Minggu, 28 Juni 2015

Real;ize

This is part three of the stories. You can find part two here.

"Terkadang lawan bicara kita tidak tau bahwa dirinya tengah dicintai" - Have I Told You Lately that I Love You

Belakangan ini pikiran gue kacau balau. Kalau diibaratkan, persis kayak habis diterpa tsunami. Semua yang ada disana gaada yang utuh. Luluh lantak rata dengan tanah.

Penyebabnya adalah penyakit yang emang biasa menyerang anak muda kayak gue; cinta. Bukan cinta biasa, tapi cinta tak terbalas. Miris. Gara-gara penyakit satu ini gue yang dulunya periang sekarang jadi lebih sering murung, meratapi nasib sambil memandangi layar hape, lalu menghela nafas panjang.

Gejala penyakit ini baru muncul sekitar enam bulanan yang lalu. Sebelumnya gue kebetulan lagi sering jalan bareng dua anak baru itu, dan semua normal-normal aja. Sampai suatu hari salah seorang sobat karib gue nge'cie'in gue;
"Ciee yang jalan mulu sama si Wulan"
Waktu itu gue masih bingung, ini anak kenapa cuma mention si Wulan, dah. Padahal kan gue jalannya ga berduaan sama si Wulan doang. Aaaah, apa gara-gara gue ada di klub yang sama, ya?

Dengan cuek gua anggap semua kayak angin lewat. Lagian gue emang gaada rasa apa-apa.

Kayak lilin yang sumbunya mulai dibakar, sejak kejadian itu cara gue memandang si Wulan ini mulai agak berubah. Gue mulai melihat dia sebagai seorang 'kandidat'. Disinilah hari-hari panjang penuh penyiksaan gue dimulai.

Tahap pertama penyiksaan ini dimulai saat gue mulai hafal beberapa hal tentang doi. Pertama, parfum doi. Entah kenapa gue kadang suka kangen ama wangi yang satu itu. Tak jarang gue tiba-tiba senyum-senyum ga jelas gara-gara wangi parfumnya yang mendadak masuk menggelitik hidung gue.

Yang lebih parah adalah saat gue lagi di jalan. Karna gue hapal banget ama motor doi, ini jadi lebih menyiksa. Tiap kali gue nemu motor yang model dan warnanya sama di jalanan, gue secara refleks selalu ngelihat kearah pengemudinya. Ini sama bodohnya kayak orang yang menjulurkan tangannya buat ngecek hujan, padahal dari genangan air aja keliatan kalo masih hujan. Cuma kurang afdol aja kalo ga dilaksanain.

Tahap kedua penyiksaan ini adalah gue jadi kepo ama doi. Parah banget lah pokoknya. Dikit-dikit, ngecek socmed. Dikit-dikit, apdet status. Cuma gara-gara pengen tau doi lagi ngapain, sama pengen tau apa doi peduli ama gue. Yang bikin lebih parah adalah, doi ini cueknya bukan main. Apdet status aja jarang apalagi ngasih komen di status orang. Jangankan itu, like pun ga dikasih. Cih.

Tahap ketiga lebih berat lagi; gue mulai cemburuan. Mungkin lu lagi pada mikir "Dih, emang lu siapanya dia jadi pake cemburu segala?" Ya, gue emang bukan siapa-siapa, tapi apa boleh buat. Kalo gue bisa atur ini hati biar ga cemburu, udah gue pencet itu tombol on/off nya dari kapan tau, dan gue ga bakal tersiksa kayak gini.

Dia lagi jalan ama temennya dan gue ga diajak, gue sakit ati.
Dia lagi chatting ama temennya, gue sakit ati.
Chat gue cuma di-read, gue rasa mau mati.
Pokoknya udah kayak anak muda labil, dah. Padahal, gue sadar gue bukan siapa-siapanya, cuma sekedar teman maen, itupun kadang-kadang.

Menjijikan

Dari situlah gue mulai berusaha menerima keadaan. Malam itu juga gue memantapkan hati. Gue tiarap di kasur lalu teriak "Gue suka Wulan!", sambil berdoa supaya semua suara teredam dengan baik oleh bantal iler dan orang rumah gaada yang kebangun. Dan, benar gaada yang kebangun. Lucky.

Keesokan harinya gue langsung disiksa ama penyiksaan tahap keempat. Gue ngerasa susah bersikap normal kalo didepan doi. Kalo kemaren gue masih bisa nyapa saat papasan ama doi, sekarang gue buang muka pura-pura ga liat. Kalo kemaren gue masih bisa ngobrol tatap muka, sekarang gue takut liat matanya. Takut tiba-tiba pipi gue jadi merah, salting, awkward. Kalo kemaren gue masih bisa melempar candaan, sekarang gue memilih diam dan cuma ngomong kalo emang perlu. Mungkin lu pada ga pernah ngalamin fase kayak gini. Tapi percayalah, ini bener-bener gue alamin.

Setiap ada berita tentang doi, gue pura-pura ga denger dan ga peduli. Contoh paling baik adalah waktu doi dipindah klub. Dulu gue dan doi satu klub di klub debat. Karena sesuatu dan lain hal, doi dipindah ke klub pidato. Pas dengar kabar itu, gue ga tau 'normal' itu kayak gimana. Akhirnya gue memutuskan pura-pura ga denger, pura-pura ga peduli, dan pasang muka datar. Walau sebenarnya dalam hati gue udah kayak es jus yang diblender; tak karuan, remuk jadi serpihan.

Untung suatu hari ada kejadian yang bisa bikin gue lumayan bahagia. Waktu itu kita habis nonton rame-rame ama teman-teman sekolah. Nah habis beres nonton, teman-teman yang lain langsung pada pulang ke rumah masing-masing. Tersisalah kita berdua. Awalnya gue mau ajak doi makan, tapi malu. Akhirnya kita berdua jalan ke parkiran. Belum sampai keluar, tiba-tiba doi nyeletuk:
"Laper ga? Makan yuk. Ada ide makan apa?"

Degg. Jantung gue berhenti. Wanjer! Boleh ini gue anggap kencan?

Masih dengan usaha bersikap normal, gue menyarankan sebuah tempat makan yang ada di lantai paling atas mall. Doi setuju, dan gue girang setengah mati.

