Minggu, 31 Januari 2016

2U

If it's only to ease loneliness
Anyone would do
If it's to mend the wounds
Nobody could do


And all I know is you appear
Saving me
Pulled me free

How could I have known that you
Suddenly would change my life?
You turned my world upside down
I’m so in love


But for this love
I have committed many sins
One is held your hand
One is want to be beside you forever


And now I wonder

If I could pick one emotion
To do away with at last
If I pick my love for you
Would I be able to go back?


If I could one day hear every song that you heard
Breathe everything you breathed
Feel everything you felt

If I could be your eyes
And see the world like you did
Then maybe I could love you
The way I’ve always wanted to



*****


List comotan:
- Masayoshi Yamazaki - One more time, One more chance
- Hiroyuki Sawano ft. Gemie - Saving Us
- JimmyThumbP - From Y to Y
- JimmyThumbP - Calc. (nano Piano ver.)
Please hear them if you have time :)

Baca Selengkapnya....

Kamis, 28 Januari 2016

Liburan Belitong 2015

Please remember Ship of Theseus through the entire writing :)


September 2015, Prolog

"RaRaRaRaRa. Desember ini nganggur gak?"

"Oit? Desember tanggal berapa dulu, nih? Ada apa emang?"

"24 sampe 27, libur natalan. Mau ngajak liburan ke Derawan sama Labuan Cermin di Kalimantan Timur. Ikut?"

"Waduh, tanggal segitu aku udah ada janji jalan bareng temen kampus. >_<"

"Oh... Yaudah deh kalo gitu"


Aku menghela nafas kecewa. Kukunci layar ponselku dan kulempar ke kasur yang berada di sebelahku. Aku lalu menghempaskan badanku ke kasur itu. Tiarap.

Aku berteriak sambil menutup mulutku dengan bantal. Berharap supaya suaranya tidak terdengar penghuni kost yang lain.


Namanya Zahra, anak lab dari jurusan sebelah. Pertama kali bertemu tentu saja di lab yang gokil itu. Sekarang dia berdomisili di Jakarta, sedangkan aku berdomisili di Yogyakarta.

Hobinya jalan-jalan. Dari gunung, pantai, museum, sampai tempat-tempat unik yang ada di dalam maupun luar negri kebanyakan sudah pernah dikunjunginya. Tiap ada yang menceritakan perjalanan ke tempat yang belum pernah dikunjunginya, seketika itu pula destinasi itu ditambahkannya ke dalam wishlistnya. Lalu otaknya berputar mengatur prioritas dan waktu yang memungkinkan untuk melakukan perjalanan kesana. Salah besar kalo aku mengira dia belum punya rencana
di libur panjang Desember itu.

Aku berusaha memejamkan mata dengan perasaan yang campur aduk.




November 2015, Prolog 2

Aku membatalkan rencana perjalanan ke Derawan dikarenakan waktu libur yang kurang panjang. Aku memutuskan untuk mengganti destinasi liburanku menuju Belitong.

Inilah enaknya traveling sendirian, dengan mudahnya aku bisa mengubah destinasi sesukaku tanpa menunggu konfirmasi orang lain.

Termasuk Zahra.


24 Desember 2015, Hari 1

Tadi malam aku berangkat naik kereta dari stasiun Lempuyangan di Yogyakarta menuju stasiun Jatinegara di Jakarta. Harusnya sih sudah sampai sejak jam 02.30 tadi, tapi sampai sekarang aku belum sampai juga di tujuan.

Beruntunglah sekitar jam 3 pagi akhirnya keretanya sampai juga di stasiun jatinegara.

Jakarta, kota yang menempati urutan teratas dalam daftar kota paling kubenci di Indonesia. Pagi dini harinya aja masih (atau sudah?) terasa hangat. Ckck.

Akupun bergegas keluar dari stasiun, dan langsung menyambar taksi yang banyak berjejer di luar stasiun untuk berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta.


Di jalanan Jakarta dini hari yang lengang, sekitar jam 4 pagi aku pun tiba di terminal 1C bandara Soekarno-Hatta. Walaupun matahari masih belum terbit, terminal 1C sudah penuh sesak. Berpuluh-puluh counter check-in yang dibuka semuanya mempunyai antrian panjang. Beruntung aku sudah melakukan self check-in sebelumnya. Aku menuju mesin cetak boarding pass mandiri yang antriannya jauh lebih pendek daripada counter check-in yang tersedia. Cuma ada dua buah mesin cetak boarding pass mandiri yang tersedia. Antrian di masing-masing mesin paling panjang hanya 3 orang. Nampaknya orang di negri ini masih senang mengantri panjang beramai-ramai.

Aku ikut mengantri di salah satu barisan, sambil lalu mengamati orang di antrian depan. Dua antrian di depan, persis sedang mengetikkan sesuatu di layar mesin, nampak sepostur punggung yang (kayaknya) kukenal. Setelah selesai mencetak dua buah tiket, dia beranjak dari antrian dengan wajah menunduk menghadap tiket-tiket yang ada di tangannya.


"Rara," ucapku pelan, takut salah orang.

Ajaib. Sosok tadi menoleh.

"Royco?" ujarnya sambil menatapku tak percaya.

Aku tersenyum lalu mengangguk pelan.

"Ngapain lu disini? Bukannya ada penerbangan langsung dari Jogja ke Balikpapan, yah?"

"Gue kan ga jadi ke Derawan, cuy. Gue belom bilang yah?" balasku sambil pura-pura lupa.

"Lu kaga bilang apa-apa. Terus ini sekarang lu mau liburan kemana?"

"Ada deeeh. Lo sendiri mau ke mana?"

"Liburan laah. Mau ke Belitung gue" sahutnya dengan nada sedikit menyombongkan diri.

"Eh? Jangan bilang itu tiket penerbangan pagi ini jam 5.55?"

"Iya. Lo kok tau?" sekarang wajahnya agak bingung.

"Berarti kita sepesawat, bego!" Kutahan hasrat kuat untuk menoyor kepalanya.

"Mas, buruan itu depan kosong" ujar orang yang mengantri di belakangku.


Setelah beres mencetak tiketku, aku melanjutkan lagi percakapan kami yang tadi sempat terhenti.

"Lo berangkat sama siapa tuh, Ra?" bukaku sambil melirik ke arah dua tiket yang ada di tangannya.

"Oh ini? Sama teman kuliah gue. Yok sini gue kenalin"


Aku berjalan mengikutinya ke arah toilet. Disana ada seorang perempuan lain.

"Roy, ini Ana. Ana, ini Roy"

Aku menjabat tangan Ana.

"Eh, sholat dulu, yok. Udah adzan, nih" Zahra berceletuk.


Kami bertiga keluar dari gedung terminal menuju musholla yang terletak tepat diseberang terminal C. Mereka berdua masuk dahulu sedangkan aku masih minum dan mengisi botol air di keran air minum yang tersedia di depan musholla.

Seperti umumnya tempat sholat, antara shaf laki-laki dan perempuan ada tabir pembatas. Di musholla ini pembatasnya tinggi, sehingga dari shaf perempuan tidak bisa melihat ke shaf laki-laki, begitu pula sebaliknya. Aku melaksanakan sholat subuh bersama jamaah lain.

Karena mereka belum selesai, aku pun menunggu mereka di bangku panjang yang ada di depan musholla. Setelah selesai sholat, kami bertiga bergegas kembali masuk ke gedung terminal 1C, dan langsung menuju ruang tunggu keberangkatan di dekat gerbang C3.


Sembari duduk santai di ruang tunggu, aku pun memulai pembicaraan.

"Eh kalian berangkat sendiri ato pake travel?" tanyaku.

"Pake travel, kok. Open trip", jawab Zahra.

"Pake travel apa? Gue juga pake soalnya. Kalo samaan gini curiga disananya bakal rame banget semacam Gua Pindul yang sempat banjir manusia"

"Wuki travel namanya. Lumayan, loh. 2,8 udah include pesawat"

"Anjir. Lu ikut Wuki?" aku setengah terkejut.

"Iya. Kenapa emang? Jelek, ya? Gue baru kali ini ngikut Wuki, sih" ekspresinya sedikit panik.

"Kaga. Gue juga ikut itu"

Kali ini ekspresinya beneran terkejut.

"Eh tapi, Ra, lo kok ga ada di grup WhatsApp nya ya?"

"Iya, gue males ikut grup gituan. Si Ana aja yang ikut. Gue mah terima info dari dia aja." ujarnya sambil melirik ke arah Ana. "Masih sakit perut lo, Na?"

Ana cuma mengangguk setengah meringis.

"Diare, kayaknya. Baru pagi ini" jelas Zahra kepadaku.

Aku mulai mengobrak-abrik ransel merah gembung dengan berat 10 kilo itu. Setelah menemukan apa yang kucari, kusodorkan barang itu ke Ana.

"Nih. Sekali minum 2 tablet yah"

Dia mengambilnya dengan sigap, lalu mengeluarkan air minum dari kantong plastik yang dijinjingnya.

"Eh, Na," celetukku. "Rombongan yang lain pada di mana ya kira-kira?"

Ana yang masih mengangkat botol minumnya dan meneguk obat agak terkejut. "Di grup sih pada bilang sudah pada nunggu di ruang tunggu keberangkatan. Paling beberapa dari orang-orang yang di depan itu." celotehnya sambil menujuk menggunakan botol.

"Yaudah lah yah. Kita nunggu di sini aja. Ntar juga paling ngumpul bareng pas nyampe", Zahra menimpali.

"Lo kok ga bilang-bilang sih kalo mau ke Belitung, Ra?"

"Lah lo sendiri yang ga nanya", jawabnya agak ketus.

"Iya juga sih yah", jawabku. "Eh tapi ini kebetulan banget, lah. Bisa-bisanya kita satu tujuan. Satu travel pula"

"Iya. Gue juga kaget tadi pas nyetak tiket tau-tau kayak ada suara ghaib manggil gue. Taunya ada yang ga jadi ke Derawan", sindirnya.

