganjal. Jauh lebih mengganjal untuk menjadi sebuah pembatas buku. Saking mengganjalnya, jika buku itu diberdirikan halaman itu akan langsung terbuka.


Benda yang mengganjal itu adalah sebuah kertas tebal cantik yang bertuliskan:



Aida & Azmi



Sabtu, 27 Mei 2017



*****


Aku dan Azmi adalah dua dari delapan asisten laboratorium biomedis yang sudah tidak menjabat. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, kami tak lagi terlalu banyak ikut campur dalam urusan praktikum. Tugas kami di laboratorium saat ini hanyalah memberikan sedikit bimbingan bagi asisten aktif. Walaupun tidak lagi menjabat, kami masih sering datang ke laboratorium. Tujuannya tentu saja adalah untuk mengerjakan skripsi.

Jika berbicara tentang teknik biomedis atau bahasa kerennya disebut biomedical engineering, disingkat BME, tentunya tak bisa dilepaskan dengan perangkat elektronika. Perangkat elektronika untuk menangkap sinyal biomedis ini biasanya berharga cukup mahal untuk kantong anak kost. Solusi murahnya adalah meminjam peralatan milik lab. Oleh karena itulah walau kami sudah tak lagi menjabat, kami masih datang ke lab setiap hari.

Beberapa 'penghuni tetap' sepertiku sampai mempunyai ruang kerja khusus. Sebenarnya ruangan disini bukan berarti sebuah tempat berukuran 3x3 yang memiliki pintu sendiri, tapi lebih ke arah personal space. Ruang ini adalah sebuah meja yang berada di pojokan ruang asisten. Dilengkapi dengan sebuah poster di kertas A4 yang bertuliskan "SENGGOL BACOK" besar berwarna merah tertempel di dinding, seluruh penghuni lab tahu kalau pojok itu dipergunakan untuk mengerjakan skripsi, dan tak boleh diganggu gugat. Kalau ada benda yang berpindah tempat tanpa sepengetahuan pemiliknya, seluruh penghuni lab akan menerima murkanya saat itu juga.

Pojok itu hampir tak pernah kosong. Senin sampai jumat, kadang sampai sabtu. Jam 8 pagi sampai jam 10 malam. Tempat itu selalu berpenghuni. Hanya kosong saat memasuki waktu sholat. Karena ini pula aku biasa disebut kuncen. Jabatan ini selalu diemban oleh laki-laki di generasi sebelumnya. Baru kali ini jabatan ini diemban seorang perempuan.

Salah satu 'penghuni' lainnya adalah Azmi. Aku pertama kali kenal dirinya saat sama-sama menjabat sebagai asisten. Kesan pertama yang kudapat darinya adalah maniak suhu rendah. Setiap baru datang ke lab, dia selalu menurunkan suhu ruangan menjadi 20 derajat. Tak jarang orang-orang yang sedang berada di lab jadi kedinginan, dan menaikkan suhu ke 25 derajat. 5 menit kemudian suhu itu akan kembali diubahnya ke 20 derajat.

Pernah bertemu dengan orang yang baik terhadap semua orang? Azmi ini adalah salah satunya. Dia mempunyai tingkat altruisme yang tinggi. Salah satu contohnya adalah pada saat kami menjabat, dia rela begadang sendirian untuk menyelesaikan alat yang akan dipergunakan untuk praktikum. Sementara kami para asisten lainnya pulang menikmati tidur malam di kasur masing-masing. Keesokan paginya kami mendapatinya tertidur di meja kerja dengan solder yang masih menyala.

Kebaikan lainnya adalah selama masa jabatanku sebagai 'kuncen', dia kerap membawakanku makan siang. Dia biasa datang saat matahari mulai meninggi, sekitar jam 11 siang. Tepat saat jam lapar. "sekalian berangkat ke lab," ujarnya. Kadang-kadang di sebungkus nasi yang dibawanya juga terselip sebatang cokelat. "Biar alergimu kambuh," ujarnya lagi. Kebiasaannya memberiku cokelat masih terus berlanjut sampai kami lulus dan bekerja di dua kota yang berbeda. Setiap dia berlibur ke suatu tempat dan menemukan cokelat, pasti akan ada paket yang sampai di kost ku. Dia juga yang pertama kali memberiku botol air minum.


Aida juga adalah asisten laboratorium biomedis. Tak sepertiku dan Azmi yang mengambil skripsi seputaran biomedis, dia memilih topik skripsi mengenai kontrol. Dengan demikian, setelah masa jabatannya selesai, dia jarang terlihat datang ke lab. Karena suatu alasan, aku agak tak suka dengan Aida. Walaupun saat sedang bekerja dia menjadi orang yang serius, tapi saat santai kadang gaya bercandanya yang kelewatan bisa menyinggung orang di sekitarnya, termasuk aku. Oleh karena itu aku agak bersyukur dia tak mengambil topik skripsi mengenai biomedis.


*****


Aku masih memandangi undangan yang berada di tanganku.


Inikah maksud dari perasaan aneh di sudut pikiranku saat dia menghubungiku minggu lalu?


Aku mengambil ponselku dan mengambil foto undangan itu. Aku langsung mengirimkannya ke sahabatku, Nina. Nina dulunya juga adalah asisten laboratorium biomedis, sama sepertiku.


"Na, udah tau ini?" aku mengirimkan foto undangan kepadanya. kupotong sehingga nama Aida tak ada di gambar itu.

"AZMI?" balasnya.

"Yep. Itu gue dapat dari dia. Shock gue"

"Kenapa emangnya? Lo patah hati?"

Aku terdiam sejenak membacanya. "Yakali gue patah hati. Cuma Shock aja"

"Terus lo kenal siapa pasangannya?"

