Selasa, 15 Desember 2015

Fate #0

Hari ini last day buat Senior Manager paporit kantor Jogja; pak Argo. Dan kita berencana memberi kenang-kenangan. Salah satunya adalah ucapan dari masing-masing karyawan.

Kertas A4 200gr dibagi 2 jadi kertas A5. Diberikan kepada masing-masing karyawan untuk ditulisi ucapan. Apapun. Setelah itu dijilid menjadi satu, semacam buku.

Kebetulan hari itu lagi 'lelah'. Bongkar-bongkar isi harddisk nyari anime yang "fuwa-fuwa". Satu episode Toradora, satu episode Chihayafuru, satu episode Hanasaku Iroha, dan satu episode Nodame Cantabile.

Pas malam menjelang tidur tiba-tiba ingat belom mikirin tulisan apa yang bakal dikasih.

Terus ingat ama satu anime dengan gaya penceritaan favorit; Mawaru Penguindrum. Episode 1 nya dimulai dengan kalimat "I hate the word 'fate'" oleh tokoh A, dan episode 2 dimulai dengan kalimat "I love the word 'fate'" oleh tokoh B.

Karena dulu juga sempat mikir mau bikin cerita tentang 'fate' ini dari dua sudut pandang, dan belom kesampaian, akhirnya diputuskan ditulis menjadi ucapan buat pak Argo.

Berikut salinannya:



I love the word "fate"
Encounters and partings are part of it
Those things are not just coincidences
They are definitely... fate


It's hard to accept that partings beyond your control are fate
But this is what I think: sad and painful things definitely happen for a reason
Nothing in this world is pointless


Thank you for these wonderful years
May fate make our paths cross again in near future
Godspeed


Dan ini hasil tulisannya di kertas A5


Ketinggalan 1 kalimat T_T

Ditulis pake pulpen Pilot Frixion Ball Slim 038 warna biru. Menulisnya pun sambil gemetaran, karena (kayaknya) pertama kalinya bikin tulisan rapiiiiiii kayak gini. Thank God pulpennya bisa dihapus *uyeeeeeeee*



Semoga abis ini lancar inspirasi buat bikin Fate #1 sama Fate #2.
Cya~

Baca Selengkapnya....

Jumat, 04 Desember 2015

Andai Ku Tahu Namamu


"Selamat datang di Indomaret. Selamat belanja"

Suara mbak Indomaret itu bergema menyambutku saat aku membuka pintu. Tanpa memedulikannya aku berjalan dengan santai menuju bagian belakang toko. Aku mengambil sebotol Cola yang ada di dalam lemari pendingin. Lalu aku berbalik ke etalase camilan. Sejenak memilih camilan apa yang akan kubawa pulang. Kuambil sebungkus keripik singkong rasa barbeque berukuran besar dan berjalan menuju kasir.


"Sama apa lagi, mas?" lagi-lagi suara mbak itu menyapaku.

"Ini aja, mbak."

Sejurus kemudian dia sudah memindai belanjaanku ke komputer yang ada didepannya. Angka 15.000 terpampang di monitor yang menghadap ke arahku.

"Totalnya 15.000, mas. Mau isi pulsanya sekalian?"

"Gausah, mbak. Makasih." balasku sambil menunduk mengeluarkan uang pecahan 20.000.

Dia mengetik sesuatu di komputernya. Laci penyimpanan uang pun terbuka. Dimasukkannya uang 20.000 dariku, lalu mengambil pecahan 5.000 untuk kembalian.

"Kembaliannya 5.000 rupiah. Terima kasih." Dia menyerahkan uang 5.000 dan struk belanjaan kepadaku.

Aku menyambut kembalian yang diserahkannya. "Sama-sama." Aku berjalan ke arah pintu, lalu berbelok menuju kost.


*****


Aku pertama kali melihatnya sekitar dua minggu yang lalu. Saat itu aku sedang berjalan pulang selepas sholat Maghrib. Entah kenapa tiba-tiba aku merasakan dorongan untuk mampir ke mini market yang baru buka beberapa hari yang lalu itu. Lengkap dengan peci dan sarung, aku pun masuk.


"Selamat datang di Indomaret. Selamat Belanja"


Seketika aku menoleh ke arah asal suara nyaring itu. Di belakang meja kasir aku melihat seorang perempuan yang sangat cantik. Rambutnya pendek di atas bahu. Perawakannya ramping, lengan dan tangannya kecil. Kalau dia berbalik, kadang sebagian tengkuknya terlihat. Senyumnya saat menyapa pun sangat manis. Senyum termanis yang pernah kulihat sepanjang hidupku.

Seketika aku terpesona. Inikah yang disebut cinta pada pandangan pertama?


Sejak saat itu hampir setiap hari, selepas sholat Maghrib, aku mampir ke mini market itu. Entah membeli camilan, cola, es krim, atau mengambil uang di ATM yang ada di dalamnya. Namun tujuan utamaku tentu saja untuk melihat mbak Indomaret itu walau hanya sejenak.

Sebagai pelepas rindu,

penyemangat,

penghilang penat yang seharian terkumpul,

penjernih pikiran.



Tak salah lagi. Aku telah jatuh cinta.


*****


Hari ini aku sengaja tidak mampir ke sana selepas Maghrib.

Kukeluarkan setumpuk celana jeans dan kemeja (khusus) gaul dari lemari pakaianku. Mulai dari kemeja berlengan panjang, sampai yang berlengan pendek. Mulai dari yang berwarna cerah, sampai yang berwarna gelap. Mulai dari yang slim fit sampai yang agak kedodoran. Semuanya terpampang acak-acakan di atas kasur.

Pilihanku untuk celana jatuh kepada celana panjang dengan warna khaki. Ini semata-mata hanya karena tas yang kumiliki juga berwarna khaki. Selanjutnya baju pilihanku jatuh pada kemeja berwarna biru langit berlengan panjang. Lengannya kugulung rapi sampai ke siku.

Aku mengeluarkan sepatu Converse hitam dari kotaknya dan langsung kupakai. Kusambar kacamata, jam tangan hitam, dan juga tas selempangku. Lalu aku bergaya di depan cermin tinggi yang sekaligus menjadi pintu lemari pakaian. Berputar sekali, dua kali. Menyisir rambut dengan jari dan memastikan semuanya sudah rapi.


Setelah merasa cukup aku mengambil motorku dan memacunya menuju mini market itu. Kuparkir motorku di depan, lalu sedikit menata rambut di depan spion. Mengecek tak ada rambut yang berdiri aneh. Setelah merasa cukup, aku berjalan masuk sambil menghela nafas panjang.


"Selamat datang di Indomaret. Selamat belanja"


Deg! Mbak itu menyambutku lagi. Malam ini aku lebih gugup dari biasanya.

Aku berjalan menuju ke lemari pendingin yang berada di bagian belakang. Aku diam di depan pintunya tanpa membuka, berusaha melihat pantulan samar pada pintu kaca itu. Memastikan tak ada benang yang keluar atau baju yang kumal.

Sekali lagi kuhela nafas panjang.

Tanganku meraih gagang pintu lemari pendingin itu. Kubuka dan kuambil sekotak Buavita Anggur, favoritku. Jantungku berdegup semakin kencang seiring langkahku menuju ke kasir.

Kuletakkan jus itu di meja kasir. Kepalaku tertunduk. Pandanganku lekat tertuju pada jus itu.

"Sama apa lagi?"

"Ini aja, mbak." aku masih tertunduk.

"Totalnya tujuh ribu rupiah. Mau isi pulsanya sekalian?"

Kuserahkan uang sepuluh ribu yang dari tadi kugenggam. "Ga usah, mbak. Ini aja"

Seperti biasa, dia mengambil kembalian dari laci uang. "Kembaliannya tiga ribu rupiah. Terima kasih"

Kuraih uang kembalian itu. Kumasukkan ke saku belakang celanaku.


Aku berdiam diri mematung.


Sekali lagi kutarik nafas panjang. Perlahan kuberanikan diri untuk mengangkat kepalaku. Menatapnya yang sedang sibuk dengan mesin kasir.


"A... anu, mbak," aku berusaha memecah kesunyian.

"Iya, mas? Ada apa?" dia lalu memandangku.


Tiga detik kemudian, aku masih diam. Mataku masih menatap tajam matanya. Lidahku kelu.


"Anu, mbak." Aku diam sejenak. "Boleh tau namanya?"

Dia memasang ekspresi bingung. Kepalanya agak dimiringkan sedikit ke kanan. Sedikit sekali, nyaris tak terlihat.

Aku menunduk lagi. God! Kalo ada lubang guede, aku pengen masuk sembunyi. Saking malunya.


Sebaiknya aku berlari menuju pintu keluar.


Sesaat sebelum aku kabur, tiba-tiba ada sekelebat tangan lewat di ujung pandanganku. Refleks aku menoleh ke arah depan.



Dia tersenyum. Manis sekali. Lebih manis dari biasanya.




"Dina" katanya.



------------------------------------



Hey, welcome.

For my loyal reader, welcome back.
For any new reader, welcome to this blog. Especially this rant session.

Thank you for reading this story.


Terinspirasi dari lagu Andai Ku Tahu Namamu ciptaan mas Sweta Kartika, dan gambar karya mas Sweta juga yang mana terinspirasi dari mbak Indomaret beneran, yang kemudian keduanya dipasangkan :3.

