Selasa, 15 Desember 2015

Fate #0

Hari ini last day buat Senior Manager paporit kantor Jogja; pak Argo. Dan kita berencana memberi kenang-kenangan. Salah satunya adalah ucapan dari masing-masing karyawan.

Kertas A4 200gr dibagi 2 jadi kertas A5. Diberikan kepada masing-masing karyawan untuk ditulisi ucapan. Apapun. Setelah itu dijilid menjadi satu, semacam buku.

Kebetulan hari itu lagi 'lelah'. Bongkar-bongkar isi harddisk nyari anime yang "fuwa-fuwa". Satu episode Toradora, satu episode Chihayafuru, satu episode Hanasaku Iroha, dan satu episode Nodame Cantabile.

Pas malam menjelang tidur tiba-tiba ingat belom mikirin tulisan apa yang bakal dikasih.

Terus ingat ama satu anime dengan gaya penceritaan favorit; Mawaru Penguindrum. Episode 1 nya dimulai dengan kalimat "I hate the word 'fate'" oleh tokoh A, dan episode 2 dimulai dengan kalimat "I love the word 'fate'" oleh tokoh B.

Karena dulu juga sempat mikir mau bikin cerita tentang 'fate' ini dari dua sudut pandang, dan belom kesampaian, akhirnya diputuskan ditulis menjadi ucapan buat pak Argo.

Berikut salinannya:



I love the word "fate"
Encounters and partings are part of it
Those things are not just coincidences
They are definitely... fate


It's hard to accept that partings beyond your control are fate
But this is what I think: sad and painful things definitely happen for a reason
Nothing in this world is pointless


Thank you for these wonderful years
May fate make our paths cross again in near future
Godspeed


Dan ini hasil tulisannya di kertas A5


Ketinggalan 1 kalimat T_T

Ditulis pake pulpen Pilot Frixion Ball Slim 038 warna biru. Menulisnya pun sambil gemetaran, karena (kayaknya) pertama kalinya bikin tulisan rapiiiiiii kayak gini. Thank God pulpennya bisa dihapus *uyeeeeeeee*



Semoga abis ini lancar inspirasi buat bikin Fate #1 sama Fate #2.
Cya~

Baca Selengkapnya....

Jumat, 04 Desember 2015

Andai Ku Tahu Namamu


"Selamat datang di Indomaret. Selamat belanja"

Suara mbak Indomaret itu bergema menyambutku saat aku membuka pintu. Tanpa memedulikannya aku berjalan dengan santai menuju bagian belakang toko. Aku mengambil sebotol Cola yang ada di dalam lemari pendingin. Lalu aku berbalik ke etalase camilan. Sejenak memilih camilan apa yang akan kubawa pulang. Kuambil sebungkus keripik singkong rasa barbeque berukuran besar dan berjalan menuju kasir.


"Sama apa lagi, mas?" lagi-lagi suara mbak itu menyapaku.

"Ini aja, mbak."

Sejurus kemudian dia sudah memindai belanjaanku ke komputer yang ada didepannya. Angka 15.000 terpampang di monitor yang menghadap ke arahku.

"Totalnya 15.000, mas. Mau isi pulsanya sekalian?"

"Gausah, mbak. Makasih." balasku sambil menunduk mengeluarkan uang pecahan 20.000.

Dia mengetik sesuatu di komputernya. Laci penyimpanan uang pun terbuka. Dimasukkannya uang 20.000 dariku, lalu mengambil pecahan 5.000 untuk kembalian.

"Kembaliannya 5.000 rupiah. Terima kasih." Dia menyerahkan uang 5.000 dan struk belanjaan kepadaku.

Aku menyambut kembalian yang diserahkannya. "Sama-sama." Aku berjalan ke arah pintu, lalu berbelok menuju kost.


*****


Aku pertama kali melihatnya sekitar dua minggu yang lalu. Saat itu aku sedang berjalan pulang selepas sholat Maghrib. Entah kenapa tiba-tiba aku merasakan dorongan untuk mampir ke mini market yang baru buka beberapa hari yang lalu itu. Lengkap dengan peci dan sarung, aku pun masuk.