Kukirimkan foto lengkap undangan itu kepadanya.

"Hahaha. Jadi sama Aida, ya?"

"Iya"

"Terus kenapa lo shock?"

"Entah. No particular reason"

"Felt like your older brother got taken away? *smirk*"

"Boleh diganti jadi 'your son', ga?"

"Son?! Sure, Ki. Suuure~ *smirk*"

"Damn you, Na"

"Gak salah lagi ini pasti patah hati," balasnya. "Lo ga sadar aja kalau selama ini lo suka"

Aku diam berpikir. Kalau memang secara tak sadar aku suka, ini bisa menjelaskan beberapa perasaan mengganjal.

"Iya kali, ya. Secara ga sadar," balasku.

"Tapi gue ga nyangka lah dia bakalan jadi sama Aida. Di kelas sudah sering digosipin, sih. Cuma mereka selalu mengelak"

"Jadi mereka udah digosipin pas masih kuliah? Tapi kok waktu kita di lab mereka biasa-biasa aja?"

"Nah itulah. Gue juga agak kaget liatnya. Tapi gak sekaget lo pastinya"

"Oh, shut up"

"BTW, dia belom ngirim undangan ke grup lab, kan? Kok lo udah terima undangannya?"

"Entahlah, Na. Gue juga bingung. Minggu kmaren dia nanyain gue ada acara ato ga buat tanggal 27 mei itu. Gue kira mau ngajak main, kan ya. Taunya dapet undangan kayak gini"

"Terus lo bilang apa ke dia?"

"Belom bilang apa-apa. Ini aja masih shock," kataku. "Menurut lo, gue mesti gimana?"

"Ya ga gimana-gimana. Lo mesti dateng, lah. Apa perlu gue temenin?"

"Please do, Na. Pretty Please"


Malam itu tidurku tak nyenyak.

Seminggu kemudian undangan itu disebar di grup Facebook. Aku menghindari media sosial itu selama seminggu berikutnya.

Dalam rentang waktu itu juga aku mendapat gangguan pencernaan.


***** Part 1 end *****


------------------------------


Kemaren habis dari Surabaya dan ketemu ama ponakan yang belom genap setahun, namanya Kiara. Unyu nya luarr biasa. Dan akhirnya namanya dipinjam. Horee.

Pernah ketemu orang yang baik ke semua orang? Bayangkan aja kalo si Azmi ini sama kayak orang itu. Susah deh ngegambarin detilnya satu per satu.

Setelah selama seminggu penuh ditempa satu bug yang luar biasa sakti, akhirnya ada kesempatan slacking off. Fyuuh.

Kali ini sengaja dibikin 2 part. Dikasih jeda buat Kiara menari-nari sesuka hatinya dulu di kepalaku. Semoga di part 2 Kiara tak mengejutkanku dengan tindakan yang aneh.

Ciao.



Yogyakarta, 16 Februari 2016
"Which only proves love moves in mysterious way"

Baca Selengkapnya....

Jumat, 05 Februari 2016

Goa Cerme + Wohkudu, 30 Jan 2016



 Perjalanan dari Jogja ke lokasi gua ini memakan waktu sekitar 90 menit. Biaya retribusi area sekitar adalah 3000, sedangkan biaya retribusi masuk gua 3000, total 6000. Biaya sewa helm + headlamp 10000, biaya guide 50000 untuk 14 orang.



Normalnya gua ini bisa disusuri dalam waktu sekitar 80 menit.

Well, di dalam gua terendam air mulai dari setinggi separuh betis sampai se-udel. Dengan ukuran tinggi orang normal tentunya *smirk*. Yaah, kalo diibaratkan mah ga jauh beda sama banjir; warnanya cokelat (walau ada beberapa tempat yang berair bening) dan setinggi itu. Bedanya disini gelap, dan gak ada yang 'ngambang'.

Kadang di dalam ada spot yang dipasangi dupa.



I love play in water. But in a dark-and-'stony' place like this, I don't enjoy it too much.


Setelah keluar juga ada kamar bilas. Ada 3 kamar untuk cowok, dan 3 kamar untuk cewek. Di depan pintu tertulis "Bayar 2000", tapi tak ada penjaga ataupun kotak uang. Jadi, bisa dianggap gratis.


*****


Spot selanjutnya adalah Pantai Wohkudu. Kayaknya sekitar 30-60 menit kalau dari Gua Cerme. Di 15 menit terakhir perjalanan, jalannya masih berupa makadam. Pantat sakit, motor (bisa) rusak.

Di depan ditagih retribusi 3000 per motor. Tak lama kemudian dari ketinggian terlihat birunya laut.



Sampai di parkiran motor, yang punya parkiran menunjukkan arah ke pantai. Harus mendaki gunung dan lewati lembah, jalan kaki!

"Lewat situ, mas. 10 menit jalan kaki. Ketemu pohon kelapa, belok kanan"

Oke, ini kayaknya lebih 10 menit. Dan ini banyak pohon kelapa. Kapan beloknyaa?

Akhirnya kami mengabaikan apa yang dikatakan bapak tukang parkir, dan mengikuti jalan setapak yang ada.






Ditutup dengan sesi makan malam di suatu tempat yang entah apa namanya, lalu minum susu di Susu Bang Jo.


As a final note, maybe my 'dislike' towards beach is derived from those early beaches I've ever visit. Such as Takisung beach in South Borneo, or Maron beach in Semarang. Yes, both are 'dirty'. First time I ever visit beautiful beach, maybe in Lombok. So, yeah. I love seeing nature. And beautiful beach like this is also one of them :)

Baca Selengkapnya....