Kebetulan siang itu aku lagi bosen, bingung ga ada ide. Pengennya bikin cerita pendek, sependek yang biasa dimuat di majalah Bobo. Kebetulan juga inget lagunya mas Sweta. Dan akhirnya aku ada kerjaaan. :D

But hell. This turns into another long short story (buat majalah Bobo). LoL


Dan juga kali ini banyak merk bertebaran. Biarlah.

Seperti biasa, susah menggambarkan step-by-step pengalaman emosional si tokoh utama, terutama bagian klimaks. Harapannya sih para pembaca masih bisa merasakan semendebarkan apa setiap momennya bagi si tokoh utama. Semoga semuanya tersampaikan kepada kalian. 


BTW, ini foto mbak Indomaretnya (yang ada di gambarnya mas Sweta). Namanya kalo ga salah Maya Wulandari




Kalo ini lagunya mas Sweta




Last but not least,

If you like it, please say so :)
If you dislike it, please also say so :)
If you have any suggestion, please also say so :)




As usual, here I lay my pen down.



Yogyakarta, 04 Desember 2015
"My name is Wamy"

Baca Selengkapnya....

Rabu, 02 Desember 2015

Hadiah Ulang Tahun

Apa arti ulang tahun bagi kalian?


Perkenalkan, namaku Ganang. Kebetulan hari ini berulang tahun yang ke-22. Saat ini tinggi badanku ada di 175cm. Setahun yang lalu masih berada di angka 174cm. Tinggi badan yang tercantum di KTP dan SIM ku pun masih tertulis 167cm. Entah sampai kapan aku akan terus tumbuh. Mungkin suatu hari bisa mencapai angka 200.

22 tahun yang lalu, aku dilahirkan ke dunia dengan berat badan 1,8 kilogram dan dengan panjang 38 sentimeter. Kecil, untuk ukuran bayi. Saat itu pula bertepatan dengan memanasnya ibukota akibat tragedi yang dikenal dengan Tragedi Trisakti dan ekonomi yang merosot.

Selama empat tahun awal masa hidupku, aku sangat sering jatuh sakit. Mulai dari demam ringan, flu, amandel bengkak, campak, sampai diare seakan menjadi teman baikku. Orang tuaku pun awalnya selalu panik, ujung-ujungnya mereka sampai terbiasa. Setiap bulannya kunjungan dokter seakan menjadi hal wajib. Beruntunglah orang tuaku termasuk orang yang berada.


Menginjak umur 6 tahun, saat tangan kananku bisa melingkari ubun-ubun dan menyentuh telinga sebelah kiri, aku mulai bersekolah. Bangunan tempatku sekolah itu bertingkat dua dan hanya memiliki 6 ruang kelas, tiga ruang kelas untuk setiap lantainya. Ruang guru dan toilet berada di satu bangunan yang terpisah dari bangunan kelas, dan terletak disebelah kanan. Kantin dan musholla sekolah berada di petak lain yang berseberangan dengan ruang guru. Empat monumen utama itu; kelas, ruang guru, kantin, dan gerbang sekolah, mengelilingi segala penjuru dari lapangan tengah yang biasa dipakai untuk upacara bendera.

Karena satu tingkatan hanya punya satu kelas, tak ayal setiap tahuh teman sekelasku selalu orang-orang yang sama. Gurunya pun kadang satu guru mengajar tiga sampai empat mata pelajaran berbeda. Pagi hari mengajar Matematika, siangnya masuk lagi untuk mengajar IPA. Hal lumrah untuk sekolah di pinggir perkampungan yang kekurangan murid maupun tenaga pengajar.



Tahun ketiga bersekolah disana, aku mendapatkan undangan pertamaku. Undangan itu terbuat dari kertas setebal kertas dari buku gambar, berwarna putih dan dilipat dua menjadi berukuran sebesar kartu remi. Di sampulnya tercetak gambar balon-balon berwarna-warni seperti lagu Balonku Ada Lima. Ditengahnya tertulis namaku dengan huruf tegak bersambung. Dibawahnya tertulis kalimat dalam huruf cetak yang berbunyi "Tiada kesan tanpa kehadiranmu"

Sepulang sekolah aku langsung menghambur ke Ibuku. Dengan wajah yang berseri-seri kuserahkan undangan yang berada di genggamanku. Perlahan ia membuka dan membaca isinya.

*****

Sorenya ibuku memboncengku pergi ke toko mainan terbesar di kampung. Ini kali pertama aku pergi ke toko mainan. Biasanya aku hanya menerima mainan dari paman atau tanteku karena aku keponakan pertama mereka. Terhitung ada dua kardus besar tumpukan mainanku yang ada di rumah.

Namanya juga anak kecil. Berada dalam ruangan super besar yand dipenuhi mainan berbagai macam jenis dan ukuran aku merasa seperti berada di surga. Di bagian depan ada beberapa boneka Hello Kitty dan Teddy Bear dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran lebih besar daripada Ibuku. Masuk lebih dalam, aku melihat ada track Hot Wheel yang berdiri megah diatas sebuah meja. Lengkap dengan tiga mobil yang siap untuk diluncurkan bersamaan. Lebih dalam lagi terdapat beberapa etalase kaca yang didalamnya berisi figure tokoh kartun yang sering ditayangkan di televisi.

Ibuku menuntunku ke bagian alat tulis. Disini banyak sekali alat tulis yang lucu-lucu. Mulai dari pensil berukuran ekstra besar yang meniru pensil ajaib dari sinetron India  Shaka Laka Boom Boom, penghapus dengan bentuk binatang, sampai buku tulis bergambar sampul Goku dari kartun Dragon Ball. Beliau mengambil sebuah kotak pensil berwarna merah jambu dan bergambar Barbie, lalu berjalan menuju kasir.

Aku pulang sambil memeluk kotak pensil yang sudah dibungkus dengan kertas kado dan pita pink.


******

Malam itu rumah Tari ramai sekali. Ruang tamunya disulap menjadi sangat meriah. Balon-balon dan kertas berwarna-warni menghiasi langit-langit ruangan. Di pojokan terdapat sepasang speaker besar yang tak henti-hentinya mengalunkan lagu selamat ulang tahun. Diantara keduanya terdapat panggung kecil-kecilan serta meja kecil setinggi pinggang anak kecil. Diatasnya ada sebuah kue black forest yang bertuliskan Happy Birthday. Di depan meja itu teman-teman sekelasku dan beberapa anak tetangga sudah duduk rapi menunggu mulainya acara.

Sekitar pukul 19.00 Tari masuk ke ruangan itu. Dia mengenakan gaun putih yang kusebut baju princess karena biasa hanya dikenakan oleh putri di film kartun. Di kepalanya bertengger sebuah tiara, dan sepasang anting emas yang tidak pernah dipakainya ke sekolah. Sejenak dia tersenyum ke arah kami, seakan kami adalah rakyat jelata di kerajaan mimpinya. Lalu dia duduk dibalik meja yang berada di tengah ruangan. Malam itu dia sangat cantik.

MC membuka acara malam itu. Dimulai dengan berdoa untuk memulai acara, lalu diteruskan dengan permainan-permainan seru. Setelah kedua acara itu selesai sampailah ke acara utama yaitu penyerahan hadiah. Diiringi lagu Selamat Ulang Tahun, kami maju satu per satu menuju ke Tari yang sudah berdiri menanti di meja tengah. Setelah semua anak selesai bersalaman,  menyerahkan hadiah, dan kembali duduk, MC pun menyalakan lilin berbentuk angka 9 yang ada di atas kue. Kami menyanyikan lagu Tiup Lilinnya dengan semangat sampai Tari berhasil meniupnya. Dilanjutkan dengan lagu Potong Kuenya, dan kamipun mendapatkan secuil jatah kue.

Aku bergegas menuju ibuku yang menunggu bersama ibu-ibu lainnya di teras rumah. Dengan menjinjing bingkisan ulang tahun yang berisi makanan ringan, kami berdua pulang. Sepanjang jalan aku tak henti-hentinya menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun.


*****


Setelah kejadian itu aku selalu mengharapkan suatu hari akan ada pesta ulang tahun yang khusus diadakan untukku. Namun pesta itu tak pernah ada.

Setahun, dua tahun, tiga tahun. Hampir seluruh teman sekelasku pernah mengadakan pesta ulang tahun mereka. Minimal sekali. Ada yang bahkan rutin setiap tahun, seperti Tari. Aku pun tak berani mengungkit-ungkit masalah ini kepada kedua orang tuaku. Aku hanya diam dan berdoa. Dengan berakhirnya masa-masa SD, berakhir pula harapanku untuk mengadakan pesta ulang tahun.


*****


Sejak lulus SD aku tak pernah lagi berharap akan pesta ulang tahun. Sering kulihat teman-temanku yang pada hari ulang tahunnya tiba-tiba dapat kejutan dari orang-orang dekatnya, dibuat kesal seharian lalu malam harinya diberi kue ulang tahun, pintu kamarnya digedor tepat saat tengah malam, dan kejutan lainnya. Dalam hati aku pun ingin mendapat perlakuan seperti itu. I want a birthday cake. Real bad. Namun, sekali lagi, semua tinggal harapan.


Sisa hidupku pun kulalui dengan mindset "Hari ulang tahun itu gak ada bedanya dengan hari-hari biasa lainnya. No more, no less.""

