Kamis, 27 Agustus 2015

Gift #2: Prosopagnosia = Face Blindness = Buta Wajah

Prosopagnosia


Nama itu mungkin terdengar asing di telinga kalian. Memang, nama ini masih jarang diketahui khalayak ramai. Beruntunglah kalian karena aku akan berbagi sedikit ceritaku disini, menjelaskan tentang makhluk gaib ini.

Prosopagnosia adalah gabungan dua kata bahasa yunani: "prosopon" yang berarti "wajah", "agnosia" yang berarti "tidak mengenali". Bahasa kerennya adalah Face Blindness - Buta Wajah. Singkat cerita, kau tidak bisa mengenali seseorang dari wajahnya, even their own face.


Belum kebayang? Coba lihat gambar-gambar dibawah ini




Kenal ama orang-orang itu? Coba kita balik fotonya:





Yang pertama itu Brad Pitt (Mr & Mrs Smith), yang kedua itu Keanu Reeves (The Matrix), yang ketiga itu Rowan Atkinson (Mr Bean)

Agak susah untuk mengenali kalau wajahnya terbalik, kan? Ini adalah pendekatan paling mudah bagi orang normal untuk merasakan apa yang dirasakan penderita prosopagnosia.

Awalnya kupikir ini kondisi normal. Kupikir orang-orang lain juga mengenali seseorang bukan dari wajahnya, tapi dari ciri fisiknya. Tapi makin kesini aku akhirnya mengerti bahwa aku berbeda.

Lalu bagaimana cara kami mengenali orang? Cara paling gampang adalah ornamen yang digunakannya. Entah itu model dan gaya rambut, warna bingkai kacamata, atau dari baju yang biasa dipakai.

Cara tersebut tentu saja tidak efektif. Pernah suatu ketika seseorang menghampiri dan berbicara kepadaku. Aku tentu saja bingung karena tidak merasa mengenalnya, tetapi dia berbicara dengan begitu akrabnya. Seakan-akan kami sudah kenal lama. Melihatku bingung, dia lalu mengikat rambutnya ke belakang membentuk ponytail. "Ini gue, woi". Disitulah aku baru bisa mengenalinya.

Terus dia lepas lagi ponytailnya. Pasang lagi, lepas lagi. Pasang lagi, lepas lagi. Disitu ada perasaan unik yang sulit dijelaskan melalui kata-kata; orangnya tetap diam disitu, namun kau merasa bahwa kenal dan tidak mengenalnya secara bergantian.

Itu satu. Pernah juga ada kejadian kayak gini:
Hari ini jadwal kuliahku penuh dari pagi sampai sore. Pagi itu setibanya di lingkungan kampus, tiba-tiba aku berpapasan dengan seseorang, yang kemudian dicurigai adalah dosen. Ia pun berkata "Eh kuliah kita nanti ditiadakan, yah. Saya ada urusan mendadak. Tolong jangan lupa kasih tau teman-temannya yang lain", lalu dia berlalu begitu saja.

Jreeeng.
Itu tadi siapa?

Oleh karena itu, aku juga sering dicap sebagai orang yang sombong. Hanya karena aku tak menyapa seseorang pada saat berpapasan di jalan. Sebenarnya itu terjadi bukan karena sombong, cuma karena aku tak mengenali wajahnya.

Kejadian-kejadian diatas itu masih kurang greget. Kejadian dibawah ini jauh lebih greget.

Saat itu teman-temanku sudah mengetahui bahwa aku agak susah mengenali seseorang kalau hanya dari wajahnya saja. Suatu hari mereka iseng-iseng mengetesku.

Mereka membawa beberapa lembar foto wajah yang sudah mereka edit. Yang tersisa di foto itu hanya tinggal bagian wajah, persis seperti gambar-gambar yang kulampirkan diatas. Tentu saja habis itu mereka menyuruhku untuk menebak-nebak.

"Coba tebak ini siapa. Ini masih salah seorang dari kita-kita yang ada disini, kok"

Aku dengan malas menebak siapa yang ada di foto tersebut, dan beberapa foto lainnya. Ini sama saja seperti orang awam disuruh baca hieroglif mesir, percuma. Setiap aku salah menebak, mereka menertawakan jawabanku. Kalau bukan karena mereka sobat dekatku, mungkin saat itu aku sudah marah.