Singkat cerita kita makan bareng berdua. Cuma gue dan doi, indah sekali. Kita duduk berhadapan, dan gue lagi-lagi salting. Anjir, ini hati emang bener-bener gabisa diajak kompromi. Bisa ga sih tenang dikit? Kalo diukur tekanan darah gue pasti naik drastis, bunyinya keras banget, cepat pula. Damn.

Sepanjang sesi makan, doi cerita banyak hal. Mulai dari beberapa urusan keluarga, cerita tentang temennya yang absurd, cerita tentang sinyal hape yang makin hari makin buruk, macem-macem pokoknya. Gue, sebagai seseorang dengan sifat "pendengar yang baik", langsung bahagia tak terkira diceritain macem-macem kayak gini. Tapi karena gue bukan pencerita yang baik, gue nyaris ga ngomong apa-apa. Cuma pasang senyum simpul, sembari memandang indahnya kedua bola matanya dengan lekat dan menikmati setiap kata terurai dari bibirnya yang mungil. Disitu gue berharap makanan gue ga pernah habis, biar kami bisa ngobrol kayak gini terus.

Tapi sesuatu yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Dan makanan kami pun habis. Aku berusaha memperpanjang sesi ini dengan cara memesan minuman tambahan, namun itu tetap tidak bertahan lama. Akupun menyerah, pasrah.

Dalam perjalanan menuju parkiran lagi, kita tak sengaja lewat sebuah warung kopi. Doi, yang mana adalah penggila kopi kelas akut, refleks tertarik. Gue ngeliat ini sebagai kesempatan lagi, dan langsung berusaha menghasut doi untuk beli, dan berhasil! Berhasil! Perpanjangan waktu!! Kitapun akhirnya duduk berdua lagi diwarung kopi tersebut.

"Terkadang lawan bicara kita tidak tau bahwa dirinya tengah dicintai", tiba-tiba gue teringat quote dari sebuah cerita yang pernah gue baca. Ya, terkadang lawan bicara kita gak sadar kalau dia sedang dicintai, memercikkan sedikit kebahagiaan kepada lawan bicaranya yang mendengarkan ceritanya yang menggebu-gebu. Tak apalah dia tak sadar, asal kita sama-sama bahagia.

Kenapa gue ga nembak doi saat itu? Entah, gue juga bingung. Padahal mungkin saat itu Tuhan ngasih gue kesempatan besar, sehari seumur hidup, buat mengetahui apakah doi merasakan perasaan yang sama dengan apa yang gue rasakan. Hari itu berakhir dengan kita tak menyinggung sedikitpun tentang perasaan masing-masing. Mungkin ini yang terbaik.

Tapi gue salah. Hari-hari penderitaan gue masih terus berlanjut.

Setelah kejadian itu, gue bener-bener gabisa bersikap normal didepan dia. Blas. Tiap ketemu dia disekolah, jantung gue deg-degan parah. Gue langsung memalingkan muka karena gatau mesti bersikap kayak gimana. Setiap ada obrolan yang membahas doi, gue juga pura-pura ga denger. Sekali lagi karena gue gatau mesti bersikap kayak gimana. Sejak saat itu dunia sekolah adalah dunia menyebalkan! Sangat menyebalkan!

Tapi gue masih pengen berinteraksi ama doi! Entah bagaimana caranya!

Cara terbaik yang gue pikirin saat itu adalah melewati perantara gelombang sinyal. Dan jadilah kami menciptakan dunia sendiri, dunia yang berada dibalik potongan kaca tipis berukuran 3,5 sampai 4 inci, dimana kami, atau setidaknya gue, bisa bersikap normal lagi. Dunia yang hanya tercipta di beberapa malam tertentu. Dunia chat.

Tapi pada dasarnya manusia memang serakah, selalu merasa kurang. Inilah penyiksaan kelima, langsung dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Gue pengen jalan berdua lagi ama doi! Cuma berdua, ga pake tambahan cameo cameo gajelas.

Dicoba mengajak doi di weekend pertama, digagalkan karena doi jalan-jalan keluar kota.
Dicoba mengajak doi di weekend kedua, digagalkan karena orang tua doi ngajak jalan-jalan.
Dicoba ngajak doi di weekend ketiga, doi ngajak orang lain sebagai tambahan.
Aaargh, don't you realize? I'm looking for a moment with you alone!

Tiba-tiba gue teringat penggalan pepatah lain yang bunyinya:
"Anything that happen once, won't happen twice"
There's no second date for us

Dan sejak sekitar 2 bulan yang lalu, sikap doi mulai jadi makin dingin. Kali ini dia yang mulai nganggap gue gak ada. Akhirnya dunia sekolah beneran jadi dunia lain. Gue gaada disana buat dia, dia ga ada disana buat gue. Yang tersisa buat gue hanyalah dunia dalam layar kaca itu.

Lebih parahnya lagi, hari ini adalah akhir pekan sekaligus hari ulang tahun doi. Gue pengen ngajak doi jalan, tapi gue tahu bahwa gue udah kalah. Doi lebih memilih pergi jalan bareng orangtuanya. Mungkin dengan ditemani beberapa temannya, yang gue gak termasuk dalam daftar pesertanya. Gue hanya bisa menunggu malam tiba, sebagai pertanda mulainya permainan kata diantara kami berdua.


Setelah pengamatan selama berbulan-bulan yang melelahkan, gue memberanikan diri menarik kesimpulan.

Gue tau yang gue mau.
Gue tau dia kuat.
Gue tau dia periang.
Gue tau dia baik.
Gue tau dia cerdas.
Gue tau itu dia!


Tiba-tiba lagi gue teringat sebuah lagu berjudul Intuisi Cinta:
Ku masih punya waktu untuk mengatakannya.
Ku tak mau buru-buru, biarkan apa adanya.
Ku yakin engkau tahu apa yang kurasakan.
Bersabarlah menunggu, semua akan terasa indah.
Karena hanya kita yang tahu waktu untuk bersama.

Gue yakin sedikit banyak doi sadar kalau gue ada menyimpan rasa. Dan gue akan bersabar menunggu, menunggu saat dimana gue tak sabar lagi menunggu buat ngungkapin semuanya.