Gara-gara mindset seperti ini pula, setiap ada temanku yang ulang tahun aku jarang sekali memberi mereka ucapan selamat. Apalagi di jaman serba media sosial seperti sekarang ini. Sangat mungkin semua ucapan ulang tahun yang kalian dapat hanyalah sebuah obligatory wishes. Sangat mungkin mereka bahkan tidak peduli dengan tanggal ulang tahunmu sampai akhirnya diingatkan oleh Facebook. And I won't bother to give you your obligatory wish.


Setelah 2 tahun menginjak masa kuliah, aku mulai mempunyai beberapa teman dekat. Makan siang atau malam bersama, menonton film di bioskop bersama, sampai mengerjakan tugas bersama sudah menjadi rutinitas. Bahkan bisa diibaratkan semua kegiatan dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi dilakukan bersama-sama, saking dekatnya. Salah satu dari mereka adalah Tari.


*****



"Tar, lo kan dari dulu sering ngerayain ulang tahun. Ulang tahun itu apa sih menurut lo?"

"Sesuatu yang menandakan umurmu bertambah tua. Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?"

"Ga. Cuma penasaran aja." timpalku. "Soalnya kan lo dari kecil hampir selalu bikin perayaan tiap ultah."

"Hmm. Gimana ya jelasinnya. Anggap aja itu syukuran, Nang."

"Tapi ulang tahun itu mesti dirayain?"

"Gak juga, sih. Dirayain ga dirayain ya hidup lo juga masih jalan kayak biasanya. Buktinya, lo yang ga pernah ngerayain aja masih bisa ngobrol bareng ama gue gini."

"So why people even bother to throw a birthday party in the first place, Tar?" aku menyambar. "Gue merasa aneh sendiri karena kayaknya cuma gue yang ga pernah ngerayain hari ulang tahun"

Tari terdiam. Sejurus kemudian dia mulai bicara.

"Ganang my boy. Pernahkah kau berpikir kenapa ulang tahunmu ada di tanggal segitu?" tanyanya lembut sambil tersenyum manis.

"Ngg. Kenapa, ya? Karena gue lahir tanggal segitu?" jawabku ragu.

"Precisely. Mungkin lo bisa menganggap ulang tahun itu sebagai countdown menuju kematian, tapi sejatinya ulang tahun itu adalah untuk memperingati kelahiranmu ke dunia ini. You got the point?"

Aku mengangguk dalam diam.

"Could you imagine how this world without you in it?" tanyanya lagi.

Aku berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan.

"Pastinya sesi ngobrol kayak gini ga bakal kejadian" candanya. "Dan gue ga bakal bisa kuliah disini kalo dulu lo ga ngasih gue les privat. Ngerti?"

Untuk ketiga kalinya aku cuma menjawab dengan isyarat.

"Jadi anggaplah hari ulang tahun sebagai hari memperingati kelahiran dan kontribusi lo di bumi ini. People give you their birthday wishes to celebrate that."

"Bullshit! Gue yakin mereka cuma ingat gara-gara diingetin ama Facebook. Gue yakin mereka bahkan ga benar-benar ikhlas ngucapinnya." aku coba membantahnya.

"Does it change the purpose of birthday itself?"

"Ga tau"

"It means to be a rhetorical question, you dumbass." balasnya sambil menoyor kepalaku.


*****


Aku meramalkan hari ini akan ada hujan badai. Tari yang tak pernah sekalipun mau setiap kuajak pergi nonton berdua, dengan alasan tinggi kami yang terpaut jauh yang mengakibatkan tawa maupun celoteh nyinyir khalayak sekitar, tiba-tiba saja mengajakku pergi menonton. Berdua. Out of nowhere. Tak salah lagi. Malam ini bakal hujan badai.

Tak butuh waktu lama untukku agar bisa menebak film apa yang ingin ditontonnya. Sebagai seorang diehard fans Marvel Cinematic Universe, sudah pasti film yang dipilihnya adalah Guardian of the Galaxy 3 yang baru tayang perdana hari ini. Personally aku kecewa dengan film GotG 1 dan 2 yang berasa seakan cuma berfungsi sebagai 'jembatan' untuk Marvel Cinematic Universe. Tapi tak setiap hari kau mendapati Tari mengajakmu nonton, kan?


*****


"How's the film, Nang?" tanyanya. "Enjoyed it?"

"Another filler movie" jawabku sambil mengunyah Teriyaki Burger

"Sebenernya tujuan utama hari ini bukan buat nonton, loh."

"Really?" ucapku ragu. "Surprise me, Tar"

Perlahan diangkatnya tas backpack ungu yang ikut duduk di kursi sebelahnya. Mulut monster ungu itu terbuka lebar. Memuntahkan sebuah kotak hitam legam seukuran kotak sepatu. Pita berwarna biru muda mengikat kotak itu. Ditengahnya tertempel pita yang dibentuk menyerupai bunga mawar.

"Boleh dibuka setelah lo sampai di kost." katanya sambil menyodorkan kotak itu.

Serius. Malam ini bakal ada tornado.

"Dalam rangka apa, nih?" basa-basi tanyaku.

"Udah. Gausah banyak tanya. Ntar juga lo tau."

Kugoyang-goyang kotak itu. Berusaha menebak apa isinya. Namun isi kotak itu bergeming.

"Eh bentar bentar. Kotak segede gini ga bakal muat masuk jok, neng. Terus gimana gue bawanyaaa?"

Kutatap matanya tajam. Aku tahu pikirannya sedang melayang, memikirkan solusi.

"Yaudah sini gue bawa dulu. Ntar gue balikin pas udah nyampe kosan."

Dengan wajah ketus dimasukannya lagi kotak itu kedalam tasnya. Monster ungu itu kembali kenyang.

"Jenius," sindirku.


*****


Setelah selesai mengantarkannya kembali ke kost nya, aku bergegas memacu motor ke kost ku yang terpisah agak jauh. Tak sabar ingin kubuka kotak pandora sumber bencana yang akan segera melanda kota ini.

Perlahan kupotong pita biru yang mengikat kotak itu dari empat sisi. Kubuka penutup kotak itu. Sialan. Isinya gumpalan koran. Pantes aja digoyang-goyang gak gerak. Satu per satu kuangkati gumpalan-gumpalan koran itu. Akhirnya kudapati sesuatu yang bukan koran; kain batik. Kain yang ternyata hanyalah pembungkus sebuah benda lainnya.

Kubuka kain batik itu. Benda didalamnya adalah sebuah pigura berbentuk persegi panjang. Framenya berwarna perak berkilauan dengan lis hitam. Didepan kacanya masih ditutupi oleh selembar kertas koran. Tak sabaran kulepas selotip yang mengikat koran itu ke pigura.

Lagi-lagi. Ada seonggok kertas. kali ini berwarna kuning langsat dan berukuran sebesar kartu remi. Bentuknya sangat mirip dengan undangan ulang tahun anak kecil, namun kali ini sampulnya polos tanpa gambar balon. Karena ukurannya yang kecil, kartu itu hanya mampu menutup bagian tengah saja. Seperlima dari luas keseluruhan pigura.

Setelah kusingkirkan kartu itu, akhirnya terlihat apa yang disembunyikannya. Itu adalah foto sepasang suami-istri. Sang suami sedang berdiri di sebelah kasur sembari merangkul sang istri. Sedangkan sang istri sedang setengah terbaring di atas kasur sambil menggendong bayinya. Keduanya tampak sangat bahagia, dengan senyum yang sangat lebar di wajah masing-masing. Aku ingat foto ini.

Ini foto sesaat setelah aku dilahirkan.

Ingatan membanjiri otakku. Cerita kehidupan masa kecilku yang sakit-sakitan, pernah jatuh dari gendongan tanteku, dan seringkali membuat kedua orangtuaku khawatir sampai panik.

Diare sampai hampir mati saat balita.

Menampar teman sekelas saat TK.

Hampir mati tenggelam saat main di sungai.

Pulang sekolah jalan kaki, tapi mampir dulu di rumah teman sampai sore, dan tanpa mengabari mereka.

Pergi meninggalkan rumah untuk kuliah di kota sebelah.

Sampai akhirnya hari ini, dimana aku (hampir) berusia 22 tahun.

Eh, aku bentar lagi ulang tahun?!


Kartu kuning langsat yang kuletakkan di atas meja tadi sedikit terbuka. Kuraih dan kubuka kartu itu. Didalamnya ada sebuah tulisan tangan imut yang (kuduga) adalah tulisan tangan Tari. Aku tersenyum setelah membaca isinya yang singkat.


Pandanganku mulai buram. Mataku mulai berkaca-kaca.

"Sial. Sekarang mana mungkin aku menganggap hari ulang tahun adalah hari biasa" ucapku pelan pada diri sendiri.




-------------------------------------------


Hey ho. Welcome.


Pas nulis ini berkali-kali kena writer's block. Damn. Idenya ada, cuma gimana cara menyampaikannya dengan cara yang bagus biar emosinya tersampaikan. Ujung-ujungnya bingung, dan ditulis seadanya. Ada pula kala dimana bingung "habis ini nulis apa ya?". Rrrrawr!

Dan kayaknya dulu juga pernah nulis cerita tentang ultah yah, tapi lupa @_@. Please remind meeee.

Ultimately, sempat berhenti di tengah gara-gara pergi jalan-jalan ke SG. And when I catch this after my short vacation, I completely forgot everything I wrote and I need to write. OTL. Please ignore some plothole (if any :p)


Special thanks to kak Ai; yang namanya kali ini dipinjam, yang sedikit banyak jadi sumber inspirasi kali ini. XOXO

Dan juga Kimunyu, yang voice meme nya sedikit banyak menyegarkan :D


Again, please bear with me this time.