"Iyeeeeee, bawel. Ga cukup waktunya. Ga cukup duitnya juga, sih, sebenernya."

"Terus lo rencananya mau berangkat sendirian ke Belitung? Ga ngajak-ngajak gue?"

"Ya... Habisnya mau gimana lagi? Kan kemaren lo bilang lo udah ada acara. Emang kalo gue ajak, lo mau ikut?"

"Kaga lu ajak juga gue udah pasti ke Belitung, bego."

"Astaga, iya juga. Mungkin nyawa gue masih belom terkumpul sepenuhnya. Masih pada ketinggalan di dunia mimpi"


Beberapa menit kemudian kami disuruh naik ke pesawat karena pesawat akan segera diterbangkan ke Tanjung Pandan. Seperti biasa, selama penerbangan aku cuma tidur.


*****


"Para penumpang yang terhormat, saat ini kita telah tiba di bandar udara Hanandjoeddin di Tanjung Pandan. Dimohon agar para penumpang tidak berdiri selama lampu tanda kenakan sabuk pengaman belum dimatikan."

Aku terbangun setelah mendengar pengumuman itu. Penerbangan satu jam dari Jakarta ke Belitung berlalu begitu saja. Terlihat orang-orang sudah mulai berdiri dan membuka tempat penyimpanan bagasi kabin. Padahal lampu tanda kenakan sabuk pengaman masih menyala terang. Tak terpengaruh, aku tetap duduk sambil mengumpulkan keping-keping kesadaranku.

Aku selalu tertarik dengan tingkah laku manusia. Oleh sebab itu aku berusaha untuk menjadi yang pertama masuk ke pesawat, dan menjadi yang terakhir keluar dari pesawat. Banyak kejadian lucu yang terjadi selama proses menaikturunkan penumpang. Mulai dari yang duduk di bangku bagian belakang masuk melalui pintu depan dan rela terjebak kemacetan di gang pesawat yang sempit, penumpang yang membawa koper ekstra besar yang tidak muat ditaruh di tempat bagasi kabin, penumpang yang dengan pedenya berjalan dari bagian menuju ke bagian belakang mencari tempat duduknya yang ternyata terlewat dan harus berbalik arah lagi melawan arus kemacetan, dan masih banyak kejadian lucu lainnya.

Sayangnya kali ini tidak ada kejadian yang lucu berarti selama proses menurunkan penumpang.

Setelah aku turun dari pesawat, orang-orang yang sudah turun mendahuluiku ternyata masih berserakan di sekitar badan pesawat. Mereka melakukan kegiatan wajib 2015; selfie. Ada yang berfoto dengan latar gedung terminal, ada yang berlatar pesawat yang barusan ditumpangi. Mungkin setelah itu mereka melakukan check-in di sosial media masing-masing.


Gedung terminal bandara Hanandjoeddin, Tanjung Pandan


Gedung terminal bandara di Tanjung Pandan ini tak kalah kecilnya dibanding terminal kedatangan di Bandung. Malahan sedikit banyak mengingatkanku pada bandara Beringin di kampung halaman, yang sama-sama kecil. Setelah masuk ke dalam terminal, semerbak tercium bau cat. Nampaknya gedungnya baru direnovasi. Toilet di dalam gedung pun masih belum bisa digunakan.

Ana yang sedari tadi menahan sakit perutnya pun harus berjalan cukup jauh ke toilet yang berada sekitar 100 meter dari gedung terminal. Tak cuma itu, sesampainya di toilet dia masih harus mengantre. Zahra menemani Ana ke toilet, sedangkan aku pergi ke ATM yang terletak tak jauh dari toilet.

Sepuluh sampai dua puluh menit berlalu. Anak rombongan travel yang lain sudah pada ribut di grup WA, sedangkan Ana belum keluar dari toilet.

"Nih, Ra." Kusodorkan sejumlah uang pecahan seratus ribuan yang baru saja kuambil dari ATM. "Kayak biasa, ya. Kalo ada pengeluaran, lo yang atur. Kalo duitnya kurang, baru bilang"

"Dih. Kayak gini nih yang katanya mau traveling sendirian. Apa jadinya lo kalo gaada gue", dia menyambar uang yang kusodorkan.

"Iya, apa jadinya hidup gue kalo gaada lo", ucapku dalam hati.


Sekitar 5 menit kemudian, Ana keluar dari toilet. Wajahnya terlihat sedikit lebih lega. Kami bertiga pun berjalan menuju mobil jemputan travel.

Benar saja. Peserta yang lain sudah terlihat kegerahan menunggu. Karena kami bertiga adalah orang terakhir yang datang, kursi kosong pun hanya tersisa tiga; dua di bagian paling belakang, satu di bagian tengah. Karena Ana agak kurang enak badan, jadilah aku dan Zahra yang menempati dua kursi paling belakang.

Mobil Elf itu penuh berisi 19 orang. 2 orang pasangan suami istri paruh baya di bagian paling depan bersama dengan seorang supir yang bernama bang Nopoy, 4 orang berada di baris belakangnya, 3 orang lagi di baris belakangnya plus satu guide yang bernama bang Deni, 3 orang lagi di belakangnya, dan terakhir 4 orang di baris paling belakang.

Untuk mengingat nama kedua orang penting itu, mnemonic device yang kupakai adalah:

Deni Manusia Ikan



Nopon Hero (Heropon), Riki


P.S. I love that fluffy sidekick soooooooo much


Kondisi di Belitung ini sangat mirip dengan kondisi kampung halamanku. Kecuali bagian pantai dan tempat wisata, semuanya hampir mirip. Jarak antar rumah warga yang masih renggang, sedikit lampu merah (katanya cuma ada lima, sedangkan di kampungku cuma ada satu), jalan lengang dan bebas macet, belum ada Indomaret atau Alfamart, belum ada Sari Roti, dan cuacanya agak panas.

Tujuan pertama kami adalah menuju kabupaten Belitung Timur; satu dari dua kabupaten yang ada di pulau Belitung. Perjalanan ke Belitung Timur memakan waktu sekitar 1,5jam dan seakan perjalanan dari satu ujung pulau ke ujung yang lain. Sialnya, tenaga AC yang sudah maksimal masih tak mampu menyegarkan para penumpang, terutama yang duduk di bagian belakang. Aku, Zahra, dan sepasang orang lain (yang terlihat seperti pengantin baru) bernama Edi dan Rani bercucuran keringat. Kami sadar kami akan terus terjebak di posisi ini selama 1,5jam kedepan atau bahkan seumur perjalanan kami selama di Belitung.

Untungnya bang Deni sepanjang perjalanan berceloteh mengenai kondisi di Belitung. Mulai dari kondisi transportasi, jalan, ekonomi, pariwisata, dan lain-lain. Katanya di pulau Belitung ini hanya memiliki beberapa buah mobil taksi, bisa dihitung jari. Angkutan umum juga punah setelah proses kredit sepeda motor menjadi murah, mudah, dan menjamur. Untuk ekonomi sendiri, semenjak harga timah turun drastis, jumlah penambang timah menjadi sedikit. Dulu pada saat kejayaan PT. Timah, menjadi karyawan PT. Timah adalah dambaan setiap warga Belitung. Menjadi karyawan PT. Timah jauh lebih diimpikan dibandingkan menjadi PNS. Pun security PT. Timah jauh dihargai daripada Polisi. Sedangak untuk pariwisata, adanya film Laskar Pelangi sangat membantu promosi pariwisata di pulau Belitung itu sendiri.


Setelah 1,5jam berada di 'sauna' kami pun tiba di tujuan pertama; Kuil Dewi Kwan Im. Kata bang Deni, dulunya ditemukan sebuah patung dewi Kwan Im oleh seorang warga. Warga itu kemudian bermimpi dimana sang patung minta dibuatkan kuil. Voila, jadilah kuil dewi Kwan Im seperti sekarang.

Seturunnya dari mobil, kami para penumpang di bagian belakang merasa lega karena mendapat udara segar dan sejuk. Bajuku sampai basah karena keringat.


Pintu gerbang area kuil dilihat dari dalam


Di area kuil dewi Kwan Im ini banyak sekali pohon mangga kuweni. Pohonnya berukuran besar dan berbuah lebat. Banyak dari buahnya yang berjatuhan. Sempat terlintas di pikiran untuk mengambil beberapa namun urung dilaksanakan. Selain itu juga ada beberapa patung ukuran ekstra besar (seukuran Gundam kali ya). Beberapa sudah selesai, beberapa masih dalam proses pembangunan. Walau begitu, tanah kosong yang tersedia di lingkungan kuil masih sangat luas.

Sebagai seorang introvert tulen, yang namanya 'mati gaya' itu gampang banget terjadi. Misalkan ada sekelompok manusia. Apabila mereka berkumpul bersama atau membentuk sub kelompok lain, biasanya tertinggal diriku sendirian. Sendiri, bukan bagian dari kelompok manapun. Beruntunglah kali ini ada Zahra yang bisa kuikuti kemana-mana. Dia naik, aku juga naik. Dia turun, aku juga turun.







Setelah puas melihat-lihat, beristirahat, dan foto-foto, kami pun berangkat menuju tujuan berikutnya; Pantai Burong Mandi. Arti nama pantai ini sebenarnya adalah Burung Mandi. Tapi dengan logat lokal, akhirnya Burung berubah menjadi Burong. Contoh lain adalah kata Belitung yang berubah menjadi Belitong.

Aku sempat mengira akan menghadapi neraka sauna lagi untuk 1,5jam kedepan. Tapi ternyata pantai itu hanya berjarak 5menit dari Kuil Dewi Kwan Im.







Pantai ini sepi, tenang, dan teduh. Ada beberapa bangku untuk duduk, gazebo untuk berteduh, ayunan di bawah pohon, dan juga hammock. Zahra langsung sibuk dengan kameranya, dan lensa makro barunya. Aku dan Ana bersantai di kursi sambil menikmati angin dan Sari Roti untuk mengganjal perut. Anggota rombongan yang lain ada yang ikut duduk bersantai, ada juga yang pergi ke warung terdekat membeli kelapa muda. Di bibir pantai ada beberapa anak kecil sedang bermain pasir. Suasana tenang dan damai seperti ini membuatku mengantuk.