Sampai saat itu tiba, gue percaya kita masih punya waktu, dan juga harapan.


--------------------------------------

FINALLY, part 3 sekaligus part final dari kisah Realize
-edit- malah bikin lanjutan disini OTL

Pada awalnya cuma niat bikin satu part. Tapi setelah di-brainstorm ama kak Wulan, 3 orang itu jadi menari-nari di pikiran gue. Minta untuk dibuatkan 'tubuh', agar mereka bisa menikmati dunia. Dan agar dunia bisa menikmati mereka.

Kali ini secara gamblang gue jelasin kalo disini tokohnya cowok, gak abu-abu kayak cerita-cerita gue lainnya. Dan disini gue mendapati menulis isi pikiran cowok jauh lebih gampang daripada menulis isi pikiran cewek.

Tiga cerita ini 'harusnya' nyambung satu sama lain, walaupun kadang cuma ada irisan tipiiiiiiis diantara mereka. Tapi sebenernya mereka ada dalam satu alur yang sama. Semoga gak miss, karena 2 cerita terakhir dikerjakan dengan agak tergesa-gesa.

Terimakasih kepada kak Naya Prastatama yang namanya gue pinjam buat cerita pertama. Peace, Nay :D
Terimakasih juga buat Dio Brando, yang namanya juga gue pinjam buat cerita kedua. Tetap manly, bro.
Dan yang ketiga, terimakasih kepada Kak Wulan, yang namanya juga dipinjam, dan atas ide yang membuat ketiga cerita ini akhirnya terwujud.

As usual, here I lay my pen down.


Yogyakarta, 28 Juni 2015
"To mend my messy and broken head"

Baca Selengkapnya....

Re;alize

This is part 2 of the stories. You can find part one here and part three here.


"Hoooi, Kak Dio. Kita satu sekolah lagi, nih" seruku sambil tersenyum.
"Walah. Kamu ngikutin aku ya makanya milih sekolah disini?" balasnya setengah bercanda
Aku tertawa.

Kak Dio adalah seniorku sedari SMP. Kalau dideskripsikan secara singkat, orangnya aneh. Jalan pikirannya kadang tidak bisa ditebak. Alhasil, dia sering senyum-senyum sendiri pada saat melihat sesuatu. Membuat teman-temannya bertanya-tanya tentang apa yang sedang dia pikirkan.

Karena itulah aku jadi penasaran dengan hidup seperti apa yang dilaluinya. Aku berusaha memperhatikan gerak-geriknya dari jauh, menghapal setiap kebiasaannya. Tanpa sadar dia seperti hadir di setiap hidupku. Di rumah, di sekolah, bahkan saat aku jalan-jalan bersama keluargaku, aku sering membayangkan apa yang akan dia lakukan kalau dia berada disini bersamaku.

Suatu siang sepulang sekolah, aku dan temanku sedang berjalan menuju parkiran. Kebetulan, dia juga sedang ada disana.

"Yo, Nay! Mau pulang?"
"Ya iyalah. Masa mau salto", balasku setengah cuek.
"Haha. Eh mau makan dulu, gak? Ajak temanmu itu sekalian, gih"

Orangtuaku selalu bilang untuk tidak menolak rejeki yang datang. Ajakannya ini bagaikan durian runtuh bagiku. Tentu saja aku tidak menolak.

Sejak pertemuan yang tidak disengaja saat itu kami bertiga jadi semakin sering bersama. Entah sekedar untuk menghabiskan waktu siang atau menikmati akhir pekan bersama. Aku juga berusaha menghafal jadwal pulang sekolahnya, mencoba mengatur sebuah 'pertemuan tak sengaja' lainnya.

Akhirnya suatu hari kuberanikan diri untuk melakukannya. Aku berdiri di balik gedung sekolah, sesekali mengintip kearah parkiran. Belum ada orang. Kuluruskan rokku, merapikan seragam dan rambutku, dan akhirnya kudengar bunyi langkah yang kukenal. Dia datang.

Kutarik nafas dalam, berharap semua emosiku tak melesak keluar, dan berjalan dengan normal menuju parkiran.

"Yo, Nay! Ketemu lagi. Mau pulang?"
Aku sudah menunggunya mengatakan hal itu.
"Ah, kak. Aku mau ke bioskop. Mau ikut?" Aah suaraku pasti bergetar karena gugup. Semoga dia tak sadar.
"Hmm. Ayok, lah."

Seketika dunia serasa indah. Perutku serasa dipenuhi taman bunga, lengkap dengan kupu-kupunya. Kalau aku punya ekor seperti anjing, pasti ekorku sudah berkibas kesana kemari dengan sangat cepat. Aku berhasil mengajaknya.

Di ruang bioskop yang gelap, kami duduk bersebelahan. Sesekali dia mengeluarkan ponselnya, lalu senyum tipis menghiasi bibirnya. Sesekali kucoba menilik ponselnya yang berpendar ditengah kegelapan, mencari tahu siapa lawan bicaranya. Lawan bicara yang membuat dia mengabaikan prinsipnya untuk tidak membuka ponsel saat menonton film.

Tapi setelah film berakhir pun, aku tetap tidak tahu. Aku juga tak punya keberanian lagi untuk bertanya. Dan begitulah malam kami berakhir.

Hari-hari selanjutnya kulalui dengan biasa. Sampai suatu hari tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku.
"Ntar malem nganggur, gak? Keluar, yuk. Lagi bete nih"
Tak pakai pikir panjang aku langsung setuju.

Malam itu dia menjemputku di rumah. Tak kuduga dia datang sendirian. Dan akhirnya kami berboncengan pergi ke sebuah tempat nongkrong.

Sesampainya di tempat yang dituju, kami memesan tempat duduk untuk dua orang. Aku dan dia, duduk berhadapan, sambil mendengarkan keluh kesahnya karena kalah di perlombaan tadi siang.

Setelah dia puas mengeluarkan semua kekesalannya, kami pun terdiam membisu. Dia mulai asyik lagi dengan ponselnya. Hening. Hanya menyisakan lilin di tengah meja kami, bergoyang perlahan. Membuat bayangan-bayangan kami seakan bergerak.