"Ini yang terakhir. Kali ini spesial, orangnya kamu pasti kenal baik. Tapi, bukan salah satu dari kami"

Astaga. Yang biasa aja susah, apalagi yang spesial kayak gini. Dengan lebih malas aku menyebutkan beberapa nama, sampai akhirnya aku kehabisan nama untuk disebut.

"Nyerah, deh. Jadi yang ini siapa?" keluhku.
"Yakin? Beneran lu juga ga kenal ama yang satu ini? Coba lagi dah", desaknya.
"Udah, mentok", keluhku lagi.
"Ini... foto... Ibumu", ucapnya pelan.

Siiing. Hening.

Seketika itu juga aku terdiam. Mataku masih memandang lekat pada foto yang terpampang di meja itu. Perlahan aku menjulurkan tanganku untuk mengambilnya. Kudekatkan foto itu ke mataku, untuk mencari ciri-ciri yang menyatakan bahwa itu adalah benar ibuku. Sejurus kemudian, aku menyerah. Aku tetap tidak bisa mengenalinya.

Foto itu masih kupandangi lekat. Aku merasa durhaka. Bayangkan saja, kau tidak bisa mengenali seseorang yang membesarkanmu dengan sabarnya. Rasanya seperti kau tidak menghargai pengorbanannya. Akupun ikhlas kalau saat itu juga dikutuk menjadi batu seperti Malin Kundang.

"Oh...", ucapku pelan, datar.

Aku tertunduk, berusaha keras menahan agar air mataku tak sampai mengalir.

Hari itu aku menyadari betapa irinya aku pada teman-temanku yang normal.


-------------------------------------------------

Yo, here we meet again.

Pertama kali gue kenal ama yang namanya prosopagnosia ini pas maen 9 Hours 9 Persons 9 Doors. Terus karena penasaran, akhirnya browsing2, dan akhirnya gue berpikir "Ini musti disebarkan! Orang-orang harus tahu!"

Jadi, setelah ini semoga kalian sadar bahwa di dunia ini ada yang namanya prosopagnosia. Dengan begitu diharapkan kalian bisa memahami bahkan menerimanya. Ultimately, I hope we can find workaround for this problem since there is no treatment available for it right now.

Oh, gambar-gambar diatas diambil dari sini



Yogyakarta, 27 Agustus 2015

Baca Selengkapnya....

Selasa, 25 Agustus 2015

Balada Anak Muda 2015


Tiba-tiba kemaren dapet beginian :)

Baca Selengkapnya....

Senin, 24 Agustus 2015

Rain of Posts

Beberapa bulan belakangan banyak post yang mengalir di blog ini. Alasannya simpel, tiba-tiba muncul hasrat buat nulis.

Sebenernya ga sepenuhnya gara itu aja. Tiba-tiba buanyaaaaaaaak inspirasi yang dateng. Daripada dibiarkan menguap gitu aja, mending sekalian ditulis. Lumayan buat 'senyum-senyum' di masa depan.

'Senyum-senyum'? Iya, senyum. Bikin timbul perasaan "Idih. Gue dulu ternyata kayak gini, yah". Pernah ngalamin, kan? Kalo belum pernah coba kalian ubek-ubek post beberapa tahun lalu kalian di Media Sosial.

Oke, sekip.

Ini inspirasi datengnya juga ga menentu. Kadang pas baca, kadang pas main, kadang pas kerja, kadang pas mengenang masa lalu, kadang pas boker. Paling sering, pas mau tidur.

Bayangin. Pas belum ngantuk tapi udah saatnya tidur. Kan itu dipaksa-paksa buat tidur, yah. Karena itu juga pikiran biasa melayang-layang entah kemana. Dan tahu-tahu malah dapet ide cerita. Alhasil, bukannya tidur, malah nulis konsep :(

Anyway, bentuk post yang ditulis juga macem-macem.

Pertama, Cerpen.
Ini bentuk paling simple, idenya paling gampang. Biasanya gue nulis pake sudut pandang orang pertama dan Theory of Mind (yang niatnya bakal dijelaskan di post berikutnya). Cerpennya ga sependek yang ada di majalah Bobo :)


Kedua, Teori.
Sesuai namanya, ini biasa diisi teori-teori ga jelas. Sekarang udah jarang nulis ginian gara-gara idenya susah.


Ketiga, Curhat.
Contohnya, kayak yang satu ini. Nuff said.