And also for next time :)



PS: For you who come here through QR Code: Have you known me enough, now?



Here, I lay my pen down.






Yogyakarta, 2 Desember 2015
"Thanks for being born"

Baca Selengkapnya....

Selasa, 17 November 2015

Hope

November 2015, Subuh Hari-H


Pagi-pagi buta dia sudah bangun. Dengan menenteng tote bag yang menggembung kepenuhan bergegas dia menuju garasi. Dipanaskannya motornya barang semenit dua. Kemudian dipacunya motor itu menuju sebuah salon.

Meskipun matahari masih belum terbit, salon itu sudah sangat ramai. Parkirannya membludak sampai memakan sebagian bahu jalan. Mulai dari mobil sampai sepeda motor terlihat berebut lahan.

"Gausah kunci stang yah", ujar si tukang parkir kepadanya.

Dimatikannya mesin motornya, lalu setengah berlari dia bergegas menuju ke dalam. Sesuai dugaannya, kacaunya keadaan di tempat parkir nampaknya sudah merambat sampai ke dalam. Beberapa penata rias sudah sangat sibuk memainkan rambut pelanggannya. Beberapa terlihat sedang memoles wajah pelanggan yang lain. Sementara di tempat tunggu terlihat beberapa bapak-bapak sedang asyik menikmati majalah yang disediakan. Beberapa malah terlihat memejamkan mata melanjutkan tidur yang terganggu. Sedangkan ibu-ibu yang mendominasi 50 persen tempat tunggu itu terlihat memandang cemas ke arah 'pasien' para penata rias. Ironisnya para pasien itu tidak berekspresi. Kebanyakan malah terlihat sedang sekuat tenaga menahan kantuk.

Sambil mengatur napas dia berjalan santai menuju resepsionis. Ditunjukkannya struk yang sekaligus menjadi bukti bahwa dia telah membuat janji sebelumnya. Resepsionis yang masih setengah sadar itu pun menyerahkan nomor antrean kepadanya. "Antri empat yah. Silakan tunggu aja di ruang tunggu" ucapnya sambil menunjuk ruang tunggu yang tak kalah ramai dari pasar subuh.

Matanya menatap tajam ke arah bangku kosong di pojok belakang. Dengan langkah cepat ia bergegas menuju ke sana. Sambil duduk, dia memperhatikan sekelilingnya. Lima menit kemudian dia pun ikut tertidur.


*****


"Dua belas. Nomer dua belas", kata salah seorang penata rias sambil setengah berteriak. Seketika itu pula dia terjaga. Sambil mengumpulkan serpihan kesadarannya, dia bangkit dan berjalan menuju ke arah asal suara.

Setelah duduk di kursi 'pasien', dia hanya bisa pasrah mengikuti kemauan sang 'dokter'. Mulai dari rambut yang di'olah' sedemikian rupa, wajah yang dibedak tebal untuk menutupi bekas-bekas jerawat ataupun tahi lalat, maskara, celak, sampe blush on. Paket komplit, tak kalah dengan riasan pengantin. Nampaknya sang 'dokter' tak mengindahkan permintaannya supaya didandani biasa-biasa saja. Secukupnya.

Selesainya dari bagian kepala mulailah sang perias memasangkan kebaya. Ukuran kebayanya pun termasuk susah dicari. Setelah berminggu-minggu berkeliling pasar hanya untuk mendapati bahwa tak ada satu pun toko yang menjual kebaya yang sesuai ukurannya, lalu akhirnya menyerah dan masuk ke toko penjahit. Konsekuensi orang dewasa yang terjebak di tubuh yang lebih cocok disebut "anak kecil".

*****

Saat matahari sudah mulai meninggi dan jalanan sudah mulai ramai, saat itu pula dandanannya selesai. Diambilnya wedges dari tote bagnya, berusaha menambah tinggi badan barang 5 senti. Dengan ragu dia mulai berdiri didepan cermin, membolakbalikkan badan untuk memastikan konsistensi kerapihan tampak depan maupun belakang. Dikeluarkannya toga yang ukurannya juga sudah dikecilkan. Kembali dia berjalan menuju cermin. Setelah puas, dibungkusnya lagi wedges itu.

*****

"Neng yakin mau bawa motor sendiri?" tanya sang tukang parkir kepadanya.
"Eh? Iya pak, gapapa"
"Nanti dandanannya rusak di jalan loh, neng. Mending naik taksi. Nanti saya bantu carikan."

Sedetik kemudian otaknya mulai menyimpulkan fakta-fakta itu dan mengutuki dirinya sendiri atas kebodohannya. Gimana bisa bawa motor pake kebaya, toga, dan dandanan lengkap kayak gini. "Ta Ta. Dodol banget sih jadi orang", batinnya.

Lima menit kemudian dia sudah berada di dalam taksi menuju kampus.




November 2015, Didepan Aula


"Hei, Ta. Siniii", terdengar teriakan seseorang. Dia yang sedari tadi terhipnotis oleh baliho super besar dan membentang dari lantai 3 gedung pun menoleh-noleh mencari asal suara. Senyum mulai menghiasi wajahnya setelah dia melihat bahwa yang memanggilnya adalah teman dekatnya.

"Ngapain lo disana tadi?"
"Ga ngapa-ngapain, kok. Cuma ngeliatin nama-nama yang cum laude. Dari jurusan kita ternyata ga banyak, ya."
"Dih. Mentang-mentang namanya dipajang di baliho, lalu berasa terkenal. Jangan-jangan udah lo foto juga itu baliho", godanya.
"Ahahaha" tawanya setengah dipaksa. Sambil berdoa semoga sahabatnya itu tadi tidak melihatnya mengambil foto baliho tersebut.
"Yuk ngumpul. Bentar lagi kita disuruh masuk, nih"




November 2015, Acara Wisuda


Dia kegerahan. Lebih parah lagi, dia bosan. Di ruangan ekstra besar cuma ada sekitar 20 AC yang tertempel di pinggir ruangan. 20 AC berukuran imut itu pasti bekerja ekstra keras menyediakan udara segar bagi seribu orang yang mengenakan Toga, ditambah dua ribu tamu undangan yang berjubel memenuhi ruangan. Tentunya hal itu tidak berhasil, dan sekitar tiga ribu orang itu tetap terlihat kegerahan. Gerah dan bosan.

Akhirnya mulailah puncak acara yaitu pemindahan tali toga sekaligus pembagian ijazah. Satu per satu wisudawan dipanggil menaiki panggung untuk dipindahkan tali toganya dan diberi ijazah. Gilirannya tiba. Dengan gugup dia berjalan menuju panggung sembari berdoa agar tidak terjatuh karena belum terbiasa dengan wedges dan kebaya dibalik toganya. Diingat-ingatnya pula pesan ayahnya; "Jangan menunduk saat menerima ijazah, biar fotomu bagus".

Semua berjalan lancar. Dia kembali ke tempat duduknya dengan selamat.

Selain itu dia juga menerima hadiah ekstra berupa setangkai mawar putih dari Rektor.

*****

Setelah semua wisudawan mendapatkan ijazah mereka dan kembali ke tempat duduk masing-masing, MC pun melanjutkan ke acara selanjutnya. Piano yang berada di pinggir ruangan tiba-tiba berbunyi, mengalunkan nada-nada mellow. Pianis yang juga salah satu wisudawan itu memainkan versi instrumen dari lagu Bunda yang dipopulerkan oleh Melly Goeslaw.

MC tiba-tiba berbicara.

"Kepada teman-teman yang tadi menerima setangkai mawar, momen ini khusus diberikan kepada teman-teman. Teman-teman boleh pergi ke orangtua teman-teman sekalian yang sedang duduk di area penonton, dan memberikan bunga itu sebagai tanda syukur teman-teman kepada mereka. Silakan"

Para penerima bunga, yang ternyata sekaligus para lulusan cum laude, berdiri. Mereka berjalan ke arah bangku penonton yang dipenuhi orangtua wisudawan dengan diiringi alunan piano yang sangat mengundang air mata. Kamera mengikuti langkah beberapa dari mereka yang sedang sibuk menoleh kanan kiri untuk mencari anggota keluarganya. Memproyeksikan kegiatan mereka ke layar yang ada di panggung. Wisudawan lain pun dapat menyaksikan momen ini tanpa harus menoleh ke arah bangku penonton yang berada di belakang.

Di acara sesakral dan seindah ini, pun tetap ada seorang anomali.

Tata. Dia tidak beranjak dari kursinya. Pandangannya kosong ke arah layar di atas panggung. Tangannya menggenggam erat mawar putih yang durinya sudah dibuang itu. Sesekali menunduk untuk memandangi putihnya mawar.

"Eh, Ta. Lo ga ngasih bunga itu?" tunjuk temannya ke mawar yang dengan erat digenggamnya.
"Oh", setengah kaget dia tersadar dari lamunannya. "Ga, Din. Gue disini aja. Males jalan-jalan"
"Dih. Ga takut dianggap durhaka, lo?"

Seketika jantungnya berdegup keras. Satu detakan. Dengan kekuatan yang berkali-kali lipat lebih keras dari normal. Darahnya berdesir kencang.

"Ahahaha", lagi-lagi dikeluarkannya tawa yang agak dipaksa itu.


Hatinya menangis.