Mungkin aku sempat terlelap sejenak.

Setelah cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya; Makan siang. Kali ini makan siang di rumah makan yang bernama Vega. Rumah makan ini berada di atas air, entah itu air danau atau waduk, entahlah. Yang jelas airnya tenang. Walaupun kami masih duduk di satu meja super besar, kami sudah terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk menyesuaikan dengan porsi makanan. Salah seorang temanku, sebut saja Kokom, pernah mewanti-wanti: "Kalau makan di Belitung, jangan lupa tanya harga dahulu". Melihat menu yang disodorkan pelayannya cuma berisi daftar masakan tanpa harga, aku agak khawatir.

Grupku yang berisi aku, Zahra, Ana, Rani, dan Edi pun nekat memesan menu ikan dan sayur. Entah karena saat itu aku sudah kelaparan atau gimana, masakannya terasa sangat enak. Karena masih baru saling kenal satu sama lain, mereka pun masih malu-malu makan banyak. Alhasil, aku yang 'menafkahi' lauk, nasi, dan sayur yang tersisa. Masa bodo ama pencitraan, yang penting kenyang.


Cuma ada satu foto piring bekas



Saat bayar, aku gugup. Bukan karena takut duitnya ga cukup, kan duitnya dipegang Zahra. Tapi lebih ke arah gugup karena mungkin saja tumis kangkung tadi dihargai 100ribu. Kalo tumis kangkung aja dikasih harga segitu, gimana kabar ikannya? Bisa-bisa tagihannya ada 7 digit.

Zahra ke kasir untuk bayar sesi makan kami berlima.

Akhirnya tagihannya keluar, untunglah cuma berkisar di angka 200ribu-an. Kalo dibagi berlima, kira-kira biayanya sekitar 40ribu per orang. Lumayan laah.


Kebetulan sedang berada di dekat daerah yang bernama Manggar. Kota (daerah) ini disebut juga sebagai kota 1001 warung kopi, sampai ada monumennya. Benar saja, sepanjang jalan banyak sekali ditemui warung kopi. Ukurannya pun sebesar rumah makan.

Konon kabarnya disini warganya sangat sering ke warung kopi. Pagi sebelum berangkat kerja, ngopi. Istirahat siang, ngopi. Pulang kerja, ngopi. Sebelum tidur, ngopi. Sampai-sampai ada celotehan setempat yang berbunyi:

"Biasanya orang bilang kalo ngopi bikin ga bisa tidur. Kalau disini, tidur bikin jadi ga bisa ngopi"

Zahra adalah salah satu maniak kopi yang kukenal.

Kami pun singgah di salah satu warung kopi di Manggar ini. Aku memesan secangkir kopi panas untuk mengetahui seperti apa rasa kopi manggar yang diributkan. Kopi manggar ini katanya bukan diseduh, tapi direbus. Kalau biasanya kopi dituangi air panas, ini bubuk kopinya yang dimasukkan ke air yang sedang direbus. Jadi kopi yang diberikan ke cangkir kita berasal dari teko rebusan tersebut.

Karena aku bukan maniak kopi, lebih ke "kalo ada ya diminum, kalo gak ada ya sudahlah", maka aku ga bisa mengomentari rasa kopinya.

Banyak dari anggota rombongan yang memesan es kopi ataupun es kopi susu. Wajar saja, udara siang hari itu agak panas. Ana, yang masih sakit perut mau tak mau memesan secangkir teh hangat.







Puas ngopi-ngopi, selanjutnya kami berangkat ke tujuan selanjutnya; rumah pak Ahok. Aku berpikir ngapain yah mampir ke rumah orang, kayak kurang kerjaan aja. Terlebih lagi, orangnya kan lagi di Jakarta. NGAPAIIIN?! This is one of the stupidest visit I've ever made.

Benar saja. Kami cuma diperbolehkan masuk sampai halaman rumahnya. Dan ada yang selfie dengan latar rumah pak Ahok. Ya, seriusan. Foto-foto dengan latar rumah bertingkat kosong, punya orang pula. Kayak ga ada tempat lain aja.



Beruntunglah halamannya juga menyajikan tanaman-tanaman cantik













Ada keledai juga



Kampung Ahok, yang terletak persis di seberang rumah pak Ahok



Tujuan selanjutnya adalah salah satu tujuan utama yaitu Museum Kata Andrea Hirata. Jaraknya hanya sekitar 5menit dari rumah pak Ahok. Dilihat dari depan, tampilan museum ini sudah memancarkan aura unik. Seperti sebuah rumah, disulap menjadi museum. Dari luar gerbang terlihat warna-warni cat menghiasi dindingnya, disertai beberapa barang-barang 'rongsok' yang disulap menjadi dekorasi.




Masuk kehalaman depan, tak kalah uniknya. Terbaring sebuah 'patung' besar yang dilapisi terpal, diikat agar tidak bisa bergerak. Di sampingnya ada papan bertuliskan "Gulliver's Travels". Ah,, ini tiruan salah satu adegan di Gulliver's Travel. Di sebelah 'raksasa' itu ada beberapa pohon ketapang kecil rimbun setinggi lutut, lengkap dengan bebatuan yang biasanya dijadikan material pondasi rumah berserakan di sana-sini. Di sisi lain ada miniatur sekolah laskar pelangi. Cantik!



Isi di dalam museum tak kalah ajaibnya. Di ruang pertama banyak terpampang kutipan dari tulisan Andrea Hirata, terutama dari tetralogi Laskar Pelangi. Di ruang kedua ada sebuah sepeda tua yang dipajang. Di lantai ruang tengah ada tulisan:



You're toxic, Ra


Masuk lebih dalam, ketemu warung kopi! Ajaib ini Belitong, dimana-mana ada warung kopinya. Bahkan sampai di dalam museum




Toleh kanan, ada Mini Post Office!! Paket kartu pos + perangko = 15ribu. Biasanya mah palingan satu kartu pos 3ribu, perangko 3ribu doang. Tapi kali ini kartu pos nya bergambar museum kata, perangkonya juga. Biarlah kali ini agak overprice.

Alhasil beli dan dikirim :3














Puas melihat-lihat seisi museum kata, kami melanjutkan perjalanan menuju salah satu tujuan utama yaitu SD tempat syuting film Laskar Pelangi. Jujur aku sudah ingat-ingat-lupa dengan cerita Laskar Pelangi itu sendiri. Secara, pertama kali baca di tahun 2006 (kalo ga salah). Filmnya pun rasanya ga pernah ditonton sampai habis. Cuma menontonnya sekilas di tv.

Tiruan SD (yang juga digunakan untuk lokasi syuting) itu berada diatas sebuah tanah lapang yang agak menanjak. Di halamannya yang dipenuhi pasir berwarna putih itu berdiri tegak sebuah tiang bendera. Di sekeliling area sekolah itu pun bertebaran pohon Akasia dan beberapa pohon Balau. Menurut bang Deni, dikarenakan pulau Belitung ini banyak tambang timah, dan tanaman yang bisa tumbuh di lahan bekas tambang timah adalah pohon Akasia dan Jambu Mente, makanya di Belitung banyak pohon Akasia dan Jambu Mente. Tak terkecuali lingkungan sekitar SD ini.



Setelah puas menjelajah seluk beluk SD itu, hari sudah sore. Kami kembali memasuki mobil untuk pulang.

Sebelum menuju ke penginapan, kami mencari tempat makan malam. Bang Deni menyarankan pergi ke Rumah Makan Timpo Duluk, salah satu rumah makan paling terkenal yang ada di Belitong. Bang Deni pun mencoba menghubungi rumah makan tersebut. Sayangnya, mereka sudah full-booked sampai malam. Kami pun urung makan di sana dan mencari tempat makan lain.

Pilihan pun jatuh pada warung SS. SS disini bukan warung Spesial Sambal yang menjamur di Jogja, tapi warung SS lain. SS itu sendiri kalo ga salah adalah singkatan dari nama pemilik warung tersebut. Suasana warungnya pun lumayan nyaman. Aku dan Zahra memesan Sop Iga, sedangkan Ana memesan ayam.

Seperti biasa, sebelum makan aku berdoa. Kedua tanganku memegang sendok dan garpu, sedangkan kepalaku agak kutundukkan sedikit dan dengan mata terpejam. Zahra yang duduk di sebelahku menyerahkan benda-benda yang tidak disukainya dari sopnya ke mangkukku.

Selesai makan kami bertiga menuju ke mobil yang berada di depan warung. Persis di seberang warung itu ada sebuah gereja.

"Wah pantes tadi kayak ada suara lonceng gitu. Ternyata di seberang ada gereja", celetuk Zahra.

"Eh iya, yah. Ini kan malam natal", balasku.

"Eh Roy, kamu kok gak pulang kampung? Malah main-main kesini", tiba-tiba Ana ikut berbicara.

"Hah? Emang kenapa?" aku setengah bingung.

"Kamu gak takut dicap anak durhaka ya? Natal bukannya pulang malah jalan-jalan. Ckck"

Seketika itu juga aku paham apa maksudnya. Berkat bentukan wajah yang mirip ekspatriat dari negara sebelah (sebut saja Tiongkok), dan gaya berdoaku yang rada kurang umum, dia mengira aku penganut Kristen. Aku menatap Zahra dengan pandangan yang seolah berkata "JANGAN NGOMONG APA-APA. BIARIN AJA. BIARIIIN!!". Seolah mengerti, Zahra cuma berbalik badan sambil menahan tawa.

"Gak lah. Nanti habis dari liburan baru aku pulang kampung", jawabku mencoba bersikap biasa.

"Apa kamu ikut aliran natal bulan April? Aku pernah dengar tuh ada yang natalan bulan April", sahutnya.

"Eh? Masa ada yang natalan bulan April?" Kali ini aku yang bingung.

"Ada, kok", katanya berusaha meyakinkan. "Masa kamu yang penganut malah ga tau?"