Keempat, Puisi.
Gue, yang sedari dulu gaaak pernah suka dan paham ama puisi, tiba-tiba nulis puisi. Mungkin buat mereka yang sudah biasa mengapresiasi puisi, yang gue buat ini belom bisa dibilang puisi beneran.

Kalau ada beberapa ide yang berbau-bau melankolis dan susah diungkapkan melalui cerpen, entah karena flagnya kurang, karena sekedar kurang sreg, atau cuma karena pengen bikin sesuatu yang amat sangat tersirat, biasanya langsung diramu menjadi bentuk ini.


Wasalam.


Yogyakarta, 24 Agustus 2015
"To my future self. Someday you will surely smile while reading this :)"

Baca Selengkapnya....

Jumat, 21 Agustus 2015

Segelas Kopi dan Sebungkus Perasaan

Dua orang itu perlahan memasuki warung kopi yang penuh. Agak ragu, keduanya berjalan pelan ke arah counter sambil celingak-celinguk, mencari-cari tempat duduk yang kosong. Selagi menunggu pesanan mereka jadi, salah seorang dari mereka melihat sepasang sofa kosong di pojok. Mereka berjalan dengan agak tergesa-gesa. Khawatir didahului orang lain.

Mereka berdua melepaskan jaket yang dikenakan lalu meletakkannya di sofa itu, penanda bahwa sofa itu sudah terisi.

Tak lama kemudian keduanya kembali dengan membawa kopi di tangan masing-masing.

"Jadi apa kabar lo dengan Mbaknya?"

"Asem. Baru aja ketemu udah langsung main tembak aja. Pelan-pelan laah"

"Seharian ini gue udah dengerin curhatan dua orang. Yang satu udah menelepon pagi-pagi, yang satu lagi menelepon 5 jam. Malam ini gue khususkan datang jauh-jauh buat dengerin curhatan lo lah. Makanya, buruan cerita!"

"Ga ada progress lebih lanjut. Masih jalan di tempat. Malahan berasa mundur perlahan," jawabnya sambil agak tertunduk.

"Udaah. Kalo gitu lo ama Zahra aja"

"Lah? Kok jadi ama Zahra?"

"Abisnya lucu. Kalo gue liat lo lagi ama dia rasanya cocok aja. Lagipula dia juga tipe lo, kan?"

"..."

"Jadi kapan mbaknya nikah?"

"Ya mana gue tau. Ga berani nanya gituan ke dia. Masalah sensitif soalnya"

"Kalo gitu, siapa calonnya?"

"Itu juga ga tau. Sama, ga berani nanya juga."

"Cih. Padahal gue setuju banget kalo lo jadi ama mbaknya"

"Nah, kan. Lo aja setuju, apalagi gue"

"Kalo cewek yang dapet kabar kayak gitu, pasti dia udah nangis-nangis sambil curhat ke sobatnya. Jadi, sekarang perasaan lo gimana?"

"Tiga bulan ini biasa-biasa aja, sih"

"Hoo. Jadi udah move on, nih?" godanya sambil tersenyum.

"Kalo dibilang move on sih kayaknya belum"

"Kalo gitu,, udah nemu yang baru berarti ya?"

Dia mengaduk-aduk kopinya, lalu menyeruputnya sedikit.
"Ummm... Kayaknya iya"

"Hooooooo?! Cerita. BURU!!"

Dia menyodorkan smartphonenya. Layarnya menampilkan foto seorang laki-laki dan dua orang perempuan.

"Hmm. Pasti yang ini, kan?" ujarnya sambil menunjuk yang berkerudung merah.

"Kok tau?" sahutnya setengah terkejut.

"Ya iyalah. Lo pikir udah berapa lama gue kenal ama lo, hah? Gue tau fetish lo tuh yang kayak gimana. Siapa namanya?"

"Ini," dia menyodorkan smartphonenya lagi. Kali ini layarnya menampilkan sebuah media sosial. "Kalo namanya susah diingat, sebut saja Skullgreymon"

"Halah. Pake nama digimon yang 'unyu'an dikit, napa."

"Ada sejarahnya ituuu. Kali ini terima aja, ya"

"Jadi sudah sejauh mana lo ama si Skullgreymon ini?"

"Hmm. Yang paling privat sih cuma pernah nonton berdua, makan berdua."

"Wow. Kalo yang rame-rame?"

"Jalan-jalan, karaoke, makan, nonton, dan teman-temannya lah"

"Waaah. Ini mah progress gede buat lo. Biasanya kan malu-malu gimanaaa gitu. Terus sekarang?"