November 2015, H-1


"Serius nih lo mau ngasih ini undangan, Ta?"
"Iya buat apa gue becanda. Lo lagi butuh undangan lebih, kan?"
"Iya, sih. Oma Opa gue tiba-tiba pengen ikut masuk juga, tapi jatah undangan gue udah dipake bokap nyokap. Kalo gue pake undangan ini, orang tua lo gimana, dong?"
"Mereka tiba-tiba ga bisa dateng, Cin. Makanya daripada nganggur mending ini undangan lo yang pake"
"Bentar gue telpon nyokap gue dulu ya", balasnya ragu.

"Nih, Ta", dia menyodorkan uang seratus ribu. "Kata nyokap gue, beli aja"
"Wah. Gausah dibayar segala, Cin. Gue ikhlas, kok"
"I insist! Or to be exact, my mother does!"




Oktober 2015, Sekitar H-50


"Hello, Mommy. Akhir bulan depan ada wisuda. Kalo aku daftar, Mommy and Daddy bisa dateng, gak?"
"Wow! That's nice, Honey. I'll tell your father. We'll be there for sure"




13 November 2015


Stasiun televisi menayangkan berita mengenai pengeboman di Paris. Bergegas dia meraih ponselnya, berusaha menghubungi kedua orangtuanya. Keduanya tengah merayakan ulang tahun pernikahan, yang dirayakan dengan cara berkeliling eropa sambil napak tilas mengenang masa muda.

Telepon itu tidak pernah tersambung.



------------------------------



Yeeey. Ketemu lagi. Syudah lama syekali kayaknya ga nulisnulis. Karna kebetulan akhir november ini ada teman yang wisuda, sekalian deh nulisnulis tentang wisuda. Wawawawaaaaa.

Sabtu kemaren baru beres garap Supernova: Petir nya Dee. Pas nulis ini, yang dibayangin adalah Etra. Tentu saja semua dikarenakan kelakuannya di buku Petir yang kocak luar biasa. Sampai akhirnya melekat di otak dan langsung menempati posisi teratas dalam daftar tokoh favorit dari seri Supernova.

Q: Udah? Segitu doang tamat?
A: Iyes. Hamba bingung. Semedi sambil mencret pun tak menghasilkan inspirasi tambahan.

Q: What happened with her parents?
A: Who knows. Meninggal, hilang ingatan, hape nya hilang, atau lusinan alasan lain, you mention it. Let your imagination runs wild.

Q: Why even her best friend doesn't know about her condition?
A: Mungkin dia tertutup. Nuff said.

Q: Kenapa dia segitu bodohnya sampe bawa motor sendirian ke salon?
A: Entah, mungkin masih syok.

Q: Apa kabar motornya yang ditinggal di salon?
A: Mungkin dijual sama si tukang parkir.



Dah ah, segini aja.
I lay my pen down.





Yogyakarta, 17 November 2015
"Happy graduation, NEET"

Baca Selengkapnya....

Selasa, 03 November 2015

Random Image


Di suatu siang yang panas tiba-tiba dapet ginian~ :3

Baca Selengkapnya....

Senin, 26 Oktober 2015

待ってる

When the sun starts to set
I get up and grab my bag
Deliberately follow this road
Your home, your place, your heaven

After series of crossroads
Night completely blankets our sky
Air is colder, gentle wind breeze through my hair
Polaris and his friends cheering from above

Raise my speed, start running
I feel my heart skips some beats
"This is okay. This is alright"
And I keep on dragging my feet

Kneeling
As I tired from this journey
Reminding myself it will be beautiful someday


Never a single night, not even tonight
I ever forget to bring your name
As I raise my hands to heaven


Yogyakarta, 26 Oktober 2015
"あの 春 で 待ってる"



Baca Selengkapnya....

Rabu, 21 Oktober 2015

Celana Pendek

"Eh, Wam. Mau ke sekre, ya?"

"Eh, Kak Ardi. Iya nih, kak. Malam ini anak baru disuruh ngumpul. Katanya ada briefing bentar. Kak Ardi sendiri habis dari sekre, ya?"

"Iya, nih. Mau kerja kelompok di kosan teman", jawabnya.

Sejenak matanya memandangi penampilanku malam itu. Dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Mendingan kamu balik dulu, deh. Ganti tuh celana pendekmu", ucapnya kemudian.

"Wah. Ga boleh yah, kak?"

"Bukannya ga boleh, cuma kurang sopan aja. Kalo aku sih gapapa dan ga masalah kamu mau pake celana pendek."

Setelah itu aku bergegas kembali ke kost, ganti celana panjang, lalu bergegas lagi pergi ke sekre. Sesampainya di sekre, nafasku masih memburu. Beruntung saat itu briefing belum dimulai.

Dan benar aja, selama beberapa bulan kedepan ga pernah sekalipun menemui yang bercelana pendek. Baik itu cowok, apalagi cewek. Seakan itu sudah jadi aturan tak tertulis di sekre ini.

Usut punya usut, ada seorang senior yang menyandang jabatan komdis alias komisi disiplin. Jadi setiap ada yang agak 'membelok', bakal kena teguran ama si komdis ini. Konon katanya galaknya luar biasa, sampai orang yang lebih senior aja takut sama dia. Pernah ada seorang senior lain, 3 tahun diatas si komdis, bertanya "Eh aku mau ke sekre, nih. Ada si komdis ga ya?". Singkat cerita dia menebarkan 'kenangan', baik itu kenangan indah maupun kenangan buruk kepada seluruh penghuni sekre.


Di suatu malam yang cerah, aku lagi di tempat teman melakukan kegiatan rutin; main DotA. Tiba-tiba ada ajakan makan malam sekaligus membahas beberapa masalah yang ada di sekre. Katanya pesertanya kali ini cuma bertiga; Aku, Teman A, dan sang komdis.

Dengan santainya aku berjalan dari kost temanku itu menuju warung makan yang dijanjikan. Sesampainya di pintu warung, aku baru sadar kalo aku pake celana pendek (mungkin panjangnya sekitar 3/5, alias sedikit dibawah lutut).

Jeger! Modyar kowe! Lupa blas kalo ada komdis. Kalo balik ke kosan jauuh, udah terlanjur didepan pintu pula. Yasudahlah, akhirnya nekat masuk.

Tak disangka, ternyata sang komdis tidak mengomentari apa-apa. Fyuuh.

Sejak saat itu celana pendekku selalu dipendam di lemari, tidak pernah dipakai lagi. Awalnya emang terasa restricted. Tapi makin kesini makin nyaman. Betis juga makin putih :3 *plak*


-------------------------------------------------------

Huwalaa.

Jumpa lagi disini, kali ini bahas celana :3

First half was written on Monday, second half is on wednesday. Basically I spent 3 days :D
Alasan nulis cerita ini adalah karena pernah ada yang ribut-ribut gegara melihat seseorang yang biasanya pake celana panjang, menggunakan celana pendek di acara olahraga. Kayaknya ada alasan lain, tapi lupa. Biasa laaah :p

BTW ini beneran diambil dari kisah nyata (yang diubah sedikit di beberapa bagian, tentunya). Kalo sang komdis membaca, mungkin dia akan sadar dan ngamuk-ngamuk :D

Udah, ah.


Yogyakarta, 21 Oktober 2015
"Teruntuk sang komdis yang selalu kami rindukan"

Baca Selengkapnya....

Writer Thingy, Maybe


May I consider myself as a writer? :D

Baca Selengkapnya....

Jumat, 09 Oktober 2015

The Walk + Random Rant

Beberapa hari yang lalu nonton pelem baru yang judulnya The Walk. Ceritanya ada seorang pria yang pengen berjalan diatas tali yang membentang diantara gedung kembar World Trade Center di New York. Katanya sih diangkat dari kisah nyata.



Oke sekip.

Karena ini adalah tindakan yang jelas-jelas ilegal, maka orang 'gila' itu pastinya perlu bantuan beberapa orang untuk mempersiapkan atraksinya itu. Singkat cerita, terkumpullah beberapa orang yang bersedia membantu. Uniknya, salah seorang diantara mereka takut ketinggian, sebut saja namanya Jeff. Si Jeff inilah yang akan jadi topik kali ini.

Gue kenal sama orang yang takut ketinggian. Dan orang itu pernah kita paksa buat naik cable car ke Sentosa Island. Sepanjang perjalanan dia cuma nunduk sambil nutup mata. Kalo keretanya goyang dikit aja, dia udah panik setengah mati.

Oke balik lagi ke film. Buat apa orang yang takut ketinggian ngebantu orang 'gila' buat nyebrangin gedung WTC, gedung tertinggi di dunia (saat itu)? Apa yang bikin dia mau ngebantu masang tali di puncak gedung itu? Padahal di film sempat ditampilkan dia naik ke lantai 2 atau 3, dan udah ga berani liat kebawah. Apa ga pingsan itu kalo naik ke lantai 110?!

Ada beberapa anggota tim yang akhirnya berhenti membantu karena mereka ga yakin sama ini orang 'gila'. Tapi si Jeff ini tetap ngebantu sampai akhir. Sesuatu!

Sepanjang film, gue sambil mikirin ini alasan. Dan sampai akhirnya ini film memasuki babak akhir dimana sang tokoh utama mulai menjejakkan kakinya diatas tali.

Saat orang 'gila' itu mulai berjalan, si Jeff ini dengan girangnya berjoget-joget. Dengan gaya yang ga jelas dia berjoget sesukanya, seenaknya, sekenanya.