"Iya deh iyaa. Eh, Ra, kenal sama senior yang namanya Esa ga? Orangnya agak gendut gitu?"

"Esa yang mana ya?"

"Aku tau, tuh. Mbak Esa anak debat kan?" sergah Ana.

"Kamu kenal, Na?" sahutku.

"Iya. Kenapa sama Mba Esa?"

"Gak. Dulu dia pernah cerita tentang emaknya. Kan mereka muslim yah. Nah suatu hari emaknya ini ngadain acara pengajian di rumah. Nah, pas lagi bawa apa gitu, aku lupa, tiba-tiba emaknya ini kepeleset jatoh. Emak nya kan latah yah. Latahannya ini yang gak banget"

"Emaknya ngomong apa, emang?" Ana penasaran

"Jadi emaknya jatoh, terus refleks nyebut 'Tuhan Yesus juru selamat'. Kan kocak. Mana lagi selamatan pula. Gegerlah itu satu rumah. Hahaha"

Setelah itu kami menaiki mobil untuk melanjutkan perjalanan ke penginapan


*****


Dalam perjalanan menuju ke penginapan kami singgah sejenak ke mini market. Dikarenakan Indomaret maupun Alfamart belum ada di Belitung, kami pun mampir di salah satu mini market lokal yang dinamai Babel Mart. Pertama kali melihat papan namanya, yang terbayang adalah menara Babel. Setelah bersemedi sesaat, akhirnya sadar kalo babel itu adalah singkatan dari Bangka Belitung. Hahaha.

Sebagai seorang yang banyak minum, aku berinisiatif membeli 2 botol Aqua ukuran 1,5 liter untuk persediaan. Para anggota yang lain juga ikut membeli beberapa botol. Setelah membayar di kasir, sebotol kuserahkan kepada Zahra.

Kami pun menunggu di depan mini market. Selain kami, ada juga orang lain yang berdatangan menggunakan sepeda motor. Uniknya, setelah mereka memarkirkan kendaraannya di depan mini market, mereka meninggalkan kunci motornya tersangkut di lubang kunci motor. Tanpa dilepas. Bukan cuma satu-dua motor, tapi semua. Kalau di Jakarta, 5 menit kemudian itu motor sudah dibawa kabur. Jangankan kuncinya ditaroh, yang kuncinya dicabut pun masih bisa hilang. Ajaib memang ini Belitung.


Sesampainya di Penginapan, pemilik penginapan masih setia menunggu dan menyambut kedatangan kami. Kamar kami sudah disiapkan di lantai 2. Di depan pintu masing-masing kamar sudah tertempel nama dari anggota grup yang akan menempati kamar itu. Zahra sekamar dengan Ana, sedangkan aku sekamar dengan seseorang yang bernama Rian.

Rian ini lulusan Teknik Industri ITB, mungkin antara angkatan 2006 sampai 2011. Berdasarkan hasil pengamatan, dia ikut perjalanan kali ini dengan temannya, seorang perempuan yang sama-sama lulusan ITB. Oleh karena itu kamar mereka dipisah.

Dan yang asik dari Rian ini adalah,, dia juga pake Seiko SKX007 seperti punyaku. Cuma bedanya, punyaku pake rubber sebagai bandnya, sedangkan miliknya menggunakan metal chain.



Oke, lanjut. Ukuran kamar yang kami tempati sekitar 3x4 meter dan dilengkapi sebuah kamar mandi. Di kamar ini sudah tersedia dua buah kasur, satu TV, satu AC, satu jemuran, dan satu lemari. Di kamar mandi pun menggunakan toilet duduk dan shower. Uniknya, flushnya harus menggunakan gayung karena tangki toilet nya dicopot.


Sudah jam 10 malam. Well, good night~




25 Desember 2015, Hari 2

Aku bangun sekitar jam 4 pagi. Hari masih gelap, kuputuskan untuk memejamkan mata lagi. Jam setengah lima aku kembali terbangun. Ba bi bu sebentar, lalu aku keluar kamar dengan membawa Nintendo 3DS ku. Sesuai dugaanku, pintu kamar yang laing masih terkunci rapat. Aku berjalan menuju teras lantai 2. Kutarik sebuah kursi plastik mendekat ke arah pagar, lalu aku duduk sambil memainkan 3DS ku.



Tak berapa lama berselang, terdengar suara dari bawah. Seorang bapak menatap ke arahku.

"Kami mau pergi ke pelabuhan, nih. Sebentar lagi. Kemaren nyari tiket pesawat, harganya mahal sekali." Bapak itu berbicara dengan logat daerah yang tidak kukenal. Aku hanya memandangnya dan tersenyum sambil berkata "Ooh. Iya, iya", dan lanjut bermain game.

Ujung mataku masih bisa menangkap sosok bapak itu. Dia masih menatapku dari bawah sana.

Sesaat kemudian dia nampak berlalu, menuju tempat nongkrong yang ada di lantai 1. Sekitar 5 menit kemudian ada seorang pria lain yang terlihat seperti pegawai penginapan. Bapak itu kemudian mengatakan hal yang persis sama dengan yang dikatakannya kepadaku sebelumnya. Kali ini, disertai dengan pegawai yang membukakan pintu pagar penginapan.

Kayaknya aku tadi dikira pegawai penginapan, deh.

Belum juga 24jam menginjakkan kaki di pulau belitung, udah ada 2 kejadian lucu yang diakibatkan "salah sangka". Liburan kali ini PASTI menyenangkan.


Sekitar jam 6.30 pagi, bang Deni dan bang Nopoy datang membawakan sarapan. Ugh, ini masih terlalu pagi untuk sarapan nasi. Aku turun ke lobi penginapan.

Di lobi ini aku mencium bau wangi yang kukenal. Cempedak!. Buah yang bentuknya mirip nangka, tapi lebih kecil, lebih wangi, lebih manis, dan lebih lembek dibandingkan nangka. Menu sarapan yang disediakan penginapan pagi ini adalah cempedak yang digoreng. Kalau diibaratkan dengan makanan yang umum di pulau jawa, mungkin mirip dengan bakwan jagung. Bedanya, isinya cempedak.

Aku menggigitnya, dan hampir menangis karena terharu, teringat hari-hari semasa di kampung halaman. Saking ekstremnya orang-orang di kampung halamanku, hampir seluruh bagian buah cempedak ini dipergunakan. Buahnya, dimakan. Bijinya, direbus lalu dimakan. Tentakelnya (benda mirip tentakel, apapun itu namanya), diasinkan lalu digoreng dan dinamai Mandai.

Ada serombongan keluarga tamu lain yang juga menginap di penginapan itu, dan terlihat sangat menikmati cempedak gorengnya.

Selain cempedak goreng, ada satu lagi camilan unik yang disediakan. Bentuknya segitiga seperti onigiri khas Jepang. Isinya bukan nasi, melainkan ketan. Ya, ini lemper. Kalau pada umumnya lemper dibungkus menggunakan daun pisang, disini lempernya dibungkus menggunakan daun yang bernama Simpor. Ini yang membuatnya terlihat unik, padahal isinya sama saja seperti lemper lain pada umumnya.



Tak lama kemudian Zahra turun ke lobi untuk sarapan. Dilihatnya tumpukan kotak makanan, dan membuka tutupnya. Isinya nasi. Ekspresinya kecewa, lalu menutup dan mengembalikan kotak itu bersama tumpukan lainnya.

"Cobain ini deh, Ra", kataku sambil menyodorkan gorengan cempedak kepadanya. "Cempedak goreng"

Dia mengambil dan menggigit gorengan itu. "Ah gue sarapan ini aja, ah." Dia lalu ke area minuman dan membuat segelas (gelas, bukan cangkir) teh panas.

"Bikinin buat gue juga dong", pintaku manja.

Tangannya terhenti saat masih menyendok gula. Dia mengarahkan pandangan tajam menusuk kepadaku. Sedetik kemudian dia mengambil satu gelas lagi dari penyimpanan dan juga menyendokkan gula kedalamnya.

"Silakan, tuan." Dia meletakkan segelas teh panas di mejaku lalu ikut duduk di sebelahku.

"Makasih, Rara~. Baik deh", godaku.

Agenda hari ini adalah snorkling. Karena sejak kecil aku biasa main air, aku paham betul bahwa setelah main air dalam waktu yang cukup lama, efek sampingnya adalah kelaparan. Dengan agak enggan aku mengambil nasi kotak yang ada di depanku. Kubuka tutupnya dan mendapati masakan yang kukenal yaitu Hintalu Masak Habang, kalau diterjemahkan artinya telur (rebus) dimasak dengan bumbu merah.

Entah karena beda adat atau apapun itu, di jawa tidak pernah kutemui masakan yang menggunakan bumbu merah. Bumbu merah ini sebenarnya terbuat dari cabe merah besar yang sudah dikeringkan, dan tidak ada rasa pedasnya sama sekali. Cabe ini kemudian direndam sejenak menggunakan air panas agar lunak, lalu diblender bersama bumbu-bumbu dapur lainnya. ujungnya, ditambahkan gula merah yang banyaaak agar warnanya makin menghitam, lalu direbus lamaaaa sampai benar-benar matang.

Jaman dulu waktu belum ada blender, ibuku mencincang cabai merah itu menggunakan talenan dan pisau. Bayangkan perjuangannya, bayangkan!

Terlepas dari itu semua, mendapati lauk ini di Belitung semakin menguatkan prasangkaku bahwa liburan kali ini adalah takdir yang telah disiapkan oleh-Nya.


Seorang dari anggota tim ada yang sakit, sebut saja si S. Sempat terpikir bahwa akan ada satu kursi kosong dan akan ada sedikit lebih banyak udara segar. Well, dia memaksa ikut walau sedang sakit.


*****


Setelah semua anggota selesai sarapan, kami berangkat menuju tempat semacam pelabuhan. Perjalanan ke sana memakan waktu sekitar 30 menit. Walau masih pagi, tetap saja kursi bagian belakang terasa gerah. Untungnya kali ini cuma setengah jam. Setelah sampai, si S mengeluarkan isi perutnya di semak-semak setempat.