"Mungkin ini saatnya", pikirku. Kucoba meberanikan diri.
"Kak...", ucapku perlahan.
Dia hanya memandangku tanpa menjawab. 

Pada akhirnya aku tidak bisa mengatakannya. Bukan karena aku tak sanggup mengatakannya, tetapi karena caranya memandangku. Pandangan matanya saat itu seakan memberitahuku sesuatu dengan sangat kuat. "Jangan katakan!", mungkin begitu.

Pada perjalanan pulang, aku hanya bisa tertunduk di kursi belakang. Tanpa sadar aku menarik ujung jaketnya, dan terisak pelan. Sambil memikirkan reaksi penolakannya saat itu yang mungkin hanya imajinasiku.

Maafkan aku. Aku tahu ini semua bukan salahmu. Kenapa kita bertemu? Kenapa kau begitu baik kepadaku? Kenapa kau mengajakku? Kenapa aku menyukaimu? Kenapa... Kenapa?
Kurasakan air mata mengalir di pipiku.

"Naya! Ada apa?"
Saat itu kami sudah sampai di depan rumahku. Aku turun dari motor dengan kepala tertunduk, berusaha menyembunyikan air mataku. Aku dapat mendengarnya masih memanggil namaku, namun aku tak peduli. Kak Dio, kumohon padamu...

Kumohon jangan terlalu baik lagi kepadaku.

Seketika itu pula awan mendung yang menutupi bulan mulai terurai, menampilkan bulan sabit berwarna agak jingga dan berbentuk seperti senyuman. Aku langsung masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa.

Kak Dio sangat baik. Tak jarang kami pergi bersama. Walau begitu dia selalu melihat sesuatu di kejauhan, bukan aku. Aku paham dengan sangat jelas bahwa kami tak mungkin bisa bersama.

Dengan hanya dia di pikiranku, malam itu aku menangis hingga terlelap.

--------------------------------------

Part 2 dari cerita sebelumnya. Yaay

Kali ini dari sudut pandang si Naya, and I decided our main hero name is Dio. Gampang dihapal dan terdengar keren.

Pas dapet konsep pikiran Naya, langsung kebayang part 2 dari 5cm per second nya  Makoto Shinkai. Dan akhirnya ambil banyak referensi disana.

Semoga kali ini ga terasa 'jumpy'.

Now, I lay my pen down.


Yogyakarta, 27 Juni 2015
"To ease Naya's mind"

Baca Selengkapnya....

Jumat, 26 Juni 2015

Realize

This is part one of the stories. You can find part two here.

Sudah lebih setengah tahun sejak aku pertama kali bersekolah disini. Seperti halnya sewaktu aku masih di bangku SMP, aku juga menikmati saat-saat di sekolah. Apalagi saat dimana aku bisa bertemu teman-teman baru. Sangat mengasyikkan.

Satu hal lain yang tak kalah menarik adalah senior. Ada seorang senior yang entah kenapa 'menggelitik' hasrat ingin tahuku. Tingkah lakunya yang agak aneh dan berbeda, namun membawa keceriaan bagi orang disekelilingnya membuatku semakin penasaran. Membuatku semakin ingin mengenalnya lebih jauh.

Beruntung salah seorang teman baruku, Naya, bersekolah di SMP yang sama dengannya. Berkat Naya akhirnya kami bisa bercakap-cakap, bertukar nomer telepon, sampai nongkrong menghabiskan waktu akhir pekan bersama. Kami bertiga pun semakin dekat, dan aku semakin ingin tahu.

Setelah sedikit berusaha menggali informasi, akupun akhirnya tahu bahwa dia adalah anggota klub debat bahasa inggris sekolah kami. Kebetulan bahasa inggrisku lumayan bagus, dan aku memang sudah berencana masuk klub itu. Takdir?

Sebulan setelah aku bergabung dengan klub debat, ketua tiba-tiba memberitahukan bahwa akan membentuk klub pidato. Beberapa anggota klub debat akan dipindahkan ke klub pidato, termasuk aku. Yang menjadi masalah adalah dia tidak ikut pindah. Dia tetap tinggal di klub debat.

Sejak saat itu dunia kami serasa berubah. Kami hampir tak pernah lagi bertegur sapa saat bertemu di sekolah. Setiap kami berpapasan, dia seakan menganggapku tak terlihat. Dia menjadi diam kepadaku. Dingin. Mungkinkah dia marah karena aku terpilih menjadi anggota klub pidato sedangkan dia tidak?

Ah, kalau kuingat-ingat, saat itupun dia tidak mengucapkan selamat kepadaku ataupun anggota yang lain.

Untungnya aku masih punya nomer teleponnya, jadi kami masih bisa saling bertukar pesan.

Sifatnya saat di sekolah dan saat bertukar pesan sangat berbeda. Saking jauhnya perbedaan itu aku sampai berfikir yang ada di ujung sana adalah orang lain. Imajinasi terliarku sempat berfikir bahwa dia punya kepribadian lain. Tapi aku suka itu, dan membuatku selalu menunggu malam tiba sebagai aba-aba untuk mulai memasuki dunia kami.

Malam itu akhir pekan, dan Naya menginap di tempatku. Malam itu pula dia memberitahu sesuatu kepadaku. Memberitahuku bahwa dia menaruh rasa kepada senior itu. Senior yang sedang berada di ujung lain dari sekumpulan pesan di ponselku.

Jantungku berhenti sesaat. Aku merasa dia melewatkan satu detakan.

Menanggapi cerita Naya, akupun menyemangatinya. Mengatakan kepadanya bahwa aku akan berusaha semampuku untuk membantunya. Malam itu untuk pertama kalinya aku melihatnya sebahagia itu.

Di hari senin, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Sekarang saat berpapasan aku pun ikut membuang muka. Saat makan siang di kantin pun aku tak lagi berusaha mencarinya. Selama jam pelajaran pikiranku kacau.
Saat malam tiba, pikiranku menjadi semakin kacau seiring pesan-pesannya yang berdatangan. Aku takut mengakuinya.

Hey, kau yang disana. Sadarkah kau?
Aku menyukai setiap sesi malam kita. Membuatku selalu menantinya dengan perasaan agak tak sabaran.
Aku merindukan saat kita bisa nongkrong bareng, yang mana aku sudah lupa kapan terakhir kalinya.
Aku selalu menambahkan sebuah doa sebelum aku tidur. Doa agar kau muncul di mimpiku. Dunia dimana kita bisa bertemu dan bertingkah normal.
Sadarkah kau akan semua perasaanku?