"Sama. Jalan di tempat"

"Bwahahahaha," dia terbahak.

"Heh, lo ketawa aja. Lo ama 'Abah' kan juga sama, pret"



Keduanya melanjutkan pembicaraan random mereka. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Meninggalkan dua cup kopi kosong yang bertuliskan nama Ratna dan Roy.





------------------------------------------------------


Yahoooooo. Ketemu lagi.

Kali ini gue nyoba nulis percakapan. Dan, kesimpulannya: SUSAH.

Selain mikirin kata-kata dan gaya bicara tiap orang, menyampaikan ide nya pun agak susah. Dan yang paling susah adalah "Abis ini musti nulis apa ya buat pelengkapnya". Musti belajar lebih banyak lagi buat gaya yang satu ini

Ide cerita awalnya adalah dari salah satu hobi gue; eavesdropping. Ceritanya di sebuah warung kopi kenamaan, ada seseorang duduk sendirian dan tiba-tiba ada sepasang pelanggan lain dateng dan duduk tepat di sofa sebelahnya. Mereka bercakap-cakap, dia mendengarkan sambil pura-pura ga dengar. Idenya sih, begitu.

Awalnya juga, cuma niat bikin cerita pendek sependek pendeknya. Tapi, apalah daya mereka tiba-tiba jadi rada panjang kayak gini. Udah panjang pun, masih vague dan GANTUNG. Hahahahasem.

Mungkin nanti gue bakal coba bikin cerita yang lebih pendek dan lebih jelas.


Anyway, here I lay my pen down.




Yogyakarta, 21 Agustus 2015
"For me, myself"

Baca Selengkapnya....

Rabu, 19 Agustus 2015

Gift #1; Hadiah

Kalian pasti pernah menerima yang namanya hadiah. Baik dari teman, orangtua, guru, bahkan dari panitia lomba atau kuis. Bentuknya pun bisa bermacam-macam, dari benda yang dapat dipegang, sampai sesuatu yang abstrak namun tetap bermakna. Disini akan dicoba membahas tentang hadiah, tentunya berdasarkan pemikiran pribadi :D


Pertama, apa sih hadiah itu? Hadiah adalah sesuatu yang diberikan oleh si A kepada si B, dengan disertai maksud tertentu misalnya:
- Memperingati suatu event: kelulusan, kenaikan pangkat, ulang tahun, dll
- Mempererat silaturahmi
- Balas budi
- Mengharapkan simpati si B
- Sogokan, kompensasi tutup mulut, dan teman-temannya


Namun tujuan utama setiap hadiah masih tetap sama: membahagiakan penerimanya.

Bilang kalian ga bahagia pas nerima hadiah, apalagi kalo hadiahnya dari orang tersayang *suitsuit*, misalnya orangtua :p *tee hee*


Bentuk dari hadiah itu sendiri ada bermacam-macam. Mulai dari kelas harta (rumah, mobil, motor, dan barang mahal lainnya), kelas benda (hasil DIY, buku, keychain), sampai kelas abstrak (lagu, gambar, puisi, senyuman). Masing-masing bentuk punya kegunaan khususnya sendiri.

Misalnya untuk kelas harta, sangat berguna kalau dijadikan bahan sogokan ataupun buat menarik jodoh. Sampai-sampai ada istilah 'Jimat Jepang', yang secara kasar bisa berarti kendaraan bermotor buatan jepang (kan merk nya banyak, tuh. Mulai dari Honda, Yamaha, Suzuki, Toyota, etc).

Untuk kelas benda cocok jika dijadikan oleh-oleh, hadiah ulang tahun, sampai hadiah kuis abal-abal.

Kelas Abstrak ini sesuai namanya, abstrak. Paling murah.

Walaupun tujuan utamanya adalah membahagiakan penerimanya, tetap saja tidak menjamin tujuan ini tercapai. Tingkat keberhasilannya sangat bergantung kepada preference si penerima. Misal, penerima adalah orang yang ga suka kucing, terus kau ngasih boneka kucing, ato lebih parahnya kucing angora. Ya disembelih itu kucing.

Faktor lain adalah harapan si penerima terhadap si pemberi. Misal si penerima mengharap kalau si pemberi bakal memberi Toyota Supra, ee tapi malah diberi Honda Supra. Besoknya si penerima pundung, padahal habis diberi hadiah. Ckck.