Di (tempat yang harusnya) pelabuhan itu sudah menunggu kru perjalanan kali ini. Ada seorang bapak yang menyediakan set baju pelampung beserta alat snorkling, ada juga bapak-bapak lain yang menunggu di kapal. Kami mengenakan baju pelampung berwarna oranye terang yang telah dibagikan, dan berdoa semoga perjalanan kali ini lancar.

Aku yang males bawa barang macam-macam, menitipkan semua barang yang kubawa kepada Zahra. Gak banyak, kok. Cuma sebuah ponsel dan sebungkus baju ganti. Karena baju ganti dititipkan di mobil, aku menyerahkan ponselku. Sambil merengut, dijejalkannya ponselku ke tas kamera DSLR nya yang sudah penuh itu. Dengan susah payah, akhirnya tas kecil itu bisa tertutup.




Kalau menaiki kapal, aku selalu memilih duduk di tempat yang sepi atau bagian belakang. Kebetulan kali ini tempat yang sepinya juga berada di bagian belakang. Si S yang sakit berbaring di dalam ruangan yang berada di bagian tengah.

Tujuan pertama kami sangatlah dekat, bahkan sudah terlihat dari daratan. Sebuah susunan batu yang terbentuk alami bernama Batu Rajawali. Batu ini berada di tengah lautan. Kapal kami mengelilingi batu ini untuk melihatnya dari berbagai sisi. Kalau dari namanya, Batu Rajawali, aku mengasumsikan bentuk batu ini bakal mirip burung rajawali. Namun aku tak melihat representasi itu di batu ini. Meskipun sudah dilihat dari berbagai sudut, tetap saja aku tidak melihat bentuk rajawali.





Tujuan berikutnya adalah Pulau Lengkuas. Konon katanya, nama lengkuas (atau lengkoas menurut logat setempat) bukan karena bentuk pulau ini yang mirip lengkuas, atau karena pulau ini dipenuhi lengkuas. Tapi karena ada sebuah mercusuar di pulau ini, alias lighthouse. Karena warga lokal susah menyebut lighthouse, maka jadilah disebut lengkoas.



Jadi semakin ragu karena ada tulisan seperti ini di mercusuarnya



Di sekitar pulau ini juga masih banyak tempat-tempat yang belum terjamah.







Untungnya, kita diperbolehkan naik ke mercusuar ini hanya dengan membayar tiket masuk seharga lima ribu rupiah. Kalau tidak salah, tinggi dari mercusuar ini adalah sekitar 70 meter, dan terdiri dari 18 lantai. Jumlah orang yang masuk pun harus dibatasi.

Kenapa harus dibatasi? Alasan pertama adalah karena tangga yang digunakan untuk naik/turun mercusuar tidak bisa dilewati orang yang naik dan turun bersamaan, saking kecilnya. Kedua adalah karena jendela-jendela di mercusuar ini tertutup, kalau terlalu banyak orang di dalam, mungkin banyak yang pingsan karena kekurangan oksigen.



Kalau di lantai paling bawah udara masih terasa segar. Di tengah-tengah mercusuar udara mulai terasa lembab. Telapak kaki yang secara langsung menjejak lantai besi mercusuar pun bisa merasakan butiran-butiran air yang mengembun, membuat lantai itu menjadi agak licin. Diduga ini adalah hasil dari uap sisa pernafasan atau uap sisa keringat orang-orang yang naik-turun mercusuar. Kalau orang-orang diperbolehkan masuk dalam keadaan basah, mungkin keadaan ini akan lebih parah.

Alasan yang ketiga sekaligus alasan terpenting (menurutku) adalah karena puncak mercusuar sangat sempit sekaligus sangat segar. Setelah terjebak menghirup udara bekas selama perjalanan dari lantai 1, menghirup udara segar di puncak ini serasa mendapati surga. Oleh karena itu, tak jarang orang berlama-lama di puncaknya. Entah sekedar menghirup udara segar, atau bahkan karena malas memasuki neraka udara bekas untuk turun.

Puncak mercusuar ini adalah tempat terbaik untuk mengambil foto. Dari ketinggian 70m kita bisa mengamati seluruh pulau dengan baik. Pemandangan yang dihasilkan juga luar biasa. Hal ini semakin membuat pengunjung ingin berlama-lama berdiam di puncak. Hasilnya, puncak dua puluhan orang mengantre di puncak.






Cantik, kan?


Perjalanan turun tak kalah melelahkan daripada perjalanan naik. Orang awam sering berpikir bahwa perjalanan turun jauh lebih mudah dari perjalanan naik. Tapi tidak! Perjalanan turun kali ini melibatkan tangga yang terbuat dari plat besi yang curam yang lembab. Kalau terpeleset, jatuh, bisa mati.

Seperti biasa, aku berjalan di paling belakang.


Setelah sampai bawah, matahari sudah meninggi. Kami menuju tempat berteduh di bawah pohon. Disana sudah tergelar terpal untuk alas duduk, ada bang Nopoy dan si S yang masih terbaring. Kami menuju lokasi itu untuk beristirahat sejenak. Setelah sepuluh menit beristirahat, kami menuju tujuan berikutnya di pulau ini.

Lokasi kali ini adalah susunan batu-batu super gede yang berada di sisi lain pulau. Entah bagian utara/selatan/barat/timur, aku sudah lupa arah. Tapi kalau dari posisi kedatangan, lokasi ini berada di bagian kanan pulau. Susunan batu besar yang tidak beraturan menghasilkan pemandangan alam tersendiri. Banyak orang yang menaiki bebatuan untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih bagus, atau hanya sekedar untuk mengambil foto selfie. Semakin susah batu itu untuk didaki, semakin sedikit orang yang ada di sekitarnya. Mas Handoko, salah seorang anggota tur yang paling semangat dan hiperaktif memanjat dan menjelajah sampai ke ujung susunan batu. Disana tak ada orang lain yang menjelajah sejauh itu. Kami hanya melihatnya dari kejauhan.

Aku tetap menempel pada Zahra. Well, kalau dipikir-pikir, dia cewek, dan bebatuan seperti ini tempat yang agak berbahaya. Jadi mending sekalian jagain dia. Begitu pikirku saat itu.

Bergantian kami memegang kamera yang dibawanya. kadang dia yang membawa dan memotret pemandangan, kadang aku yang mengambil alih sambil mencari momen-momen unik untuk diabadikan. Yang pasti, tas kamera hitamnya selalu berada di pundakku.

Salah satu alasannya sangat sederhana; aku butuh beban. Aku mempunyai sebuah tas 'selempang' merah yang sudah kupakai sejak kelas 6 SD. Tas ini biasanya kubawa saat bepergian. Saking lamanya tas ini bersamaku, sampai-sampai berasa menjadi trademark. Pernah aku pergi menemui teman-temanku di Bandung, dan berjalan tanpa tas ini. "Gue rasa aneh ngeliat lo ga pake tas merah butut lo itu. Berasa ada yang kurang", ujar mereka.

Aku pun merasa aneh karena tak ada beban di bahuku.

Jadi, aku menawarkan diri untuk membawakan tas kameranya. Dan dia pun menyerahkan dengan senang hati.

Selain Mas Handoko, ada orang lain yang juga berkeliaran menyendiri; Mbak Rani dan Mas Edi. Sepasang suami-istri ini berkeliaran kesana-kemari berdua, tak jarang aku dan Zahra bertemu mereka berdua di tempat yang agak sepi sambil beraksi di depan monopodnya. Walaupun begitu tak pernah sekalipun memergoki mereka melakukan tindakan yang... ah sudahlah. Intinya, mereka orang baik-baik.

Mas S yang sedari tadi terkapar di bawah pohon, tiba-tiba muncul dengan tangkasnya melompati bebatuan. Anggota grup yang cewek pada berteriak kegirangan melihat orang yang sedari tadi terbaring lemas sekarang sudah bersemangat melompat-lompat sambil membawa monopodnya. Dia berusaha mendatangi Mas Handoko yang berada nun jauh di ujung sana.

Kebanyakan anggota cewek tidak berani menaiki bebatuan, dan tetap tinggal di bawah. Tentu saja tetap ada pengecualian; Mba Rani dan Zahra. Selagi cewek-cewek lain sibuk groufie di bawah, Zahra sibuk menjepret dengan kameranya. Saat itu dia sedang mengambil gambar dari atas batu tertinggi di tengah area. Aku yang sedang berteduh bergegas menghampirinya untuk melihat hasil jepretannya.

"Ra, coba sini pinjam kameranya", kataku. Dia menyerahkan kamera itu, dan aku mencoba melihat gambar yang diambilnya. Sinar matahari terlalu terik sehingga mengalahkan cahaya yang dihasilkan layar kamera itu. Menyerah, aku mendekatkan mata kiriku ke viewfinder, lalu membidik kamera ke arah grup cewek yang masih asyik groufie. Setelah itu aku mengarahkan kamera ke mercusuar yang masih terlihat di belakang mereka, lalu berbalik badan menghadap Zahra yang asyik duduk memandang laut.

Satu jepretan gambar bidadari yang sedang memandangi lautan.

"Nih, Ra", kukembalikan kamera itu kepadanya.

Dia menoleh ke belakang, lalu berdiri. Diambilnya kamera itu dari tanganku. Saat itu juga terdengar suara dari grup cewek yang ada di bawah.

"Cieee. Jadian~. Jadian~"

Aku mengenali suara itu, suara Ana. "Sialan", pikirku. Tak lama kemudian, cewek yang lain ikut berteriak "Ciee".

Aku berusaha menahan ekspresiku agar tidak berubah. Tak kuhiraukan suara-suara mereka. Sesekali kucuri pandang ke arah Zahra yang berdiri di sebelahku. Ekspresinya juga nampak biasa saja. Aku berpikir mungkinkah dia juga memikirkan hal yang sama denganku.

Tak lama kemudian, suara mereka berhenti. Nampaknya mereka menyerah.