Rumah, 15 Februari 2015
----------------------------------


Jumpa lagi di sesi ini. Inilah perwujudan konsep ketiga dari delapan konsep yang tersedia. Semoga ga terlalu 'vague' >_<.

I really enjoy when I wrote the plot. And as usual, I lost in thought when I try to realize those plot. Again, I feel the quality drops below expected one.

I also have reasons why keep 'Realize' as its title. Since the title itself really represent what I have in mind, that cannot be represented by other word.

I bought Dee's Rectoverso recently, and I think it drives me to write this kind of story. And FYI, I wrote this while listening to Aku Ada; Rectoverso's soundtrack.

I hope you guys enjoy and also find this story 'sweet', like I do.

Also thanks for Kak Wulan. Sarannya asyik :D

Again, I lay my pen down.


Yogyakarta June 25th, 2015
"To chase all the ghost from your head"

Baca Selengkapnya....

Rabu, 24 Juni 2015

Knowing Yourself - ISFJ (Introvert Sensing Feeling Judging)

"Love only grows by sharing. You can only have more for yourself by giving it away to others" - Brian Tracy

Here it comes, tulisan kedua dari delapan konsep yang tersedia.

Jadi semua bermula setelah 'beberapa' orang pamer ke-INTJ dan ke-ENTJ-an nya, dan akhirnya gue penasaran. "Gue ini siapa, sih?". Akhirnya, berujung ngambil test personality disini.

15 menit kemudian, setelah menjawab semua pertanyaannya.

SHOCKED! Hasilnya introvert, sensing, feeling, judging (ISFJ) .
Introvert, wajar. Sensing, lumayan wajar. Judging, juga wajar. Yang jadi masalah bagian feeling ini. Gue, self-proclaimed 'mati rasa', ternyata punya F, bukan T (thinking). This is the most shocking truth of the month!!



Oke, lepas dari fakta mengejutkan diatas, mari kita bahas hasil test nya aja. Gue bakal ngasih komentar disetiap paragraph dari hasil testnya.

Beware, wall of text, tl;dr.

The ISFJ personality type is quite unique, as many of their qualities defy the definition of their individual traits. Though possessing the Feeling (F) trait, ISFJs have excellent analytical abilities; though Introverted (I), they have well-developed people skills and robust social relationships; and though they are a Judging (J) type, ISFJs are often receptive to change and new ideas. As with so many things, people with the ISFJ personality type are more than the sum of their parts, and it is the way they use these strengths that defines who they are.

Hmm, okay. Disini dijelaskan bahwa walaupun punya sifat Feeling, tapi tetap punya kemampuan analisis yang bagus. Oke, terjawab sudah kenapa bukan T.
Berikutnya dijelaskan bahwa walau introvert tapi punya, ummm, hubungan dan kemampuan sosial yang bagus. *lirik friendlist yang minim*


ISFJs are true altruists, meeting kindness with kindness-in-excess and engaging the work and people they believe in with enthusiasm and generosity.
Altruist, alias selflessness, alias ga peduli diri sendiri, so truue. Seperti quote terkenal:
'Non ignara mali, miseris succurrere disco.' -- Virgil's Aeneid, Book I, line 630
Roughly translated "No stranger to misfortune myself, I have learned to relieve the sufferings of others". Kalo diterjemahkan ke Bahasa, agak susah. kira-kira "Karena aku sudah terbiasa dengan kesialan yang sering menimpaku, aku jadi belajar untuk meringankan penderitaan orang lain". Entah kenapa menolong orang terasa lebih menyenangkan dan menenangkan.

Jadi inget kejadian di wisudaan seseorang, sebut saja sobat D. Waktu itu ceritanya gue masih mahasiswa tingkat akhir yang ogah-ogahan ngerjain Tugas akhir, jadinya belum lulus. Waktu itu baru pada keluar dari ruangan wisuda, yang mana pas tengah hari terik. Sobat D pas wisudaan pake wedges, dong. Karena gabisa jalan lancar, akhirnya lepas wedges. Karena jalannya panas, akhirnya ngembat sendal orang. Karna orang yang bersangkutan tidak mungkin jalan pake wedges dengan ukuran segitu, jadilah dia berjalan telanjang kaki di jalanan yang panas.


There's hardly a better type to make up such a large proportion of the population, nearly 13%. Combining the best of tradition and the desire to do good, ISFJs are found in lines of work with a sense of history behind them, such as medicine, academics and charitable social work.
And here I am, as a programmer (at the moment)


ISFJ personalities (especially Turbulent ones) are often meticulous to the point of perfectionism, and though they procrastinate, they can always be relied on to get the job done on time. ISFJs take their responsibilities personally, consistently going above and beyond, doing everything they can to exceed expectations and delight others, at work and at home.
Cermat sampai-sampai bisa dibilang perfeksionis, kadang-kadang. Biasanya sebelum commit code ke repository diteliti satu-persatu. Kali aja salah merge, dan kadang tetap salah merge OTL
Suka menunda pekerjaan, pastinyaa *bangga*.
Membahagiakan orang lain, bukankah itu tujuan kita terlahir di dunia?



We Must Be Seen to Be Believed



The challenge for ISFJs is ensuring that what they do is noticed. They have a tendency to underplay their accomplishments, and while their kindness is often respected, more cynical and selfish people are likely to take advantage of ISFJs' dedication and humbleness by pushing work onto them and then taking the credit. ISFJs need to know when to say no and stand up for themselves if they are to maintain their confidence and enthusiasm.
Cenderung menganggap remeh pencapaian mereka. Hmm, dalam hal ini mungkin kaum ISFJ ini bisa melakukan X, tapi karena malu-malu dan kurang pede mereka bilang gabisa. Semacam ini pula yang terjadi pas competency review. Ga mau klaim gara-gara merasa kurang pantas.