"Selamat datang di Indomaret. Selamat Belanja"


Seketika aku menoleh ke arah asal suara nyaring itu. Di belakang meja kasir aku melihat seorang perempuan yang sangat cantik. Rambutnya pendek di atas bahu. Perawakannya ramping, lengan dan tangannya kecil. Kalau dia berbalik, kadang sebagian tengkuknya terlihat. Senyumnya saat menyapa pun sangat manis. Senyum termanis yang pernah kulihat sepanjang hidupku.

Seketika aku terpesona. Inikah yang disebut cinta pada pandangan pertama?


Sejak saat itu hampir setiap hari, selepas sholat Maghrib, aku mampir ke mini market itu. Entah membeli camilan, cola, es krim, atau mengambil uang di ATM yang ada di dalamnya. Namun tujuan utamaku tentu saja untuk melihat mbak Indomaret itu walau hanya sejenak.

Sebagai pelepas rindu,

penyemangat,

penghilang penat yang seharian terkumpul,

penjernih pikiran.



Tak salah lagi. Aku telah jatuh cinta.


*****


Hari ini aku sengaja tidak mampir ke sana selepas Maghrib.

Kukeluarkan setumpuk celana jeans dan kemeja (khusus) gaul dari lemari pakaianku. Mulai dari kemeja berlengan panjang, sampai yang berlengan pendek. Mulai dari yang berwarna cerah, sampai yang berwarna gelap. Mulai dari yang slim fit sampai yang agak kedodoran. Semuanya terpampang acak-acakan di atas kasur.

Pilihanku untuk celana jatuh kepada celana panjang dengan warna khaki. Ini semata-mata hanya karena tas yang kumiliki juga berwarna khaki. Selanjutnya baju pilihanku jatuh pada kemeja berwarna biru langit berlengan panjang. Lengannya kugulung rapi sampai ke siku.

Aku mengeluarkan sepatu Converse hitam dari kotaknya dan langsung kupakai. Kusambar kacamata, jam tangan hitam, dan juga tas selempangku. Lalu aku bergaya di depan cermin tinggi yang sekaligus menjadi pintu lemari pakaian. Berputar sekali, dua kali. Menyisir rambut dengan jari dan memastikan semuanya sudah rapi.


Setelah merasa cukup aku mengambil motorku dan memacunya menuju mini market itu. Kuparkir motorku di depan, lalu sedikit menata rambut di depan spion. Mengecek tak ada rambut yang berdiri aneh. Setelah merasa cukup, aku berjalan masuk sambil menghela nafas panjang.


"Selamat datang di Indomaret. Selamat belanja"


Deg! Mbak itu menyambutku lagi. Malam ini aku lebih gugup dari biasanya.

Aku berjalan menuju ke lemari pendingin yang berada di bagian belakang. Aku diam di depan pintunya tanpa membuka, berusaha melihat pantulan samar pada pintu kaca itu. Memastikan tak ada benang yang keluar atau baju yang kumal.

Sekali lagi kuhela nafas panjang.

Tanganku meraih gagang pintu lemari pendingin itu. Kubuka dan kuambil sekotak Buavita Anggur, favoritku. Jantungku berdegup semakin kencang seiring langkahku menuju ke kasir.

Kuletakkan jus itu di meja kasir. Kepalaku tertunduk. Pandanganku lekat tertuju pada jus itu.

"Sama apa lagi?"

"Ini aja, mbak." aku masih tertunduk.

"Totalnya tujuh ribu rupiah. Mau isi pulsanya sekalian?"

Kuserahkan uang sepuluh ribu yang dari tadi kugenggam. "Ga usah, mbak. Ini aja"

Seperti biasa, dia mengambil kembalian dari laci uang. "Kembaliannya tiga ribu rupiah. Terima kasih"

Kuraih uang kembalian itu. Kumasukkan ke saku belakang celanaku.


Aku berdiam diri mematung.


Sekali lagi kutarik nafas panjang. Perlahan kuberanikan diri untuk mengangkat kepalaku. Menatapnya yang sedang sibuk dengan mesin kasir.


"A... anu, mbak," aku berusaha memecah kesunyian.

"Iya, mas? Ada apa?" dia lalu memandangku.