Untuk history memberi pernah ngasih ipod, figure dan sejenisnya, buku, strap, sampe stiker.
Sedangkan history menerima ada DIY 'treasure box', self-hand-painted t-shirt, figure dan sejenisnya, buku, botol minum, sampe alat tulis. Honestly, I prefer unique item, thus makes me loves 'DIY thingy' much more than anything.


Sekian sesi curcol

Baca Selengkapnya....

Jumat, 07 Agustus 2015

Questions and Lies

Aku terlahir di jaman yang salah.
Aku tumbuh di jaman yang salah.
Aku hidup di jaman yang salah.

Waktu itu umurku hampir menginjak 3 tahun. Entah kenapa Ibuku memutuskan untuk memasukkanku ke Taman Kanak-Kanak. "Numpang duduk", itu istilah mereka saat itu. Yep, itu karena mereka menganggap anak umur 3 tahun belum mampu menerima pelajaran untuk anak TK yang rata-rata berumur 4 tahun.

Setahun berlalu. Dari yang tadinya kelas Nol Kecil, aku pun ikut naik ke kelas Nol Besar bersama anak-anak lainnya. Setahun berikutnya saat mereka lulus dari TK dan masuk SD, akupun ikut masuk SD. Seorang anak TK yang tadinya "numpang duduk" berakhir masuk SD unggulan pada saat usianya hampir 5 tahun.


Begitulah dunia pendidikan kujalani. Aku selalu setahun lebih muda dari teman-teman sekelasku yang lainnya. Aku selalu menjadi yang termuda diantara teman-teman seangkatanku.


Mungkin karena hal itulah aku jadi punya cara 'khusus' agar bisa mendapatkan teman. Just like any other newborn ultimate weapon, cuteness.

Have you ever seen a kitten soooo damn cute and you just want to hug it? Or if you don't like felyne, you can change it to puppy or calf or another animal. Still no? How about newborn baby. Still no? Then I give up.


Pernah suatu hari waktu aku masih kelas 3 SD, guruku tak sanggup menahan hasratnya. Kebetulan waktu itu aku duduk di deretan paling depan. Sembari menjelaskan pelajaran, dia menghampiri mejaku.

"Coba kalian liat pipinya yang mulus ini", ujarnya sambil mencubit pipiku.

Tentu saja aku cuma diam. Saat itu aku masih kelas 3 SD yang tidak mengerti apa-apa. Polos.


Karena yang paling mudah terpengaruh oleh ke'unyu'an adalah perempuan, akibatnya daftar temanku kebanyakan diisi oleh orang-orang dengan jenis kelamin perempuan. Dan karena aku agak pendiam, maka aku agak susah berteman dengan anak laki-laki. Kalau dijadikan persentase, mungkin 70-30 lah.


Efek samping lainnya mulai terlihat pada saat aku menginjak SMA, saat para anak muda mulai mengenal yang namanya cinta.

Aku yang pendiam hampir tidak punya teman selain dari teman-teman sekelasku. Otomatis, orang yang kusuka juga berasal dari kelas yang sama. Sialnya, aku selalu lebih muda dari orang yang kusuka.

"Berondong". Istilah anak muda kekinian yang mengacu kepada seorang laki-laki yang lebih muda daripada pasangannya. Konotasi kata "berondong" sendiri lebih ke arah negatif. Kalau seorang perempuan punya pacar berondong, itu sama saja dengan aib.

Aku yang tidak bisa berbuat apa-apa dengan umurku, akhirnya berusaha mencari jalan keluar lain. Dan jawaban yang terlahir adalah persona. Aku menciptakan sebuah sosok lain dalam diriku, sosok yang lebih dewasa.

Ketika aku berusaha berkenalan dengan teman-teman baru, aku menonjolkan sisi 'anak kecil' ku.
Ketika aku ingin membuat mereka kagum kepadaku, aku menonjolkan sisi 'dewasa' ku.
Entah karena cara ini atau bukan, aku berhasil menjalin beberapa kali hubungan dengan menyandang status "berondong".


Suatu hari yang cerah di bangku kuliah aku bertemu dengan seseorang yang membuat duniaku lebih galau dari yang pernah terjadi.

Dia orang biasa, bukan orang yang punya bentuk tubuh ataupun wajah bagai artis. Dan seperti biasa, semua dimulai dengan 'ga ada apa-apa'.