Naturally social, an odd quality for Introverts, ISFJs utilize excellent memories not to retain data and trivia, but to remember people, and details about their lives. When it comes to gift-giving, ISFJs have no equal, using their imagination and natural sensitivity to express their generosity in ways that touch the hearts of their recipients. While this is certainly true of their coworkers, whom people with the ISFJ personality type often consider their personal friends, it is in family that their expressions of affection fully bloom.
Ingatan yang bagus. HAAAH?! Sebagai seorang pelupa, gue merasa tersinggung. Ato sebenarnya ingatan gue emang bagus, tapi cuma hal-hal yang gue anggap penting doang.



If I Can Protect You, I Will



ISFJ personalities are a wonderful group, rarely sitting idle while a worthy cause remains unfinished. ISFJs' ability to connect with others on an intimate level is unrivaled among Introverts, and the joy they experience in using those connections to maintain a supportive, happy family is a gift for everyone involved. They may never be truly comfortable in the spotlight, and may feel guilty taking due credit for team efforts, but if they can ensure that their efforts are recognized, ISFJs are likely to feel a level of satisfaction in what they do that many other personality types can only dream of.
Ga bisa tinggal diam kalo ada yang belum beres. Ngapain diam kalo ada yg bisa dikerjain, kecuali kalo gaada (kayak sekarang. hehehe).
Walau cuma dikalangan introvert, tapi skill kedekatannya jagoan.


ISFJ Strengths



Supportive – ISFJs are the universal helpers, sharing their knowledge, experience, time and energy with anyone who needs it, and all the more so with friends and family. People with this personality type strive for win-win situations, choosing empathy over judgment whenever possible.

Reliable and Patient – Rather than offering sporadic, excited rushes that leave things half finished, ISFJs are meticulous and careful, taking a steady approach and bending with the needs of the situation just enough to accomplish their end goals. ISFJs not only ensure that things are done to the highest standard, but often go well beyond what is required.

Imaginative and Observant – ISFJs are very imaginative, and use this quality as an accessory to empathy, observing others' emotional states and seeing things from their perspective. With their feet firmly planted on the ground, it is a very practical imagination, though they do find things quite fascinating and inspiring.
Imajinatif, mengamati kondisi emosional orang lain, berusaha melihat sesuatu dari perspektif orang lain. Karena ini, jadilah beberapa tulisan aneh. Contohnya Racun kemaren, sama cerita aneh lainnya. Walaupun kayaknya untuk bagian mengamati kondisi emosional orang lain agak kurang tepat. Atau mungkin otak ini pura-pura tidak tahu, secara disadari maupun tak disadari.

Enthusiastic – When the goal is right, ISFJs take all this support, reliability and imagination and apply it to something they believe will make a difference in people's lives – whether fighting poverty with a global initiative or simply making a customer's day.

Loyal and Hard-Working – Given a little time, this enthusiasm grows into loyalty – ISFJ personalities often form an emotional attachment to the ideas and organizations they've dedicated themselves to. Anything short of meeting their obligations with good, hard work fails their own expectations.
Semangat akan berubah menjadi kesetiaan. Jangan lupa ada Introvert dari ISFJ. Kalau mereka tidak 'digandeng' diawal, maka Semangat pun akan susah datang *curhat*.

Good Practical Skills – The best part is, ISFJs have the practical sense to actually do something with all this altruism. If mundane, routine tasks are what need to be done, ISFJs can see the beauty and harmony that they create, because they know that it helps them to care for their friends, family, and anyone else who needs it.
All hail left brain. Nuff said.


ISFJ Weakness



Humble and Shy – The meek shall inherit the earth, but it's a long road if they receive no recognition at all. This is possibly ISFJs' biggest challenge, as they are so concerned with others' feelings that they refuse to make their thoughts known, or to take any duly earned credit for their contributions. ISFJs' standards for themselves are also so high that, knowing they could have done some minor aspect of a task better, they often downplay their successes entirely.
All hail introvertness. Nuff said.

Take Things Too Personally – ISFJs have trouble separating personal and impersonal situations – any situation is still an interaction between two people, after all – and any negativity from conflict or criticism can carry over from their professional to their personal lives, and back again.
Aand this is a serious problem for me.

Repress Their Feelings – People with the ISFJ personality type are private and very sensitive, internalizing their feelings a great deal. Much in the way that ISFJs protect others' feelings, they must protect their own, and this lack of healthy emotional expression can lead to a lot of stress and frustration.
If I tell you my stories, it means I trust you with it.

Overload Themselves – Their strong senses of duty and perfectionism combine with this aversion to emotional conflict to create a situation where it is far too easy for ISFJs to overload themselves – or to be overloaded by others – as they struggle silently to meet everyone's expectations, especially their own.
Untungnya gaada belum ada yang begini

Reluctant to Change – These challenges can be particularly hard to address since ISFJ personalities value traditions and history highly in their decisions. A situation sometimes needs to reach a breaking point before ISFJs are persuaded by circumstance, or the strong personality of a loved one, to alter course.
Hasil test ini adalah salah satu contoh breaking point, tadinya berpikir kalau 'mati rasa', ternyata gue melankolis. Ahay

Too Altruistic – This is all compounded and reinforced by ISFJs' otherwise wonderful quality of altruism. Being such warm, good-natured people, ISFJs are willing to let things slide, to believe that things will get better soon, to not burden others by accepting their offers of help, while their troubles mount unassisted.
So, this is a weakness -_-


ISFJ Relationship



Wahai darah muda yang bergelora, nikmatilah!!

When it comes to romantic relationships, ISFJs' kindness grows into a joy that is only found in taking care of their family and home, in being there for emotional and practical support whenever it's needed. Home is where the heart is for people with the ISFJ personality type, and in no other area of their lives do they strive with such dedication to create the harmony and beauty they wish to see in the world.

The trouble is, these are the benefits of an established long-term relationship, and ISFJs' unbearable shyness means it can take a long time to reach this point. ISFJs are most attractive when they are simply being themselves in a comfortable environment such as work, where their natural flow shows this kindness and dedication. Relationships built on established familiarity are a warm prospect for ISFJs – they take dating seriously and only enter into relationships that have a real chance of lasting a lifetime.
Kalo kata kak Trio mah "Lu pernah kepikiran 'Dia ibu yang baik buat anak-anak gue' ga ke doi?"