Tiga detik kemudian, aku masih diam. Mataku masih menatap tajam matanya. Lidahku kelu.


"Anu, mbak." Aku diam sejenak. "Boleh tau namanya?"

Dia memasang ekspresi bingung. Kepalanya agak dimiringkan sedikit ke kanan. Sedikit sekali, nyaris tak terlihat.

Aku menunduk lagi. God! Kalo ada lubang guede, aku pengen masuk sembunyi. Saking malunya.


Sebaiknya aku berlari menuju pintu keluar.


Sesaat sebelum aku kabur, tiba-tiba ada sekelebat tangan lewat di ujung pandanganku. Refleks aku menoleh ke arah depan.



Dia tersenyum. Manis sekali. Lebih manis dari biasanya.




"Dina" katanya.



------------------------------------



Hey, welcome.

For my loyal reader, welcome back.
For any new reader, welcome to this blog. Especially this rant session.

Thank you for reading this story.


Terinspirasi dari lagu Andai Ku Tahu Namamu ciptaan mas Sweta Kartika, dan gambar karya mas Sweta juga yang mana terinspirasi dari mbak Indomaret beneran, yang kemudian keduanya dipasangkan :3.

Kebetulan siang itu aku lagi bosen, bingung ga ada ide. Pengennya bikin cerita pendek, sependek yang biasa dimuat di majalah Bobo. Kebetulan juga inget lagunya mas Sweta. Dan akhirnya aku ada kerjaaan. :D

But hell. This turns into another long short story (buat majalah Bobo). LoL


Dan juga kali ini banyak merk bertebaran. Biarlah.

Seperti biasa, susah menggambarkan step-by-step pengalaman emosional si tokoh utama, terutama bagian klimaks. Harapannya sih para pembaca masih bisa merasakan semendebarkan apa setiap momennya bagi si tokoh utama. Semoga semuanya tersampaikan kepada kalian. 


BTW, ini foto mbak Indomaretnya (yang ada di gambarnya mas Sweta). Namanya kalo ga salah Maya Wulandari




Kalo ini lagunya mas Sweta




Last but not least,

If you like it, please say so :)
If you dislike it, please also say so :)
If you have any suggestion, please also say so :)




As usual, here I lay my pen down.



Yogyakarta, 04 Desember 2015
"My name is Wamy"

Baca Selengkapnya....

Rabu, 02 Desember 2015

Hadiah Ulang Tahun

Apa arti ulang tahun bagi kalian?


Perkenalkan, namaku Ganang. Kebetulan hari ini berulang tahun yang ke-22. Saat ini tinggi badanku ada di 175cm. Setahun yang lalu masih berada di angka 174cm. Tinggi badan yang tercantum di KTP dan SIM ku pun masih tertulis 167cm. Entah sampai kapan aku akan terus tumbuh. Mungkin suatu hari bisa mencapai angka 200.

22 tahun yang lalu, aku dilahirkan ke dunia dengan berat badan 1,8 kilogram dan dengan panjang 38 sentimeter. Kecil, untuk ukuran bayi. Saat itu pula bertepatan dengan memanasnya ibukota akibat tragedi yang dikenal dengan Tragedi Trisakti dan ekonomi yang merosot.

Selama empat tahun awal masa hidupku, aku sangat sering jatuh sakit. Mulai dari demam ringan, flu, amandel bengkak, campak, sampai diare seakan menjadi teman baikku. Orang tuaku pun awalnya selalu panik, ujung-ujungnya mereka sampai terbiasa. Setiap bulannya kunjungan dokter seakan menjadi hal wajib. Beruntunglah orang tuaku termasuk orang yang berada.


Menginjak umur 6 tahun, saat tangan kananku bisa melingkari ubun-ubun dan menyentuh telinga sebelah kiri, aku mulai bersekolah. Bangunan tempatku sekolah itu bertingkat dua dan hanya memiliki 6 ruang kelas, tiga ruang kelas untuk setiap lantainya. Ruang guru dan toilet berada di satu bangunan yang terpisah dari bangunan kelas, dan terletak disebelah kanan. Kantin dan musholla sekolah berada di petak lain yang berseberangan dengan ruang guru. Empat monumen utama itu; kelas, ruang guru, kantin, dan gerbang sekolah, mengelilingi segala penjuru dari lapangan tengah yang biasa dipakai untuk upacara bendera.