Semakin lama aku mengenalnya, semakin terlihat potensi aslinya. Yang pertama terlihat adalah koleksi buku nya.

"It's said that to understand someone, one just needed to look at their bookshelf." Rak bukunya, atau mungkin lebih cocok disebut daftar buku yang pernah dibacanya, dipenuhi dengan novel-novel masterpiece dari pengarang-pengarang kelas dunia. Tolkien, Tolstoy, you name it. Rata-rata judul buku yang belum pernah kudengar. Setelah kubaca salah satu diantaranya, akupun langsung menaruh hormat kepadanya.

Yang kedua adalah sifatnya yang juga bisa dibilang memiliki dua persona sepertiku. Dia punya sisi kekanakan yang kadang ditunjukkannya pada saat santai, dan dia juga punya sisi dewasa yang bisa diandalkan disaat serius. Aku serasa melihat cerminan diriku pada dirinya.

Yang ketiga adalah kelakuannya yang 'nyeleneh'. Tak jarang aku dijadikan kelinci percobaannya. Hanya untuk memuaskan hasrat ingin tahunya tentang cara berpikir manusia.

Terlepas dari segudang keunikan lain yang menyelimuti dirinya kuharap tiga poin itu bisa memberikan kalian gambaran yang jelas tentang seperti apa dia sebenarnya.

Dan kuputuskan untuk mengejarnya.

Karena dia satu tingkat diatasku, semuanya serasa lebih susah.

Pertama, bagaimana cara memanggilnya tanpa tambahan 'kak'. Seperti yang sudah kuberitahu diatas, "berondong" masih dianggap aib sampai saat ini. Kalau aku memanggilnya menggunakan tambahan 'kak' maka di benaknya akan tertanam kalau dia lebih tua dariku. Tapi kalau aku memanggilnya tanpa tambahan 'kak' maka aku akan dianggap tidak sopan dan kurang ajar. Karena itulah aku berusaha sebisa mungkin menghindari memanggilnya. Semua percakapan dilakukan tanpa aku pernah menyebut 'kamu' ataupun 'kak'.

Salah satu cara paling efektif adalah menggunakan 'you'; sebuah kata dalam bahasa inggris yang bisa digunakan kepada orang yang lebih tua tanpa mengurangi rasa hormat sedikitpun. Karena kalau mengucapkan kata-kata dalam bahasa inggris bisa memicu perhatian berlebih dari orang sekitar, akupun memutuskan hanya menggunakannya pada sesi chatting.

Setahun, dua tahun berlalu. Aku yang tadinya hanya berani menggunakan you, perlahan-lahan mencoba menggunakan 'kamu'. Aku yang tadinya hanya berani menggunakan 'saya' atau I, perlahan-lahan mencoba menggunakan 'aku'. Satu hal yang aku belum berani untuk mencoba; memanggilnya menggunakan namanya, Nana.

Singkat cerita kami berdua lulus kuliah dan melanjutkan hidup di kota terpisah. Dia kembali ke kampung halamannya di Jakarta dan melanjutkan kuliah S2 nya disana, sedangkan aku mendapatkan pekerjaan di Surabaya.

Suatu hari untuk pertama kalinya aku melakukan perjalanan dinas ke jakarta untuk bertemu klien. Langsung aku menghubunginya dan mengajaknya bertemu. Akhirnya diputuskan kami akan bertemu siang itu di sebuah toko buku yang berjarak tidak terlalu jauh dari hotel tempatku menginap.

Toko buku yang katanya 'tidak terlalu jauh' tadi setelah dilihat-lihat berjarak sekitar 5KM. Sugesti 'tidak terlalu jauh' tadi jugalah yang membuatku memutuskan berjalan kaki di tengah terik matahari jakarta, berjalan sejauh 5KM. 'Tidak terlalu jauh' inilah yang membuatku membenci Jakarta.

Secapeknya (sesampainya) di toko buku yang telah dijanjikan, aku langsung mencarinya. Setelah menemukannya, diam-diam aku menghampirinya yang sedang serius melihat-lihat sebuah buku.

"Hei," sapaku tiba-tiba di belakangnya.

Dia menoleh kearahku, lalu lanjut membolak-balik halaman buku di tangannya. Tak lama kemudian dia menaruh buku itu kembali ke raknya, dan dia berjalan menjauh tanpa berbicara atau melihat kearahku.