ISFJs' shyness and sensitivity shield what are, beneath the surface, incredibly strong feelings. While not always obvious to others, this river of emotion can't be taken lightly or for granted – ISFJ personalities can value the idea of committed romance almost as highly as some regard religious beliefs. Hard as it may be, if either dating partner doubts their feelings, they must part ways before real emotional damage is done.

As their relationships do progress, ISFJs often continue to struggle with emotional expression, but they have the opportunity to let physical affection stand in for their loving words. People with this personality type take no greater joy than in pleasing others, often even considering this a personal duty, and this applies to intimacy as well. While dutiful sex may not sound especially attractive in those specific terms, intimacy is tremendously important to ISFJs, and they spare no effort in this department.

Nor is the pleasure they take in ensuring their partners' happiness limited to the bedroom – ISFJs spend an enormous amount of time and energy finding ways to keep their relationship satisfying for their partners. All they ask in return is commitment, love and, perhaps most of all, appreciation.

However, not everyone is prepared to pay even that small price for the benefit of ISFJs' kindness. If their partners aren't willing or able to express this thanks, or worse still are openly critical of their ISFJ partners, they will find that, given time and pressure, all of those repressed emotions can burst forth in massive verbal attacks that all the future regret in the world won't blunt.

These outbursts are something to watch out for, but the more pervasive issue in ISFJs' relationships is that it can be too easy for their altruism and kindness to be taken advantage of, maybe even without their partners realizing it, while leaving ISFJs' own needs and dreams unfulfilled. This is something that ISFJs' partners, and ISFJ personalities themselves, must look after if they want the sort of long, fulfilling relationships they dream about. Expressing appreciation is often more than just the right words, it is reciprocation.
Long story short, its important for your partner to know that you're an ISFJ. For the sake of healthy relationship.

If these couples can manage this balance of mutual appreciation and goal-setting, they will come to find that the best ISFJ qualities emerge later in the relationship, as they work towards establishing families and homes together.

While perfectly capable in the workplace and among friends, ISFJs' true passions lie in taking care of their families, from playing with their children to the mundane needs of the household, efforts ISFJs are only too happy to contribute.

ISFJs are trustworthy, loyal, loving and faithful and nothing brings them more joy than the commitment of an appreciative and thriving relationship. The best matches are those who share these sensibilities, namely those who share the Observant (S) trait, with one or two opposing traits to ensure that both partners have room to grow, develop and help each other along, 'til the end of their days.

ISFJ FRIENDS



Given how generous ISFJs are with their warm praise and support, it's not surprising that others enjoy their company enough to call them friends. The challenge is to be considered a friend back – people with the ISFJ personality type are shy and a little protective of themselves, but they also need to be able to connect on a deeper emotional level. It makes sense then that most of ISFJs' friends are made not by random encounters on a wild night out, but through comfortable and consistent contact, as in class or in the workplace where they have the time to get to know each other little by little.
This is why I often shut myself. This is why I have my "6 month" rule

A lot of what establishes and deepens ISFJs' friendships is the mutual support, advice and reassurance that the friends give each other.

ISFJs need a lot of positive feedback, and admitting this need certainly shows vulnerability, but if that vulnerability is well handled, it creates the deep bonds that ISFJ personalities look for. If badly handled or not reciprocated, it's hard to see the burgeoning friendship surviving without quite a bit of extra effort.

Yet, as their friendships develop, ISFJs' sense of loyalty may push them to lean ever more on themselves to meet their friends' needs, to the point of neglecting their own. ISFJs show this in a few ways, from going clearly out of their ways to stick to even trivial commitments, to simply not wanting to disagree or say no for fear of causing turbulence. More cynical types would call this naïve, and may even take advantage of ISFJs' altruism – but these are hardly the type of people who could be called “friends”, and they have no business being discussed here.
Again, selflessness

The real friends, those close inner circles, are the ones ISFJs truly cherish for their quality of character and quality of discussion. Strangely for an Observant (S) type, ISFJs almost always have an Intuitive (N) friend among them, despite the implicit communication barriers. It's really not that odd though – these close friends are who ISFJs discuss deeper, more important matters with, and the quality of thought that Intuitives bring with them gives ISFJs' an impression of limitless depth, mystery and wisdom.
Yep, my deep inner circle mostly consist of someone who I usually discuss something with. From some random question, stupidity, to some serious and sensitive topic.
When I start chat you a lot, it means I try to make some bond.
Tahapan pertama biasanya adalah sesi random question, karena ini salah satu topik paling ringan yang pernah tercipta. Bakal ada beberapa random question yang kau terima.
Sekali, dua kali, tiga kali.
Kalo udah kayak lolos, I'll report my daily activities to you. So far as I remember, only one (or two) person achieved this stage. I hope there is any other person achieve this stage soon.

People with the ISFJ personality type aren't particularly picky about what personality types they make friends with, at least not initially, but because they prefer so strongly to avoid conflict and miscommunication, most of their friends end up being fairly similar types – fellow Introverted and Extraverted Feeling Sentinels (ISFJ and ESFJ). Thinking types are simply too critical, and Prospecting types too unreliable to really be able to provide, and receive, the kind of support and affinity ISFJs look for.
Maybe most of my friends consist of ISFJ or ESFJ. I don't know the exact who, since most of them don't know their own type. But some others consist of INTJ, ENTJ and ISNJ. Intinya, ga menutup kemungkinan, asalkan cocok.

CONCLUSION

Few personality types are as practical and dedicated as ISFJs. Known for their reliability and altruism, ISFJs are good at creating and maintaining a secure and stable environment for themselves and their loved ones. ISFJs' dedication is invaluable in many areas, including their own personal growth.

Yet ISFJs can be easily tripped up in areas where their kindness and practical approach are more of a liability than an asset. Whether it is finding (or keeping) a partner, learning to relax or improvise, reaching dazzling heights on the career ladder, or managing their workload, ISFJs need to put in a conscious effort to develop their weaker traits and additional skills.


Bagian berikutnya adalah Parenting, Career, and Workplace Habit. Karena ga terlalu signifikan buat ditulis disini, makanya gak gue masukin.
But if you still want to know, please reffer to this page.