Setelah itu Bang Deni memanggil kami untuk kembali ke tikar(terpal) di bawah pohon. Disana sudah tersedia tumpukan nasi kotak untuk makan siang kami. Di sekitar tikar kami ada seekor kucing yang berkeliaran. Entah siapa yang iseng membawa kucing ke pulau kecil ini, sendirian pula.

Karena tiba waktu sholat, kami bergantian menuju musholla. Zahra pergi pertama, dan aku menjaga barang-barangnya. Sejak kejadian dengan Ana kemarin malam, aku selalu curi-curi waktu kalau ingin sholat. Berusaha supaya dia tidak melihatku. Biasanya dia mengambil giliran sholat awal, sama seperti Zahra. Tapi entah kenapa kali ini dia tidak. Dia malah bersamaku mengelus-elus kucing ini. Lima menit kemudian dia akhirnya pergi.

Zahra kembali. Aku menyerahkan tas kamera kepadanya, lalu berjalan santai menuju musholla. Agak mengendap-endap, melihat sekeliling, memastikan bahwa tak ada Ana. Saat mengambil wudhu, aku melihat ada sekelebat bayangan orang, posturnya mirip Ana. Aku merasa lega. Saat memasuki ruangan musholla, ternyata Ana masih ada disana, shaf cewek paling depan. Glek. Mengendap-endap aku menuju pojok depan musholla, berharap agar tidak ketahuan. Otomatis, tingkat ke-khusyuk-an berkurang drastis.













Setelah semua anggota yang perlu sholat menyelesaikan sholat mereka, kami kembali ke perahu untuk menuju tujuan selanjutnya, snorkling. Destinasinya tak jauh dari Pulau Lengkuas ini. Mercusuar nya pun masih bisa terlihat dengan jelas.

Zahra tidak ikut turun. Dia hanya mengambil foto dari atas perahu saja.

Sebelum aku turun, ada seorang anggota yang bertanya "Eh itu gapapa jam tangan ga dilepas?". Hampir nyengir, aku menjawab "Gapapa," dan berpikir dalam hati "ini jam ada di kelas menyelam 200m. Kelas renang kayak gini mah ga berasa," lalu nyemplung.

Pemandangan bawah laut disini rasanya lebih bagus daripada yang ada di Lombok. Ikan-ikan yang berkeliaran juga jauh lebih banyak. Hanya dengan sedikit remah-remah malkist, ikan2 itu sudah berkumpul. Sayangnya, tempat snorklingnya cuma satu ini, dan aku juga tidak bertemu penyu yang berenang, seperti saat berada di Lombok. Karena memakai pelampung dan tidak memakai kaki katak, rasanya capeek sekali. Setengah jam berada di laut, aku kembali ke perahu.

Si cewek temennya Rian, dengan gagahnya berenang menggunakan kaki katak yang dibawanya sendiri dan tanpa pelampung. Dia pun jadi semakin terlihat 'menarik'.



Tak lama kemudian, mas S juga naik ke perahu. Wajahnya menyiratkan bahwa dia merasa tak enak badan. Benar saja, tak lama kemudian dia memuntahkan isi perutnya ke laut, sisi yang berbeda dari tempat anggota lain yang sedang berenang. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati, akankah muntahan orang dilaut dimakan ikan? Hari ini aku menyaksikan bahwa ikan yang berkumpul tak kalah ramainya dibandingkan ketika mereka diberi remah malkist. Bergidik, aku tetap diam di atas kapal dan tidak mau kembali ke air.

Selain snorkling, Belitong juga menawarkan wisata air lainnya. Ada sebuah pulau pasir kecil yang hanya muncul jika air sedang surut. Saking kecilnya pulaunya, seluruh bagiannya adalah pasir pantai. Sewaktu kami mampir, ukuran pasir yang menyembul di atas permukaan hanya sekitar 4x10 meter, sisanya masih terendam di dalam air. Dan jumlah perahu yang merapat ada sekitar 7 perahu. Masing-masing perahu setidaknya membawa 10 orang. Bayangkan betapa ramainya.

Sisa pulau itu terendam oleh laut sekitar 70senti, dan luasnya mungkin berpuluh-puluh kali lebih besar dari bagian yang menyembul ke permukan. Persis seperti kolam renang dangkal dengan ukuran super besar dan air yang asin. Di sini juga banyak terdapat bintang laut, walau tak sebanyak yang ada di Pantai Bintang; salah satu pantai di Kepulauan Seribu.

Kali ini Zahra ikut turun ke air. Agendanya tak jauh-jauh dari foto-foto dan mencari bintang laut. Di air yang bening seperti ini, sangat mudah mellihat menembus air sedalam 70cm untuk mengamati dasarnya sambil mencari-cari bintang laut. Mengambilnya, lain cerita. Pertama, susah mengambil mereka tanpa mencelupkan kepalamu ke air. Dan penglihatan dalam air tanpa goggle itu... buruk. Kedua, aku masih khawatir kalau tiba2 salah pegang bagian bintang laut, lalu digigit (walau kayaknya ga mungkin). Dan masih banyak alasan ketakutan lainnya.




Setelah capek bermain air, kami kembali ke darat. Kami menuju kamar bilas yang berada di belakang warung pinggir pantai. Karena hanya ada dua kamar bilas, dan setidaknya satu orang menghabiskan waktu 15 menit, maka antrian bilas ini mengular dengan cepat. Aku, Ana, Rani, Edi, bang Deni, dan bang Nopoy memutuskan menunggu sampai antrian berkurang sambil duduk ngobrol di warung. Zahra memilih untuk berkeliling sekitar pantai dan mengambil beberapa gambar.

Satu setengah jam menunggu, akhirnya antrian habis. Aku menuju ruang bilas. Sumber air yang digunakan adalah sebuah sumur yang airnya masih diambil menggunakan timba dan katrol. Aku sempat mengira rasa airnya akan asin karena masih sangat dekat dengan laut, tapi ternyata tidak. Keluar dari kamar bilas, aku membayar 5ribu rupiah, lalu menuju warung tempat berkumpul.

Rani dan Ana sedang mengatur siasat jahat. Kelaparan, mereka berniat memesan Indomie. Aku terhasut, dan ikut memesan semangkuk mie kuah. Mereka juga 'menyogok' bang Deni dan bang Nopoy masing-masing segelas kopi agar mau menunggui kami makan. Untunglah berhasil.


Tujuaan selanjutnya adalah tempat gahol orang Belitong; Pantai Tanjung Pendam. Tempat ini sebenarnya semacam taman yang selain ada area terbuka untuk umum, juga ada beberapa kafe. Tentu saja ada pantai juga. Beberapa anggota tur berfoto dengan berbagai pose aneh.






Menjelang maghrib kami meluncur ke warung makan. Karena Warung Timpo Duluk juga masih penuh, kami pergi ke rumah makan lain. Karena menunya terlalu banyak, dan terasa agak berat buat kantong, aku memesan nasi putih dan tumis kangkung; menu paling aman. Ana yang juga masih agak kenyang setelah makan indomie tadi siang, memesan seporsi Cap Cay tanpa nasi. Itupun, tak bisa dia habiskan. Aku bertanya-tanya dalam hati kenapa anak ini segitu gampangnya menyisakan makanannya. Tak malam ini, tak kemarin malam.

Aku punya beberapa teman yang masuk dalam kategori 'tong sampah', yaitu mereka yang tugasnya menghabiskan makanan yang tersisa, dan tentu saja para 'tong sampah' ini biasanya ditemani dengan para penyuplai. Tanpa adanya penyuplai, tak mungkin mereka bisa mendapatkan julukan itu. Dan para penyuplai ini biasanya hanya menyisakan bagian yang tidak mereka sukai misalnya sayur. Saat mereka merasa kekenyangan dan tidak mampu menghabiskan makanan mereka, mereka setidaknya akan menghabiskan lauk yang ada. Ada juga yang menyisakan sedikit lauknya, hanya supaya para 'tong sampah' lebih tertarik untuk menghabiskan apa yang tersisa dari piring mereka.

Ana, beda. Hari pertama dia menyisakan lebih dari separuh lauknya. separuh bagian dada ayam itu tergeletak begitu saja, menggelitik instingku untuk mengambilnya. Tapi aku masih mencoba menahan diri di depan orang yang baru kukenal. Hari ini, dia juga menyisakan separuh Cap Cay nya. Kombinasinya masih lengkap, artinya dia tidak memilih jenis yang disukainya dan meninggalkan sisanya. Aku ingat ada seseorang yang pernah minta dibungkuskan nasi padang (yang mana bisasanya berukuran jumbo). Nasinya yang masih sisa separuh, dibungkusnya kembali untuk dimakan beberapa jam kemudian saat dia mulai lapar lagi.

Ah sudahlah. Toh tiap orang punya masalahnya masing-masing.


Kami pun kembali ke penginapan dalam keadaan kenyang. Malam itu tubuhku, tepatnya kulit, terasa panas. Ini akibatnya sok jago bermain di bawah terik matahari tanpa memakai sunblock.






26 Desember 2015, Hari 3


Saat dalam perjalanan pulang dari rumah makan semalam, aku sedikit bercakap-cakap dengan Zahra.

"Ra, tadi pagi lo bangun jam berapa?"

"Jam 3"

"Wah gila. Terus ga tidur lagi?"

"Enggak, lah. Udah jam segitu mah nanggung"

"Hmm kalo gitu, besok pagi mau jalan-jalan sekitar penginapan, ga?"

Dia berpikir sejenak. "Boleh. Mau jam berapa?"

"Hmm. Kemarin pintu pagar baru dibuka jam setengah enam pagi, sih. Gimana kalo besok ngumpul dulu di teras lantai 2 jam 5? Kali aja jam segitu pintunya sudah dibuka," saranku.

Pagi ini, jam 5 pagi, matahari masih malu-malu. Langit masih terlihat gelap. Zahra masih belum datang di teras. Aku mengatur posisi kursi seperti kemarin, lalu menunggunya sambil memainkan 3DS ku. Tak lama kemudian, dia datang dengan membawa kameranya. Tentu saja, dengan masih mengenakan piyama.