Karena satu tingkatan hanya punya satu kelas, tak ayal setiap tahuh teman sekelasku selalu orang-orang yang sama. Gurunya pun kadang satu guru mengajar tiga sampai empat mata pelajaran berbeda. Pagi hari mengajar Matematika, siangnya masuk lagi untuk mengajar IPA. Hal lumrah untuk sekolah di pinggir perkampungan yang kekurangan murid maupun tenaga pengajar.



Tahun ketiga bersekolah disana, aku mendapatkan undangan pertamaku. Undangan itu terbuat dari kertas setebal kertas dari buku gambar, berwarna putih dan dilipat dua menjadi berukuran sebesar kartu remi. Di sampulnya tercetak gambar balon-balon berwarna-warni seperti lagu Balonku Ada Lima. Ditengahnya tertulis namaku dengan huruf tegak bersambung. Dibawahnya tertulis kalimat dalam huruf cetak yang berbunyi "Tiada kesan tanpa kehadiranmu"

Sepulang sekolah aku langsung menghambur ke Ibuku. Dengan wajah yang berseri-seri kuserahkan undangan yang berada di genggamanku. Perlahan ia membuka dan membaca isinya.

*****

Sorenya ibuku memboncengku pergi ke toko mainan terbesar di kampung. Ini kali pertama aku pergi ke toko mainan. Biasanya aku hanya menerima mainan dari paman atau tanteku karena aku keponakan pertama mereka. Terhitung ada dua kardus besar tumpukan mainanku yang ada di rumah.

Namanya juga anak kecil. Berada dalam ruangan super besar yand dipenuhi mainan berbagai macam jenis dan ukuran aku merasa seperti berada di surga. Di bagian depan ada beberapa boneka Hello Kitty dan Teddy Bear dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran lebih besar daripada Ibuku. Masuk lebih dalam, aku melihat ada track Hot Wheel yang berdiri megah diatas sebuah meja. Lengkap dengan tiga mobil yang siap untuk diluncurkan bersamaan. Lebih dalam lagi terdapat beberapa etalase kaca yang didalamnya berisi figure tokoh kartun yang sering ditayangkan di televisi.

Ibuku menuntunku ke bagian alat tulis. Disini banyak sekali alat tulis yang lucu-lucu. Mulai dari pensil berukuran ekstra besar yang meniru pensil ajaib dari sinetron India  Shaka Laka Boom Boom, penghapus dengan bentuk binatang, sampai buku tulis bergambar sampul Goku dari kartun Dragon Ball. Beliau mengambil sebuah kotak pensil berwarna merah jambu dan bergambar Barbie, lalu berjalan menuju kasir.

Aku pulang sambil memeluk kotak pensil yang sudah dibungkus dengan kertas kado dan pita pink.


******

Malam itu rumah Tari ramai sekali. Ruang tamunya disulap menjadi sangat meriah. Balon-balon dan kertas berwarna-warni menghiasi langit-langit ruangan. Di pojokan terdapat sepasang speaker besar yang tak henti-hentinya mengalunkan lagu selamat ulang tahun. Diantara keduanya terdapat panggung kecil-kecilan serta meja kecil setinggi pinggang anak kecil. Diatasnya ada sebuah kue black forest yang bertuliskan Happy Birthday. Di depan meja itu teman-teman sekelasku dan beberapa anak tetangga sudah duduk rapi menunggu mulainya acara.

Sekitar pukul 19.00 Tari masuk ke ruangan itu. Dia mengenakan gaun putih yang kusebut baju princess karena biasa hanya dikenakan oleh putri di film kartun. Di kepalanya bertengger sebuah tiara, dan sepasang anting emas yang tidak pernah dipakainya ke sekolah. Sejenak dia tersenyum ke arah kami, seakan kami adalah rakyat jelata di kerajaan mimpinya. Lalu dia duduk dibalik meja yang berada di tengah ruangan. Malam itu dia sangat cantik.