Dan gue tiba-tiba tetawa, karena gue ngerasa ngeliat cerminan diri gue di Jeff. Dia sebagai seseorang yang takut ketinggian, ingin membantu orang yang begitu menyukai ketinggian untuk mencapai mimpinya. Dengan cara begitu, mungkin dia bisa merasa lebih 'dekat' dengan apa yang tidak bisa dia capai.


Gue ga bisa ngegambar, otak kanan macet. Beberapa waktu yang lalu ngasih buku mewarnai ke satu orang, lalu satu orang lagi, dan satu orang lagi. Yep, tiga buku mewarnai yang sama ke tiga orang berbeda. Dan gue bahagia melihat mereka semua (beberapa, mungkin) bahagia.



Seperti biasa, awalnya ada yang pamer buku. Lama berselang, ada yg pamer cat air. Kasih satu. Ada yang pamer crayon, kasih satu. Ada yang terpengaruh melihat hasilnya setelah diwarnai, kasih satu. Dan voila, inilah hasilnya.

T1

T2

T3

Emeijing, aren't they?


Kalo ini dari yang pertama pamer buku.


Mungkin kalo emosi itu tak terbendung dan meluap keluar, gue udah joget-joged ga jelas kayak si Jeff. Saking girangnya.


Want to be the next who has the coloring book? *smirk*


P.S.: I am waiting for the next page, guys :p

Baca Selengkapnya....

Kamis, 01 Oktober 2015

Me Time

Malam ini bulan terlihat bulat sempurna. Ukurannya pun lebih besar daripada hari-hari biasa. Warnanya kuning agak kemerahan, sangat mempesona. Fenomena ini disebut supermoon.



Sedari kecil aku sudah tertarik dengan kondisi langit di malam hari. Hal ini dipicu oleh tanteku yang sempat menghadiahiku buku tentang peta bintang, dan kampung halamanku yang jauh dari keramaian dan polusi cahaya. Jadinya sedari kecil aku sudah mengetahui beberapa rasi bintang yang mudah dikenali seperti Salib Selatan, Orion, dan Scorpio.

Ditemani seperangkat MP3 Player dan Headphone, malam itu aku memanjat ke atap. Kumainkan Violin Concerto gubahan komposer-komposer terkenal seperti Bach dan Beethoven, lalu berbaring menatap langit malam.

Aku begitu menyukai suasana malam hari. Cahaya bulan yang remang-remang, bintang-bintang yang bertaburan menghiasi langit, angin malam yang lembut menerpa kulit, keheningan malam yang menenangkan, semuanya bersatu padu menciptakan dunia yang begitu kunikmati. Dunia dimana dengan memasukinya saja, segala penat dan beban pikiran yang kualami serasa terangkat. Plong.

Senyum tersungging, hati berjingkrak, sekuat tenaga menahan diri agar emosi itu tidak meluap keluar.




Yogyakarta, 1 Oktober 2015
"Me Time"

Baca Selengkapnya....

Minggu, 20 September 2015

Pantas



Sebenernya gue ngerasa agak kurang paham juga ama kata 'pantas' ini. Tapi dicoba dijawab lah yah.


Ini, ribet. Karena sejatinya kata 'pantas' itu amat tergantung pada pandangan masing-masing orang, dan biasanya bakal berbeda kriteria 'pantas' untuk orang yang satu dengan orang yang lain.

Contoh pertama,
Misalkan tokoh utama kita kali ini adalah seorang juara gundu nasional dari negara tetangga. Ketika ada seorang juara tingkat RT nantangin doi main gundu, doi bakal mikir "apa apaan ini baru juara tingkat RT belagu nantangin juara nasional. Gak level!"

Coba kita tengok apa yang mungkin dipikirin si juara RT.
"Gue udah jadi juara di daerah gue. Gue udah cukup kuat! Sekarang saatnya menjajal lawan tanding baru. Wah, kebetulan ada turis yang lagi mampir ke rumah tetangga. Mari kita jajal"

Juara nasional menganggap juara RT bukan lawan yang pantas buat dia.
Juara RT menganggap juara nasional sebagai lawan yang cocok buat dia.
Itu pun baru dilihat dari satu atribut; skill gundu.

Oke kita beralih topik dari gundu ke masalah yang lebih pelik, jodoh (ISFJ FTW~)

Ini lebih runyam lagi karena atributnya lebiiih banyak. Kita coba ambil contoh 4 yang utama: kecerdasannya, hartanya, garis/silsilah keturunannya (fisik), agamanya.

Nah, disinilah pandangan masing-masing pribadi mulai menentukan.

Misal ada sepasang muda-mudi, sebut saja Ani dan Budi.
Ani ini orangnya pinter ga ketulungan, kondisi keuangan menengah kebawah, keturunan entah, fisik ga cakep-cakep amat, agama pas-pasan. Preference jodoh: yang kaya dan ganteng. Biar memperbaiki keturunan.
Budi ini ijazah SMA, S1, dan S2 nya nembak, jabatan sekarang CEO perusahaan warisan bapake, muka kaya artis drama kroya, agama menengah kebawah. Preference jodoh: yang pinter. Biar kalo punya anak, anaknya ga tersiksa kayak doi yang bebal.

Apa yang terjadi kalo keduanya ketemu?
Ani mungkin bakal mikir: "pas banget nemu orang ganteng nan sugih. S2 pulak, aduh pinternya. Cucok deh cyin"
Budi mungkin bakal mikir: "nah, ada cewek pinter. Gapapa lah yah dia agak kurang berduit, gue udah banyak duit ini, ga habis 7 turunan. Parasnya yaaa so-so lah yah, its okay. Sip, ambil"

Si Ani pantas untuk Budi karena kepintarannya, si Budi pantas untuk Ani karena duit dan keturunannya.


Itu kalo kriteria yang dicari dan yang ada disuguhkan jelas. Gimana kalo kriteria nya aja ga jelas?
Cara paling gampang biasanya mengira-ngira, dengan apa yang kita miliki sebagai perbandingan.
"Ah, mukanya biasa aja. Ga ganteng, ga jelek. Sedang-sedang ajalah, sama kayak gue"
"Ah, otaknya ga encer-encer amat, ga jauh-jauh ama gue"
"Ah, tingkat ketaatannya 11-12 sama gue"
Yang sekiranya se-level, lah.

Dengan kata lain "aku pantas untukmu karena atribut kita ga beda jauh". Ini (mungkin) yang biasa dibilang orang "memantaskan diri", alias naikin atributnya biar jadi lebih tinggi ato paling gak setara.

Jangan lupa, bisa jadi ada kejadian gini:
"Aah. Dia orang kaya, gue orang miskin. Mana pantas gue buat dia"
Padahal mungkin aja calon pasangannya ga mikirin masalah harta. Mungkin.
"Aah. Gue mah naik sepeda aja ga bisa :("
Padahal mungkin aja calon pasangannya menganggap itu 'unyu'. Mungkin.


Buat kasus "lo suka, maka semua yang ada di dia pantas bagi lo", gue jawab pake pertanyaan:
Mungkinkah kau bisa menyukai seseorang, kecuali kau sudah menerima segala kelebihan serta kekurangannya?



Jadi gimana caranya memantaskan diri kalo kriteria nya aja ga tau, dan kayak yang dibilang diatas, semua tergantung masing-masing orang?

Itu... harusnya jadi lebih gampang. Karena kriteria (atribut) orang lain termasuk hal ghaib, ya tinggal perbanyak doa. Jangan lupa Ikhtiar.

atribut mana yang mesti dikuatin? Ya 4 atribut itu.
Kecerdasan, ya banyakin belajar.
Harta, ya rajin-rajin nyari duit.
Fisik, ya dandan/nge-gym.
Agama, ya banyakin ikut pengajian.

Yang jadi masalah adalah, ngomong doang mah gampang. Eksekusi nya yang setengah mati buat naikin atribut nya. Dan lagi kalaupun naikin atribut nya itu gampang, you must know when to stop, or you will be over-leveled.
Calon pasanganmu yang bakal keder kalo atribut mu ketinggian.

Kalo calon pasangan yang diincer sudah ada di depan mata, simpelnya, biar sama-sama merasa pantas satu sama lain adalah menyamakan tinggi point atribut masing-masing pribadi.

That's why a good observation skill is a must, so you know how high his/her attribute is, so you can make your attribute into right amount of point to match his/her.

Kurang jelas? Ada pertanyaan?

Baca Selengkapnya....

Jumat, 18 September 2015

Jarak Tiga Rakaat

Dia tersentak kaget saat melihat pojok kanan bawah layar monitornya. Di pojok kecil itu jam menunjuk ke angka 13:03. Dia tiba-tiba teringat bahwa dia belum melaksanakan kewajibannya siang itu. Segera ia menangkup layar laptopnya dan menyambar kacamata yang disilangkannya diatas cangkir kopi kosong. Setengah berlari ia bergegas menuruni anak tangga.


Di depan musholla itu ada seniornya yang masih duduk-duduk santai.

"Nah, berarti sodara", ucap seniornya itu kepadanya.


"Hah? Kenapa, Mas?" sahutnya dengan ekspresi bingung. "Eh, Mas udah selesai?"

"Belum. Ini dari tadi lagi nungguin makmum. Terus mikir-mikir, kalo makmum yang datang cowok maka bakal kujadiin sodara. Pas, habis itu kamu dateng."

"Hoooo. Kalo yang dateng cewek gimana, Mas?" sahutnya sembari melepas sepatu.