"Eh, kalo sunrise keliatan dari sini, gak?" tanyanya.

"Hmm. Kemarin sih lumayan keliatan. Lihat aja kesana," aku menunjuk ke arah kiri yang sekaligus adalah timur.

Tak lama kemudian dia sudah asyik dengan kameranya sendiri. Melupakan tujuan utama aku mengajaknya pagi itu. Jam setengah 6 pagi, pagar penginapan sudah dibuka, tapi Zahra masih asik dengan kameranya. Aku membiarkannya menikmati momen itu.




Sekitar jam 6, saat matahari sudah tinggi dan tidak bisa difoto lagi, dia berhenti.

"Yok, jalan," katanya sambil tersenyum sumringah.

Aku menutup 3DS ku lalu berdiri. "Jam berapa ini, Raaaaaaaa?! Bentar lagi bang Deni dateng loh nganter sarapan"

"Yaudah, sih. Masih sempat, kok. Walau cuma bentar," bantahnya.



Kami berjalan ke tanpa arah. "Yang penting masih ingat arah pulang," pikir kami saat itu. Yang pertama kami temui adalah sebuah sungai kecil. Disana ada warga yang sedang mencuci bajunya. Benar saja, air sungainya masih sangat bening. Wajar kalau masih bisa dipergunakan untuk kepentingan sehari-hari.

Berikutnya ada pohon nangka dan pohon cempedak yang bersebelahan di pinggir jalan.



Jarak antar rumah warga masih renggang. Mengingatkanku akan kampung halaman yang juga masih berpenduduk sedikit (walau saat ini sudah mulai padat).





"Eh si Ana tadi malam nanyain, loh"

"Nanya apa lagi dia?"

"Katanya 'Temenmu itu bukan Kristen, yah, ternyata? Tadi siang aku liat dia Sholat. Tapi kok dia diem-diem aja yah kemaren malam?'"

"Waduh. Ketauan, deh," aku tertawa. "Terus terus terus? Ada lagi?"

"Ya habis itu gue bilangin aja kalo lo emang hobinya iseng"

"Cih. Padahal kalo ga ketahuan sampe pulang kan lumayan bisa jadi bahan"


*****


Sekitar jam 6:45 kami kembali ke penginapan. Aku dan Zahra langsung duduk di lobi. Lagi-lagi aku meminta Zahra membuatkanku segelas teh panas. Pagi ini tak ada lagi Cempedak goreng. Lemper yang dibungkus daun Simpor juga tak ada. Jadi aku hanya duduk dan menyesap tehku.

"Tadi habis keliling-keliling, yah, dek?" tanya ibu penjaga penginapan pada kami.

"Iya, bu. Tadi habis keliling-keliling sebentar," Zahra menjawab.

"Tadi ke arah mana? Ngeliat muara, gak?"

"Wah. Sekitar sini ada muara, yah?"

"Ada. Kalian tadi keluar penginapan belok kiri, kan? Terus di pertigaan kalian belok kanan. Jalan aja teruus, nanti ga lama ketemu muara, deh"

"Aduh. Kami tadi malah belok kiri di pertigaan," ceritanya. Dia menatapku. "Kalo besok pagi, masih sempat gak yah?"

"Nope. Won't do," aku menggeleng sambil mengangkat gelas.

"Cih. Kalo gitu gimana kalo kita kesana sekarang?" pintanya.

"Kita mesti siap-siap, woi. Lo mau jalan-jalan masih pake piyama?"

Akhirnya dia menyerah. Raut wajahnya masih mengisyaratkan sedikit kekecewaan. Setelah teh kami habis, kami kembali ke kamar masing-masing, lalu mandi. Selesai mandi, turun kembali ke lobi dan nasi kotak sudah tersedia.


*****


Hari ini tujuan kami yang pertama adalah Warung Kopi Kong Djie. Ini adalah warung kopi paling terkenal dan paling tua (kayaknya) yang ada di Belitong. Katanya sudah ada sejak 1943. Di dalamnya sudah ada beberapa warga setempat yang juga mengawali hari mereka dengan berinteraksi di warung kopi. Atas doktrin dari salah satu warung kopi di Jogja - Klinik Kopi - yang mengajarkan minum kopi dengan cara yang benar, aku memesan segelas kopi panas. Anggota yang lain hampir tidak ada yang memsan kopi panas. Kebanyakan memesan kopi susu, baik dingin maupun panas.



Di belakang kami ada sepasang pemain catur. Umur kedua orang itu terpaut jauh. Yang satu nampaknya baru menginjak remaja, sedangkan yang lain sudah terlihat seperti sedang berada di akhir 30an. Remaja itu dilibas dengan santainya oleh bapak itu. Berikutnya bapak itu menantang kami. Tak ada yang berani maju. Bapak itu pun membereskan papan caturnya dan beranjak ke kasir.








Berikutnya, Danau Kaolin. Sebenarnya ini adalah danau yang terbentuk dari sisa tambang kaolin. Kaolin sendiri adalah semacam tanah liat berwarna putih yang katanya biasa digunakan untuk kosmetik. Matahari saat itu sedang terik-teriknya, dan menghasilkan pantulan yang luar biasa di air yang berwarna biru itu. Aku benci cuaca panas. Seringkali aku berlindung di balik mobil kami yang sedang diparkir.






Yang mengejutkan adalah, setelah kami puas mengambil foto di sekitar Danau Kaolin dan berjalan menuju mobil, terlihat pelangi di kejauhan. Pelangi di tanah Laskar Pelangi. Melankolis



Sempat ke rumah adat sejenak (I totally forgot this one)






Tujuan selanjutnya adalah ke lokasi syuting film Laskar Pelangi lainnya. Namanya Tanjung Tinggi, kalau tidak salah. Di tempat ini banyak sekali bebatuan berukuran besar, lebih besar dari batu-batu yang ada di Pulau Lengkoas.




Kali ini aku agak memisahkan diri dari Zahra. Alasannya sederhana, dia lebih dulu melesat, dan menghilang. Jadinya aku hanya diam berdiri menghadap laut, sambil sesekali melihat sekeliling. Siapatahu ada dia di sudut sana.

Bukannya menemukan Zahra, malah menemukan bang Deni di batu sebelah.

Aku memanjat ke batu sebelah menghampiri bang Deni. Sialnya, dia malah turun. Aku kembali salah tingkah dan memutuskan kembali melihat pemandangan dari atas batu ini.

Tak lama kemudian, Zahra malah naik. Dia mulai mengarahkan kameranya ke pemandangan. Aku diam-diam turun dan mengikuti bang Deni yang sudah beranjak ke spot berikutnya.





Zahra juga ikut menyusul. Dia membawa kamera sambil memegang penutup lensa widenya. Sayangnya, dia cukup teledor sampai menjatuhkan penutup lensa itu tanpa disadarinya. Saat tersadar, benda itu sudah tak lagi ada di genggamannya. Saat dia sedang asyik mengambil foto di spot baru ini, aku menelusuri kembali jalan yang tadi kami lalui. sekitar 10 menit berjalan, aku melihat sebuah benda bundar yang berwarna hitam. Kuambil penutup lensa itu, lalu mengendap-endap berjalan ke arahnya yang sedang asyik.

"Nih," aku menepuk pundaknya dari belakang menggunakan tutup lensa itu.

Dia berbalik. "Waah tutup lensa gue. Jadi dari tadi lo yang pegang, ya?"

"Kaga, dodol. Nemu disana, noh," aku menunjuk tempat dimana aku menemukannya tadi.

"Oh, makasih deh kalo gitu. Nih masukin lagi ke tas nya," dia mengembalikan tutup lensa itu kepadaku.


Para anggota yang lain sedang berada di batu paling besar yang berada persis di pinggir laut. Untuk menyeberang ke sana harus melewati daerah yang terendam air laut, setidaknya separuh betis. Kupikir pemandangan di sana juga tak jauh beda dengan apa yang bisa dilihat dari sini. Tak ingin celana kami basah, aku dan Zahra hanya melihat dan mengambil foto mereka dari kejauhan.








Lelah bermain-main, beristirahat di pantai sebelah.






Selanjutnya kembali naik mobil, berangkat menuju Pantai Bukit Perahu. Untuk mencapai pantainya dari tempat parkir kita perlu menuruni ratusan anak tangga. Mana pas lagi lapar-laparnya. Huft








*****


Saatnya makan siaaang. Akhirnya kali ini warung Timpo Duluk ga penuh. Bang Nopoy memacu mobil menuju warung itu.

Warung itu persis berada di perempatan. Kalau di Jogja mungkin posisinya mirip seperti lokasi Sop Merah, walau jalannya tak sebesar dan seramai di sana. Dengan santainya kami bisa parkir di pinggir jalan.

Sesuai namanya, warung Timpo Duluk ini bertema suasana jaman dahulu. Di dindingnya tergantung beberapa benda-benda jaman dulu. Yang paling ekstrem adalah sepeda.






Warung ini sebenarnya seperti rumah yang disulap menjadi warung. Karena itu, mereka tidak mempunyai meja yang bisa menampung sekitar 19 orang sekaligus. Kami pun terbagi menjadi dua kubu yang masing-masing ditempatkan di sebuah meja panjang.

Di meja kami terdiri dari 9 orang. Aku, Rara, Rani, Edi, Handoko, Mas S, dan 3 orang temannya yang lain. Ana? Dia bergabung dengan geng cewek. Dan walaupun meja yang kami tempati adalah satu meja panjang, suasananya terbagi menjadi dua kubu. Kubu satu terdiri dari aku, Rara, Rani, dan Edi. Sedangkan kubu lainnya terdiri dari sisa 5 orang lainnya. Kami memesan paket makanan untuk 4 orang.




Rasa makanannya, super ueeenak! Sekali lagi, aku tak bisa membedakan apakah ini karena sedang dalam kondisi kelaparan atau karena memang enak, atau malahan karena keduanya. Kalau diingat-ingat, makanan-makanan selama di Belitong ini banyak yang mirip di kampung halamanku. Jadi mungkin saja perasaan 'enak' itu datang dari lidahku yang merasakan 'rasa yang membesarkannya'.