MC membuka acara malam itu. Dimulai dengan berdoa untuk memulai acara, lalu diteruskan dengan permainan-permainan seru. Setelah kedua acara itu selesai sampailah ke acara utama yaitu penyerahan hadiah. Diiringi lagu Selamat Ulang Tahun, kami maju satu per satu menuju ke Tari yang sudah berdiri menanti di meja tengah. Setelah semua anak selesai bersalaman,  menyerahkan hadiah, dan kembali duduk, MC pun menyalakan lilin berbentuk angka 9 yang ada di atas kue. Kami menyanyikan lagu Tiup Lilinnya dengan semangat sampai Tari berhasil meniupnya. Dilanjutkan dengan lagu Potong Kuenya, dan kamipun mendapatkan secuil jatah kue.

Aku bergegas menuju ibuku yang menunggu bersama ibu-ibu lainnya di teras rumah. Dengan menjinjing bingkisan ulang tahun yang berisi makanan ringan, kami berdua pulang. Sepanjang jalan aku tak henti-hentinya menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun.


*****


Setelah kejadian itu aku selalu mengharapkan suatu hari akan ada pesta ulang tahun yang khusus diadakan untukku. Namun pesta itu tak pernah ada.

Setahun, dua tahun, tiga tahun. Hampir seluruh teman sekelasku pernah mengadakan pesta ulang tahun mereka. Minimal sekali. Ada yang bahkan rutin setiap tahun, seperti Tari. Aku pun tak berani mengungkit-ungkit masalah ini kepada kedua orang tuaku. Aku hanya diam dan berdoa. Dengan berakhirnya masa-masa SD, berakhir pula harapanku untuk mengadakan pesta ulang tahun.


*****


Sejak lulus SD aku tak pernah lagi berharap akan pesta ulang tahun. Sering kulihat teman-temanku yang pada hari ulang tahunnya tiba-tiba dapat kejutan dari orang-orang dekatnya, dibuat kesal seharian lalu malam harinya diberi kue ulang tahun, pintu kamarnya digedor tepat saat tengah malam, dan kejutan lainnya. Dalam hati aku pun ingin mendapat perlakuan seperti itu. I want a birthday cake. Real bad. Namun, sekali lagi, semua tinggal harapan.


Sisa hidupku pun kulalui dengan mindset "Hari ulang tahun itu gak ada bedanya dengan hari-hari biasa lainnya. No more, no less.""

Gara-gara mindset seperti ini pula, setiap ada temanku yang ulang tahun aku jarang sekali memberi mereka ucapan selamat. Apalagi di jaman serba media sosial seperti sekarang ini. Sangat mungkin semua ucapan ulang tahun yang kalian dapat hanyalah sebuah obligatory wishes. Sangat mungkin mereka bahkan tidak peduli dengan tanggal ulang tahunmu sampai akhirnya diingatkan oleh Facebook. And I won't bother to give you your obligatory wish.


Setelah 2 tahun menginjak masa kuliah, aku mulai mempunyai beberapa teman dekat. Makan siang atau malam bersama, menonton film di bioskop bersama, sampai mengerjakan tugas bersama sudah menjadi rutinitas. Bahkan bisa diibaratkan semua kegiatan dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi dilakukan bersama-sama, saking dekatnya. Salah satu dari mereka adalah Tari.


*****



"Tar, lo kan dari dulu sering ngerayain ulang tahun. Ulang tahun itu apa sih menurut lo?"

"Sesuatu yang menandakan umurmu bertambah tua. Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?"

"Ga. Cuma penasaran aja." timpalku. "Soalnya kan lo dari kecil hampir selalu bikin perayaan tiap ultah."

"Hmm. Gimana ya jelasinnya. Anggap aja itu syukuran, Nang."

"Tapi ulang tahun itu mesti dirayain?"

"Gak juga, sih. Dirayain ga dirayain ya hidup lo juga masih jalan kayak biasanya. Buktinya, lo yang ga pernah ngerayain aja masih bisa ngobrol bareng ama gue gini."

"So why people even bother to throw a birthday party in the first place, Tar?" aku menyambar. "Gue merasa aneh sendiri karena kayaknya cuma gue yang ga pernah ngerayain hari ulang tahun"

Tari terdiam. Sejurus kemudian dia mulai bicara.