"Dijadiin istri", candanya. "Habis itu ceweknya pasti request buat jadi sodara aja. Hahaha"

"Kalo yang datang cewek cowok gimana, Mas?"

Dia terdiam sejenak. "Yaa mereka saya jodohkan. Gitu aja kok repot. Udah, ah. Buruan ambil wudhu sana."



Mereka pun melaksanakan sholat berjamaah berdua. Saat mulai memasuki rakaat ketiga, sayup-sayup terdengar bunyi air dari keran tempat wudhu.

~~~

Perempuan itu mengangkat takbiratul ihramnya pada saat mereka memasuki rakaat keempat.






Yogyakarta, 18 September 2015
"Tiga rakaat lagi"

Baca Selengkapnya....

Kamis, 17 September 2015

200th Post - Awal Membaca dan Menulis

Based on blogspot's post counter, this is my 200th post. Yaaaay.
Untuk memperingati, mari mengenang masa lalu.


Buku bacaan yang pertama (yang bisa kuingat) adalah Majalah Tiko, jaman TK. Walaupun kontennya yang kuingat sampai sekarang adalah bonusnya (biasanya mainan dari kertas, semacam topeng-topengan), aku yakin waktu TK udah sering buka-buka itu buku, walau kayaknya waktu itu belum bisa baca.

Ada satu jenis buku lagi; buku bergambar binatang. Ada sekitar 3 buku (kalo ga salah) dengan jenis binatang berbeda: binatang di air, binatang di hutan, binatang malam hari. Dan itu buku bahannya bukan dari kertas biasa, tapi kayak karton tebal gitu. Jadi ga bisa disobek anak-anak. That's one of my treasure at that time.

Udah agak gedean dikit, mulai pindah jalur ke Majalah Bobo. Jaman dulu harganya berapaan yah? Dibawah 3000 kayaknya. Terakhir langganan kalo ga salah di harga 3500 (atau 5500, lupa :p). Rubrik yang kuingat ada: cerita si Bobo itu sendiri, Ensiklopedia Bobo, Paman Kikuk, Husin, dan Asta, Bona dan Rongrong, Oki dan Nirmala, Cerpen, Dongeng, Tak Disangka, dan (kalo ga salah) Arena Kecil.

Nah dua rubrik terakhir ini adalah rubrik yang berisi cerita dari pembacanya. Disitu dipajang juga nama dan alamat pengirim cerita. Suatu hari yang cerah ada sebuah cerita berjudul Payung Terbang nangkring di rubrik itu. Yang spesial bukan ceritanya, tapi pengirimnya. Nama pengirimnya adalah, sebut saja, RDMPS. Alamat pengirimnya adalah Muara Teweh, kampung halamanku yang jauh dari manamana itu. Waktu itu aku cuma kaget, and doing nothing.

Sekian tahun berlalu saat aku udah lupa sama yang namanya RDMPS, tiba-tiba seorang teman di kelas les bahasa inggris mengeluarkan (kalo ga salah) kotak pensil bergambar bobo.

"Eh kotak pinsil nya bagus, gambar Bobo. Beli dimana?"

"Oh ini dapet dari hadiah. Aku pernah ngirim sesuatu, dikasih hadiah ini"

Ini dia ternyata si RDMPS! Sekian tahun kenal ama ini anak, dan ga sadar kalo dialah yang punya cerita Payung Terbang itu.

"Oh! Cerita Payung Terbang itu ya?"

"Iya"

"Gimana cara ngirimnya, emang?"

"Yaudah, kirim aja ke Jl. Palmerah Selatan No. 22. Jangan lupa tulisin 'Arena Kecil' atau 'Tak Disangka' di pojok atas."



Sepulangnya dari sana, aku langsung mencoba menulis cerita dan mengirimkannya ke Redaksi. Waktu itu ceritanya tentang pin bonus bobo yang kupasang di tasku tiba-tiba hilang. Bertahun-tahun kemudian akhirnya ceritaku dimuat, kalo ga salah di edisi tahun 2003. Kali itu apa yang dicetak berbeda dengan naskah asli yang kutulis. Saat itu kupikir mereka menggantinya gara-gara tulisanku terlalu jelek sehingga ada beberapa kata yang sulit dibaca. Aaah, masa muda yang indah.

And they gave me a hat as a present. I cherished that hat.

Fun fact: tas nya masih ada sampe sekarang, dan masih selalu dipake kemana-mana. Tas merah selempang dengan merk Boogie ini, kesayangan dah.


Pas SD juga kenal yang namanya komik. Doraemon, Dragon Ball, Sinchan, Detektif Conan jadi komik favorit jaman itu. Masih inget jaman dulu dijatah 20.000 buat beli buku (mainly komik) tiap pergi ke Banjarmasin (ga ada Gramedia di pedalaman, jadi musti ke Banjarmasin, which is pas liburan, which is 10jam perjalanan darat).


Kebetulan juga punya tante yang penggemar cerita misteri. Jadi pada suatu liburan sekolah, kita pergi ke Banjarbaru dan nginep di kosan dia. Disanalah aku pertama kali mengenal yang namanya Agatha Christie, tentunya gara-gara pengaruh sang tante.

Waktu itu aku masih SMP. Masih belum berani baca novel (kecuali Harry Potter, yang mana adalah pinjem), apalagi novel misteri. Wong waktu baca Conan jilid 4 aja takut, sampe kebawa mimpi, sampe pas liat itu cover jilid 4 di Gramedia jadi ga berani buka isinya.


Setelah masuk SMK yang berada di Banjarbaru, aku baru mulai berani beli buku 'agak' mahal kayak novel. Secara udah jadi anak kost dan dikasih duit bulanan, sudah bisa nabung buat memenuhi hasrat pribadi :3. Novel pertama ku dulu kalo ga salah Laskar Pelangi nya Andrea Hirata.

Karena SMK nya dulu di jurusan Teknik Komunikasi dan Jaringan (yang juga agak menjurus ke Informatika), alhasil selain itu aku juga beli buku-buku programming, jaringan, dan yang berbau-bau komputer. Those are my early days as a book reader.


Untuk anak SMK ada yang namanya magang. Nah oleh ketua jurusan, anak-anak magang ini disuruh membuat blog. Kita disuruh melaporkan kegiatan kita selama magang setiap hari melalui blog pribadi itu. Tujuannya sih katanya biar gampang memantaunya. Dan lahirlah blog ini.

Untuk nama blognya sendiri, ampun-aux, asalnya dari 2 kata:
ampun yang berarti 'punya' dalam bahasa Banjar, dan Auk yang merupakan bahasa gaul dari 'aku' pada jaman itu.
Rada alay, emang. Wong jaman itu masih labil, maklum masih muda :p


Next, jaman kuliah di Bandung. Beli-beli buku nya udah masuk dalam tahap parah. List buku yang dibeli makin banyak, waktu yang dipake buat ngebacanya sedikit. Alhasil, banyak buku yang sampai sekarang cuma jadi pajangan di lemari. Entah belum dibaca atau cuma dibaca separuh jalan.

Pas jaman kuliah ini juga mulai punya Internet di kost. Oleh karena itu niat menghidupkan blog kembali dimulai. Mulai dari bikin cerpen, ngasih download link lagu bajakan, sampai repost Hot Thread Kaskus pernah dicoba untuk meramaikan blog ini. Guess what, it doesn't work well.
Cerpen, I'm too shy to share its hyperlink.
Bajakan, works well but its kinda illegal.
HT Kaskus, The image links usually broken.


And that's when this blog went hiatus.


Setelah masuk dunia kerja, ritual menumpuk buku ini makin parah. Dalam sebulan PASTI mampir ke toko buku. Kalo udah masuk toko buku, pantang pulang sebelum beli. Sekali beli biasanya diatas 2 buku. Padahal dalam sebulan cuma bisa ngehabisin satu (karena disambi maen game di 3DS ato Vita), paling banter dua kalo ceritanya bagus dan bikin 'nagih'. Alhasil, rak buku (3tingkat, beli di Carrefour) penuh dalam waktu satu tahun.


Dan setelah masuk dunia kerja ini pula lah jadi sering nulis di blog ini. Inspirasinya datang dari mana-mana.
Ada dari mimpi,
pengalaman pribadi,
pengalaman orang lain,
hasil pemikiran yang selama ini terpendam,
atau sekedar nulis review Buku, Game, dan Liburan.


So that's it. Although there are 'junk posts' in the middle, this is still the 200th posts. Cheers, myself.




Yogyakarta, 17 September 2015
"Happy 200th post"

Baca Selengkapnya....

Jumat, 11 September 2015

Tangga

Anak kecil itu bergegas lari menuju perosotan. Ibunya yang ikut mengantarkannya cuma bisa menggelengkan kepala sambil menasehati agar anaknya berhati-hati. Ia pun duduk di bangku taman tak jauh dari situ, sembari mengawasi anaknya bermain.

"Ki, naik tangga nya ga usah sambil lari-lari. Nanti kamu jatuh" serunya saat melihat anaknya berlari dengan semangat menaiki tangga perosotan.

Pagi itu Rizki diajak oleh ibunya pergi ke taman kota. Biasanya keluarga kecil itu pergi ke pemancingan bersama-sama setiap akhir pekan. Ayahnya sudah seminggu pergi dinas ke luar kota dan baru akan kembali minggu depan. Dan taman itu adalah tujuan mereka jika hanya pergi berdua.

Sang anak tiba-tiba berlari menghampirinya.

"Mi, tadi Rizki habis kenalan sama teman baru. Namanya Naya, sama kayak nama Umi", ucapnya bersemangat. "Terus habis itu dia nanya kenapa Rizki dikasih nama Rizki. Umi tahu ga?"