Seperti biasa, ada tugas 'bersih-bersih'. Kali ini aku tidak sungkan.


*****


Zahra pernah bercerita padaku kalau ibunya pernah bersabda:
"Janganlah kalian berbelanja dalam perut lapar karena niscaya kalian akan kalap," sambil memperhatikan Zahra melahap makanannya di food court sebuah pusat perbelanjaan. Setelah itu, Zahra yang sudah kenyang menjadi tak bernafsu berbelanja. Ditanya "pingin ini, gak?" dijawab dengan gelengan. Sungguh dia telah berubah menjadi mesin pendamping belanja (alias pembawa barang belanjaan) yang sempurna.

Jadi pergi membeli oleh-oleh setelah makan siang adalah keputusan yang tepat.

Aku adalah orang yang paling malas membeli oleh-oleh, kecuali aku mengetahui kalau orang yang menerimanya PASTI menyukai barang yang kuberikan. Terlebih lagi kalau barang tersebut menimbulkan dilema bagi si penerima. Contohnya ada seorang sahabat yang sukaaa sekali makan cokelat. Suatu hari dia sakit, alergi. Setelah diperiksa, salah satunya adalah alergi cokelat. Memberinya cokelat adalah salah satu hobiku saat ini.

Toko oleh-oleh pertama yang kami kunjungi adalah toko pernak-pernik. Mulai dari baju berbagai ukuran, gantungan kunci, sampai tas tangan, semua lengkap. Sebelum masuk, entah kenapa karyawan toko menempelkan sebuah stiker di bahu kami.

Fiks, pulang tanpa bawa oleh-oleh. Orang rumah tidak pernah menunjukkan minat setiap dibawakan oleh-oleh. Dibawakan makanan khas setempat pun tak ada yang memakannya. Ujung-ujungnya selalu aku yang menghabiskannya.

Melihat Zahra dan Ana yang masing-masing membeli banyak barang aku jadi bertanya-tanya. Kira-kira barang-barang itu akan diberikan kepada siapa saja, ya? Tas jinjing, gantungan kunci, tempat pensil, gelang, pin, masing-masing diambil 10 untuk tiap jenis. Keranjang belanjaan mereka penuh dalam sekejap. Aku asyik mengambil foto seisi toko.




Toko oleh-oleh kedua adalah toko makanan. Toko ini menjual mulai dari kerupuk, kopi, sampai buah dalam kemasan. Yang menggelitik rasa ingin tahuku adalah sebuah buah dalam kemasan yang bernama buah Kelubi. Kata Bang Deni, buah ini adalah buah yang pasti pernah dimakan setiap anak yang tumbuh dan besar di Belitong. Rasanya kecut, katanya. Aku menjadi teringat buah yang juga rasanya kecut.




Dan seperti doa yang diijabah, tiba-tiba aku menemukan buah itu. Di kampung halamanku buah itu dinamakan Munau. Bentuknya bulat seperti kelereng, tapi sedikit lebih besar, rasanya lebih asam dari mangga muda, kulitnya seperti kulit salak, bijinya seperti biji duku, tetapi bergerigi. Oleskan ke baju putih, getahnya tak bisa hilang. Jangankan itu, gigi seri pun bisa dibuat bernoda kuning karenanya. Disini aku menemukannya dalam sebuah kemasan yang dinamai Buah Manau. Tak salah lagi, ini dua benda yang sama.

Dan aku membeli kedua jenis buah itu.

Tujuan terakhir kami, Mie Atep. Katanya jangan 'ngaku pernah ke Belitung kalau belum pernah makan mie ini. Warungnya hanyalah bangunan ruko biasa, tapi ramai luar biasa. Saking ramainya sampai tak sempat membereskan cucian piring kotor yang menggunung. Masuk kedalam aku langsung merasakan hawa pengap, karena ruko ini tidak mempunyai ventilasi yang cukup. Ruko, ramai, aku jadi teringat warung Bakmi Apeng di Surabaya yang suasananya mirip. Zahra yang masih kenyang menyumbangkan sebagian porsinya kepadaku.

Setelah semua kekenyangan, kami dikembalikan ke penginapan. Itu pertama kalinya kami pulang sebelum gelap selama perjalanan kami di Belitong. Kami disuruh beristirahat, dan nanti malam akan diajak menuju pantai Tanjung Pendam untuk nongkrong di kafe. Tentu saja hanya bagi yang ingin ikut.


*****


Jam setengah delapan malam, sembilan orang sudah keluar dari kamarnya. Sembilan orang ini sudah bersiap menikmati malam minggu sekaligus malam terakhir kunjungan di Belitong. Ana tak termasuk di antara 9 orang ini. "Meliat orang be'biak'an," kata Bang Deni. Artinya kurang lebih adalah melihat orang berpacaran. Oh iya, kayaknya bahasa Belitong ini beberapa ada yang mirip bahasa Banjar. Beberapa yang kuingat adalah 'sahang' yang berarti merica, dan 'ikam' yang berarti kamu.

Kami berangkat menuju pantai Tanjung Pendam. Mobil ini terasa begitu lengang setelah ditinggalkan separuh penumpangnya. Aku mengambil tempat duduk paling depan, Zahra duduk di daerah belakang, entah dimana. Bang Nopoy dengan semangat memacu mobil itu.

Kafe itu masih sepi. Kata Bang Deni, acara biasa dimulai jam 8 malam. Malam itu mendung, dan kami adalah pengunjung pertama. Kami menempati meja paling dekat dari panggung.

Tak lama kemudian panggung itu diisi sekelompok orang. mereka mulai mengecek alat musik masing-masing. Tiba-tiba membawakan lagu-lagu Raisa. Dengan penyanyi perempuan, lagu ini sangat cocok. Dan suara penyanyi itu boleh dikatakan bagus.

"Yak ada yang mau nyumbang lagu?" Bang Nopoy melihat kami. Kami diam.

Mas Handoko menuliskan sesuatu di secarik kertas, dan memberikannya kepada pramusaji yang kebetulan lewat.

"Terimakasih buat teman-teman yang sudah mau datang malam ini," penyanyi itu berbicara setelah menyelesaikan lagunya. "Malam ini kita kedatangan tamu yang sedang berlibur di Belitung," dia menunjuk kami "salah satu dari mereka ingin menyumbangkan lagu. Mari ke panggung"

Mas Handoko mendorong seorang temannya. Dengan agak terpaksa temannya itu berjalan ke panggung.
"Dari tadi dia udah nyari-nyari lirik lagu di hapenya," ujar Mas Handoko.

Temannya itu menyanyikan lagu Home yang dipopulerkan oleh Michael Buble. Aku menemaninya menyanyi dari kursiku. Dan karena lagu ini adalah salah satu lagu favoritku, aku lebih hafal darinya.




Aaagh. Aku ingin menyanyi juga. Lagu apa ya kira-kira. Bagaimana kalau Teman Hidup yang dipopulerkan Tulus? Ya. Ini pilihan yang baik.

But no introvert would do it voluntarily. So do I.

"Biasanya ada penyanyi cowoknya," Bang Deni memecah keheningan. "Yang cewek suaranya kurang"

Whoaa. Tunggu dulu. Segini dibilang kurang?! Gak salah? Untuk kelas kafe, segini mah udah bagus.

Benar saja, beberapa menit kemudian datang penyanyi cowoknya. Dan suara cewek yang sedari tadi kuanggap bagus, sekarang jatuh setelah mendengar suara cowok ini. Semua lagu, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris dengan lancar dibawakannya. Seakan semua itu lagu anak kecil. Sungguh malam yang menyenangkan.

Jam 10 malam mereka istirahat. Aku melihat sekeliling dan kafe ini sudah penuh. Kami pulang menuju penginapan untuk beristirahat.


*****


27 Desember 2015, Hari 4


Minggu. Hari dimana kami harus pulang meninggalkan pulau ini. Jam 6 pagi Bang Deni dan Bang Nopoy sudah menunggu kami di bawah. Bagasi mobil langsung dijejali oleh-oleh dan tas. Tak mendapat ruang, aku memangku tasku yang seberat 8 kilo itu.

Bang Deni membagikan sarapan kami di bandara. Kami makan di pojokan. Semua fokus menatap makanannya masing-masing. Dalam hatiku sendiri terasa sedikit kesedihan. Mungkin hal ini juga dirasakan anggota yang lain.

Aku, Zahra, dan Ana mendapat pesawat Sriwijaya, sedangkan anggota yang lain mendapat pesawat Citilink. Perbedaan waktu keberangkatan hanya 20 menit, Citilink berangkat lebih dahulu. Sayangnya, Citilink delay sebentar. Akhirnya kami bertiga yang disuruh masuk pesawat duluan. Kami menyalami anggota yang lain satu per satu sambil mengucapkan terimakasih. Argh. Aku tak suka suasana perpisahan seperti ini.




Goodbye, Belitong.


----------------------------------------


Post pertama di 2016! Yaaaay~!

Kali ini menceritakan tentang Royan (Roy) dan Zahra (Rara), yang dulu pernah diceritakan sekilas di warung kopi :3 *jadi inget Salad Days*

Sebagian besar emang dari kejadian nyata, cuma ditambahin bumbu-bumbu (Royco :p) sedikit biar lebih sedap.
Bumbunya bagian mana? Lahaciaaa~~ :3

Tulisan dimulai tanggal 2 Januari dinihari, saat menunggu di bandara. Saking puanjangnya perlu 4 minggu jatah 'slacking-off' biar selesai. Sempat terpikir nge-post beberapa puisi/prosa, tapi karena bertekad biar post ini jadi yang pertama, jadinya diurungkan.

Kayaknya pertama kalinya menulis sepanjang ini, berasa banget kalo perbendaharaan kata masih minim. Banyak kata yang diulang @_@. Saking panjangnya, jadi males nge-review. *plak*

Sekali lagi diingat, tak seluruhnya yang ditulis disini nyata :3

Thank you and see you next time~~

Baca Selengkapnya....