Aku mengambil buku yang tadi dibacanya dan melihat-lihat isinya. Tak lama kemudian handphoneku bergetar. Ada pesan masuk darinya yang berbunyi:
"Lunch's on you".

Aku tersenyum simpul. Meletakkan buku yang kupegang kembali ke raknya lalu berjalan dengan santai ke kasir, tempat dia menunggu.

"Nih," ujarnya sambil menyodorkan Teh Kotak yang dibelinya di kasir. "Cuma orang bodoh yang mau jalan kaki sejauh itu di siang bolong kayak gini. Apalagi ini jakarta." sambungnya.

Aku cuma bisa tertawa kering.

Kami berdua pun pergi ke sebuah restoran yang terletak tak jauh dari toko buku itu. Kali ini beneran dekat, tak sampai 100 meter. Selama sesi makan siang itu aku merasa aku terlalu banyak memandanginya. Sedangkan dia seperti biasa, selalu mendominasi percakapan.

Setelah makan siangku selesai, dia pulang ke rumahnya dan aku kembali ke hotel. Kali ini aku tidak bodoh, aku memesan taksi.


Suatu hari, dia kembali melakukan percobaan psikologisnya kepadaku.
"if I coult grant you 3 questions to answer, what would you ask me?"

Jeger. Ini percobaan paling berbahaya sejauh ini. Di kondisi kayak gini, orang normal mungkin bakal nanya pertanyaan semacam "km suka sama aku ato gak?", "mau gak jadi pacar aku", atau "menurut km aku orangnya gmn?" ato sejenisnya. Tapi aku tau ini salah satu percobaannya, dan akhirnya aku sekuat tenaga menahan diri tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan normal itu, dan menanyakan pertanyaan lebih normal lainnya:

1. Would you answer my second question?
2. Would you answer my third question?
3. What would your answer be if I ask you to marry me?


Hey, I mean we already at that age where we do date seriously.
Many of our friends already married.
I have a job. I make more than I can spend by myself, alone.
I want you. As simple as that.

Salah seorang teman baikku pernah bertanya kepadaku:
"Pernahkah kau bertemu seorang perempuan, lalu sesuatu terlintas di benakmu; 'Dia pasti bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku'?"
Kupikir saat ini aku telah menemukannya.


Balik ke pertanyaan tadi. Jawaban darinya:
1. Yes
2. Yes
3. Is that a serious question?


Daaaaaaaaamn. Why you mess up with the most important question! Aku terdiam. Aku yang tadinya sudah bersiap dengan jawaban Ya atau Tidak, jatuh. Tak sedikitpun pernah singgah di benakku kalau dia akan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain. KZL!!

Setelah sekian lama diam, akhirnya dia menjawab serius.

"I will marry someone soon"
"Whoa? That's new. Who might that lucky person be?"
"I can't tell you right now"

Saat itu juga aku merasa lelah. Aku cuma terdiam. Aku ingin cepat pulang dan kembali ke kasurku, segera tidur.

"Please don't be sad. I know you would ask something like that to me. And that's why I asked you that question in the first place. So you could be the first one to know that I am going to get married soon"

Aku masih diam.

"I don't know if this could make you feel better. But FYI, I adore you"

Aku hancur.

Orang bilang obat mujarab pasti pahit. Tapi ini terlalu pahit.
"Janganlah kamu meminang pinangan orang lain". Dengan berpegang teguh pada keyakinanan itu, aku berusaha mundur perlahan.


Setengah tahun setelah kejadian itu aku masih belum mendengar kabar rencana pernikahannya. Di ujung hati kecilku aku masih berharap bahwa apa yang dikatakannya malam itu adalah suatu kebohongan, white lie.

I do hope so.

------

Yeeey jadi juga. Semoga sesuai ama apa yang dibayangin kak Wulan :3

Tadi sore gue ngasih cerita Realize ke Tiara, dan komentarnya setelah baca adalaaah,, gue dibilang Alay -_-. Yaudah, sekalian aja diterusin. Jujur pas nulis ini gue berasa alay banget, te. Puas lo?

Kali ini minjem nama Nana tanpa ijin. Karena sesuatu dan lain hal, gue rasa nama ini cocok dipasang di cerita ini :)

Elemen pertanyaan pamungkas itu juga (rasanya) cuocok sekali dipake di tulisan ini, karena itu gue tambahin~

Anyway, enjoy :)



Yogyakarta, 6 Agustus 2015
"To everyone who lives on the wrong time"

Baca Selengkapnya....