Dia terkejut, lalu tersenyum kepada anaknya. Diangkatnya buah hatinya itu ke pangkuannya.

"Rizki sayang. Nama kamu itu artinya kebaikan dan anugerah. Dengan kata lain, kamu adalah anugerah yang terbaik buat Umi dan Abi."

Sejenak pandangannya kosong, pikirannya melayang ke masa lalu. Sejurus kemudian kenangan masa lalu merasuk pikirannya.

Dia teringat jaman dia masih duduk di bangku kuliah. Saat itu mereka sedang dalam tahap akhir rekruitasi keanggotaan sebuah lab.

Lelaki itu keluar dari ruangan dengan wajah kesal yang berusaha ditahannya. Semua peserta tahu, atau setidaknya kira-kira tahu, alasannya keluar dari sana; dia menganggap syarat pada proses rekruitasi kali ini terkesan terlalu 'aji mumpung'. Bagaimana tidak, selain diminta meluangkan setidaknya 70% dari waktu luangnya untuk kegiatan lab, dia juga diminta untuk membagi proyek sampingannya.

Ruangan seketika hening. Panitia pun tak ada yang berani berbicara.

Seorang perempuan diantara para peserta tiba-tiba berdiri. Dia berlari keluar ruangan, menyusul laki-laki yang terlebih dahulu meninggalkan ruangan. Peserta lain hanya terdiam, terpana. Sekali lagi, panitia tetap diam.

"Rizki!" teriaknya. "Tunggu"

Lelaki itu masih tetap berjalan santai seakan tidak mendengar panggilan itu. Saat dia sedang menuruni tangga, perempuan itu telah berhasil menyusulnya dan menghadangnya. Dia terpaksa menghentikan langkahnya.

"Ki, balik ke ruangan yuk" bujuknya. "Kali ini mereka memang agak keterlaluan, tapi kamu bisa jelasin pelan-pelan ke mereka kalo kamu gak suka."

Lawan bicaranya tetap diam. Matanya menatap tajam, namun mulutnya tetap tertutup.

"Ki", pintanya.

"Aku paling ga suka kalo cuma dimanfaatkan. Mungkin mereka ga sadar kalau tanpa mereka pun aku masih bisa berkembang. Masih banyak lab lain yang ada di kampus ini. Kenapa aku harus masuk lab ini dan dikekang kalau ada lab lain yang mau menerimaku tanpa mengekangku? Kalaupun lab lain juga melakukan hal yang sama, aku masih bisa lulus dari kampus ini.

"Mereka harus sadar kalau mereka lebih membutuhkanku daripada aku membutuhkan mereka"

Perempuan itu tertunduk. Semua yang dikatakan lawan bicaranya benar. Dalam hati dia pun sadar kalau sebenarnya lab itulah yang lebih membutuhkannya, bukan sebaliknya.

Oleh karena itu dia hanya bisa terdiam dan tak bisa membalas.

Dan saat laki-laki itu berjalan melewatinya, air matanya mengalir. Dia terisak. Itulah kali pertama air matanya ditampakkannya kepada selain Tuhannya.


"Mi... Umi kenapa? Kok Umi nangis? Rizki bikin salah yah? Maafin Rizki yah, Umi."

Tersadar dari lamunannya, dia mengusap air mata yang tersisa di pipinya.

"Gapapa, sayang. Mata Umi kemasukan debu tadi", sahutnya sambil tersenyum simpul.


"Rizki tau gak? Umi dulu juga punya teman namanya sama kaya nama Rizki, loh"


-------------------------------


Yoooooooooohhhhooooooo.
How's there?

Pagi ini habis beramai-ramai nge-bully orang yang belum move on. Dan akhirnya baper ampe di jalan pas berangkat ngantor.

Daripada terus baper, mending ditulis. Yeeeah!

Pilihan kali ini ada 2; Suaminya sudah mati, apa Istrinya yang masih 'agak' belum muv on.
Karena ga tega 'ngebunuh' laki orang, jadilah seperti ini.


Ini entah kenapa adegannya kebayang jelas di kepala gw, tapi seperti biasa eksekusi nya agak vague.


Dah ah. Gatau mesti ngomong apa lagi. BHAY





Yogyakarta, 11 September 2015
"Tangga yang tak berujung ke rumah tangga"

Baca Selengkapnya....

Kamis, 10 September 2015

Worlds of Mine; Act Two

We live on the same worlds.


The fourth world where we live in
Created from eternal flowers
But since the world turns cold
Now those flowers are withering

The third world where we live in
Created from well-made fireworks
But since the world turns cold
Now those fireworks are dud

The second world where we live in
Created from transparent glass
But since the world turns cold
Now that glass are cloudy

The first world where we live in
Created from eternal ice
But since the worlds turn cold
Now those ice are invading


Although the sun has gave up on me, on us
Although my knees eager to drop
I will keep traveling on this road
Spiky, icy road



Yogyakarta, 10 September 2015
"No, not a go!"

Baca Selengkapnya....

Rabu, 09 September 2015

Kambing dan Hujan oleh Mahfud Ikhwan


Pertama kali sadar akan kehadiran buku ini adalah saat gugling buat nyari bukunya Kurniawan Gunadi yang berjudul Hujan Matahari. Keesokan harinya hunting ke toko-toko buku lokal buat nyari itu Hujan Matahari. Ga nemu, dan ga bakal nemu. Wong itu buku self publishing, dan mesti preorder ke pengarangnya.

Seperti biasanya, kalo udah mampir toko buku pantang pulang sebelum beli sesuatu. Saat itu terlihatlah seorang akhwat yang berjalan cepat, lalu menyambar buku bersampul hijau, kemudian berlalu. Buku Kambing dan Hujan, dengan warna hijau mentereng diantara buku-buku lainnya.

Coba dipegang, ada tulisan "Pemenang I sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2014".

"Wooo! Ini buku sakti!", pikirku saat itu. "Tapi kok 'kesan dan pesan' pembacanya kurang representatif, bukan dari kalangan penulis"

Dan akhirnya berujung dibeli.

Mari kita coba kupas pelan-pelan buku ini.

Di sampulnya tertulis "Roman". Roman pertama dan terakhir yang pernah kubaca adalah "Bumi Manusia"nya Mbah Pram, setahun lalu (setahun lalu buku ini masih langka, sekarang berhamburan setelah cetak ulang). I put low expectation on this book, at first.

Baca halaman-halaman awal, kesan yang kudapat adalah "Bah, ya kan. Kisah cintacinta anak muda kekinian. Yang cewek aja udah mau kabur dari rumah gini. Ckck."

Beberapa lembar kemudian

"Asem! Tema yang diangkat sensitif banget. Ini mah cinta 'beda keyakinan'" Yang satu anak pembesar Masjid Utara, yang satunya anak pembesar Masjid Selatan. Parahnya, kedua masjid beda 'aliran' itu berseberangan, dan agak kurang akur.

Sampai seperlima buku, akhirnya tersadar kalau ini buku bukan kisah cinta menjijikan sepasang muda-mudi yang kebelet kawin tapi terhalang kedua keluarga yang saling benci.

Tema sensitif, dibungkus dengan gaya penulisan yang ringan dan renyah, kisah cinta sepasang muda-mudi yang tidak biasa, bromance yang manis, alur maju mundur yang membuatku serasa sedang menyusun puzzle kronologi, dan ending yang sangat menyentuh (menurutku). Fiks, novel ini jadi salah satu novel Indonesia terasyik yang pernah kubaca.

Baca Selengkapnya....

Senin, 07 September 2015

Otak Kanan

Otak kanan sering diidentikkan dengan kreativitas seseorang. Seseorang yang karya seninya bagus, entah itu dalam bentuk tulisan, puisi, ataupun gambar katanya mempunyai otak kanan yang berkembang.

Otak kananku macet.

Katanya juga, bagian tubuh sebelah kiri dikendalikan oleh otak sebelah kanan. Karena itulah aku menggosok gigi (sejak 2009) dan menggunakan mouse (sejak 2014) di kanan kiri.

Alhamdulillah sekarang sudah bisa pegang sumpit ama sendok sup di tangan kiri.
Alhamdulillah sekarang sudah bisa pegang pisau steak di tangan kiri.
Alhamdulillah sampai sekarang masih belum bisa menggambar.

Karena itu pula aku sangat menghargai mereka yang berjuang menggunakan otak kanannya. Dan kalau yang berniat atau sudah mendalami dunia persenian, I'll try my best to help 'em.

Membeli karya artist lokal (terutama yang masih self publishing, entah itu buku, komik, artbook, sampe pin maupun gantungan kunci) sampai nyari bahan belajar (pernah nyariin wacom sampe buku mewarnai untuk dewasa), dan berharap mereka akan terus berkarya.

"Tidak perlu terburu-buru membuat sesuatu yang 'besar'. Lahirkan sesuatu yang kecil saja dulu, lalu rawat dengan baik hingga tumbuh kebanggaan telah membesarkannya. Terkadang kita lupa, ambisi yang berlebihan untuk terlihat rupawan cenderung lebih cepat menjatuhkan. 'Tetap rendah hati dan penuh semangat' - Netra." - Sweta Kartika



These images below are taken from Tigera's blog

























Yogyakarta, 7 September 2015
"For everyone who loves to create"

Baca Selengkapnya....