"Ganang my boy. Pernahkah kau berpikir kenapa ulang tahunmu ada di tanggal segitu?" tanyanya lembut sambil tersenyum manis.

"Ngg. Kenapa, ya? Karena gue lahir tanggal segitu?" jawabku ragu.

"Precisely. Mungkin lo bisa menganggap ulang tahun itu sebagai countdown menuju kematian, tapi sejatinya ulang tahun itu adalah untuk memperingati kelahiranmu ke dunia ini. You got the point?"

Aku mengangguk dalam diam.

"Could you imagine how this world without you in it?" tanyanya lagi.

Aku berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan.

"Pastinya sesi ngobrol kayak gini ga bakal kejadian" candanya. "Dan gue ga bakal bisa kuliah disini kalo dulu lo ga ngasih gue les privat. Ngerti?"

Untuk ketiga kalinya aku cuma menjawab dengan isyarat.

"Jadi anggaplah hari ulang tahun sebagai hari memperingati kelahiran dan kontribusi lo di bumi ini. People give you their birthday wishes to celebrate that."

"Bullshit! Gue yakin mereka cuma ingat gara-gara diingetin ama Facebook. Gue yakin mereka bahkan ga benar-benar ikhlas ngucapinnya." aku coba membantahnya.

"Does it change the purpose of birthday itself?"

"Ga tau"

"It means to be a rhetorical question, you dumbass." balasnya sambil menoyor kepalaku.


*****


Aku meramalkan hari ini akan ada hujan badai. Tari yang tak pernah sekalipun mau setiap kuajak pergi nonton berdua, dengan alasan tinggi kami yang terpaut jauh yang mengakibatkan tawa maupun celoteh nyinyir khalayak sekitar, tiba-tiba saja mengajakku pergi menonton. Berdua. Out of nowhere. Tak salah lagi. Malam ini bakal hujan badai.

Tak butuh waktu lama untukku agar bisa menebak film apa yang ingin ditontonnya. Sebagai seorang diehard fans Marvel Cinematic Universe, sudah pasti film yang dipilihnya adalah Guardian of the Galaxy 3 yang baru tayang perdana hari ini. Personally aku kecewa dengan film GotG 1 dan 2 yang berasa seakan cuma berfungsi sebagai 'jembatan' untuk Marvel Cinematic Universe. Tapi tak setiap hari kau mendapati Tari mengajakmu nonton, kan?


*****


"How's the film, Nang?" tanyanya. "Enjoyed it?"

"Another filler movie" jawabku sambil mengunyah Teriyaki Burger

"Sebenernya tujuan utama hari ini bukan buat nonton, loh."

"Really?" ucapku ragu. "Surprise me, Tar"

Perlahan diangkatnya tas backpack ungu yang ikut duduk di kursi sebelahnya. Mulut monster ungu itu terbuka lebar. Memuntahkan sebuah kotak hitam legam seukuran kotak sepatu. Pita berwarna biru muda mengikat kotak itu. Ditengahnya tertempel pita yang dibentuk menyerupai bunga mawar.

"Boleh dibuka setelah lo sampai di kost." katanya sambil menyodorkan kotak itu.

Serius. Malam ini bakal ada tornado.

"Dalam rangka apa, nih?" basa-basi tanyaku.

"Udah. Gausah banyak tanya. Ntar juga lo tau."

Kugoyang-goyang kotak itu. Berusaha menebak apa isinya. Namun isi kotak itu bergeming.

"Eh bentar bentar. Kotak segede gini ga bakal muat masuk jok, neng. Terus gimana gue bawanyaaa?"

Kutatap matanya tajam. Aku tahu pikirannya sedang melayang, memikirkan solusi.

"Yaudah sini gue bawa dulu. Ntar gue balikin pas udah nyampe kosan."

Dengan wajah ketus dimasukannya lagi kotak itu kedalam tasnya. Monster ungu itu kembali kenyang.

"Jenius," sindirku.


*****


Setelah selesai mengantarkannya kembali ke kost nya, aku bergegas memacu motor ke kost ku yang terpisah agak jauh. Tak sabar ingin kubuka kotak pandora sumber bencana yang akan segera melanda kota ini.

Perlahan kupotong pita biru yang mengikat kotak itu dari empat sisi. Kubuka penutup kotak itu. Sialan. Isinya gumpalan koran. Pantes aja digoyang-goyang gak gerak. Satu per satu kuangkati gumpalan-gumpalan koran itu. Akhirnya kudapati sesuatu yang bukan koran; kain batik. Kain yang ternyata hanyalah pembungkus sebuah benda lainnya.

Kubuka kain batik itu. Benda didalamnya adalah sebuah pigura berbentuk persegi panjang. Framenya berwarna perak berkilauan dengan lis hitam. Didepan kacanya masih ditutupi oleh selembar kertas koran. Tak sabaran kulepas selotip yang mengikat koran itu ke pigura.

Lagi-lagi. Ada seonggok kertas. kali ini berwarna kuning langsat dan berukuran sebesar kartu remi. Bentuknya sangat mirip dengan undangan ulang tahun anak kecil, namun kali ini sampulnya polos tanpa gambar balon. Karena ukurannya yang kecil, kartu itu hanya mampu menutup bagian tengah saja. Seperlima dari luas keseluruhan pigura.

Setelah kusingkirkan kartu itu, akhirnya terlihat apa yang disembunyikannya. Itu adalah foto sepasang suami-istri. Sang suami sedang berdiri di sebelah kasur sembari merangkul sang istri. Sedangkan sang istri sedang setengah terbaring di atas kasur sambil menggendong bayinya. Keduanya tampak sangat bahagia, dengan senyum yang sangat lebar di wajah masing-masing. Aku ingat foto ini.

Ini foto sesaat setelah aku dilahirkan.

Ingatan membanjiri otakku. Cerita kehidupan masa kecilku yang sakit-sakitan, pernah jatuh dari gendongan tanteku, dan seringkali membuat kedua orangtuaku khawatir sampai panik.

Diare sampai hampir mati saat balita.

Menampar teman sekelas saat TK.

Hampir mati tenggelam saat main di sungai.

Pulang sekolah jalan kaki, tapi mampir dulu di rumah teman sampai sore, dan tanpa mengabari mereka.

Pergi meninggalkan rumah untuk kuliah di kota sebelah.

Sampai akhirnya hari ini, dimana aku (hampir) berusia 22 tahun.

Eh, aku bentar lagi ulang tahun?!


Kartu kuning langsat yang kuletakkan di atas meja tadi sedikit terbuka. Kuraih dan kubuka kartu itu. Didalamnya ada sebuah tulisan tangan imut yang (kuduga) adalah tulisan tangan Tari. Aku tersenyum setelah membaca isinya yang singkat.


Pandanganku mulai buram. Mataku mulai berkaca-kaca.

"Sial. Sekarang mana mungkin aku menganggap hari ulang tahun adalah hari biasa" ucapku pelan pada diri sendiri.




-------------------------------------------


Hey ho. Welcome.


Pas nulis ini berkali-kali kena writer's block. Damn. Idenya ada, cuma gimana cara menyampaikannya dengan cara yang bagus biar emosinya tersampaikan. Ujung-ujungnya bingung, dan ditulis seadanya. Ada pula kala dimana bingung "habis ini nulis apa ya?". Rrrrawr!

Dan kayaknya dulu juga pernah nulis cerita tentang ultah yah, tapi lupa @_@. Please remind meeee.

Ultimately, sempat berhenti di tengah gara-gara pergi jalan-jalan ke SG. And when I catch this after my short vacation, I completely forgot everything I wrote and I need to write. OTL. Please ignore some plothole (if any :p)


Special thanks to kak Ai; yang namanya kali ini dipinjam, yang sedikit banyak jadi sumber inspirasi kali ini. XOXO

Dan juga Kimunyu, yang voice meme nya sedikit banyak menyegarkan :D


Again, please bear with me this time.

And also for next time :)



PS: For you who come here through QR Code: Have you known me enough, now?



Here, I lay my pen down.






Yogyakarta, 2 Desember 2015
"Thanks for being born"

Baca Selengkapnya....