So, setelah membaca penjelasan dari page diatas, berikut kesimpulan yang gue tarik:
1. Gue ISFJ-T, ISFJ dengan Turbulent (Perfectionist, Success-driven, Self conscious, care about their image)
2. We achieve our happiness by being useful to others. Membahagiakanmu adalah kebahagiaan terbesarku :)
3. Oleh karena poin 2, maka membuatmu kecewa adalah penderitaan terbesarku
4. Dilanjutkan lagi, hal ini juga membuat kami tidak suka menyusahkan orang lain. Walaupun sebenarnya kalian tidak merasa direpotkan, tapi selama kami tidak tahu akan hal itu, kami tetap berpikir bahwa kami merepotkan. So, We tend to do thing by ourself.

I think ISFJ is like a curse. Wear it like an armor, so it won't hurt you. Wear it like an armor, so it will protect you.

For you guys out there, I think its better for you who haven't known your personality type to take it.
Take it, know it, and have fun with it. Cheers


----------------------------------------------


Hmm sebenarnya sesi ini ga perlu, sih. Cuma pengen nambahin curcol cerita aja.

Duluuu, waktu jaman kuliah, pernah dapat jadwal penerbangan pulkam subuh.
Otomatis, tengah malam mesti ke Cipaganti, buat diangkut ke Bandara Soekarno-Hatta.
Nah, waktu itu males banget pesan taksi, dan males juga ngerepotin teman.
Akhirnya, gue jalan kaki sambil bawa tas jinjing (sampe sekarang belom punya koper yang ada rodanya), jalan kaki tengah malam sampai pool Cipaganti (2-3KM, maybe).
Self defense tool, bawa pulpen. Dengan harapan kalo ada yang macem2 di jalan, tinggal tusuk pake pulpen. 
Padahal loh yah, tinggal minta tolong anterin bentar, bakal lebih cepat dan aman.
(Waktu itu belum kenal bang Royco, yang bisa dimintain tolong :D)


And for present day, this problem still occur. For dinner party (party as in group, not party as in gathering for excitement),
I, who only have bicycle, often refuse offer just because the person's (with empty slot on their motorcycle) house is in different direction and far from the office. Simply because I dont want to bother them. So as long as they don't offer me a ride, I won't ask them. And often ended with I eat at my room.

You can call me stupid because I want you to understand me, but this is who we are, fellow ISFJ.

And, remember. Although we are Introvert, we love going out somewhere with our inner circle #Kode.


As usual, here I lay my pen down.

Baca Selengkapnya....

Senin, 22 Juni 2015

Racun

Semenjak kecil, orang tuaku terbiasa mencampurkan racun pada setiap makanan maupun minumanku. "Ini semua demi kebaikanmu", ujar mereka. Saat itu aku tidak mengerti apa maksud dan tujuan mereka. Dengan patuh kujalani perintah mereka, walau sedikit sakit.

Kalian mungkin bertanya-tanya mengapa aku masih hidup walau terus menerus mengonsumsi racun. Itu karena dosisnya. Mereka memberikan dosis yang kecil, dan terus ditambahkan sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu. Pada akhirnya, tubuhku terbiasa. Kalaupun diberikan dosis yang dapat mematikan orang normal, aku takkan merasakan apa-apa.

Sekarang sudah lebih separuh hidup kulalui sambil terus mengonsumsi racun. Fakta menarik, racun-racun itu bukan hanya dari kedua orang tuaku, namun juga dari beberapa orang disekitarku. Kalau sejak kecil aku tidak dibiasakan oleh mereka, mungkin sekarang aku sudah mati. Dan akhirnya aku mengerti apa maksud perkataan mereka saat itu.

Belakangan ini ada seseorang yang tiba-tiba datang dan mencoba berteman denganku. Awalnya kukira dia hanya ingin berteman saja. Tapi suatu hari aku mendapatinya juga membubuhkan racun ke makananku. Saat itu aku sangat terkejut.

Dan kuikuti permainannya. Lucu.

Saat ini mungkin dia terkejut karena racunnya tidak berpengaruh. Walau terus mencoba, aku tetap berpura-pura tak tahu.

Sampai suatu hari nanti kau tak sanggup lagi, dan langsung menanyakannya secara langsung kepadaku. "Mengapa kau tak kunjung jatuh?". Berjuanglah terus.

Hingga saat itu tiba, sampai jumpa :)


-----------------------------------------------------


Haaaaaii. Jumpa lagi di bagian ini.

Belakangan ini hasrat menulis semakin besar. Writer's block, apaan itu. Hmph. Setidaknya aku punya 8 topik yang bisa ditulis. Oleh karena itu, daripada ditahan-tahan mending dilampiaskan.

Dan, jadilah satu dari delapan topik itu.

Kali ini bahas racun. Topik yang aneh? Ya. Tapi percayalah, aku punya alasan dibalik itu semua *smirk*

Pertama kali dengar cerita sejenis ini adalah duluuuu sewaktu masih SD (kalogasalah inget). Waktu itu ada pelem, yang seorang karakternya ga mati setelah diracun! Selidik punya selidik karena itu orang sudah biasa minum racun. Sakti.

Cerita kali ini bisa dibilang "semi-'nyata'"; ga 100% nyata, ga 100% imajinasi.

"Kok rasanya lebih acak-acakan dari biasanya?" Karena ada sesuatu yang 'dibungkus'. Seperti halnya racun yang dibungkus kedalam makanan (halah, kayak beres aja pas nulis yg gamblang). 

Sebenarnya ada satu cerita lagi yang gatel banget buat ditulis, tapi next time lah yah.

Udah, ah. Kebanyakan curhat di author section. Bisa-bisa jadi lebih panjang dari ceritanya sendiri. Please also expect my next writing, and please bear with it (and this)

I lay my pen down.

Baca Selengkapnya....

Selasa, 16 Juni 2015

Worlds of Mine

We live on the same worlds.

The first world where we live in
Created from eternal ice
Hard, cold, unbreakable
Nothing can shatter it

The second world where we live in
Created from transparent glass
Clear, fooling, deceiving
Make you think you are close

The third world where we live in
Created from well-made fireworks
Beautiful, dazzling, fascinating
Shine the darkest night for a while

The fourth world where we live in
Created from eternal flowers
Smooth, soothing, relaxing
Bring happiness to anything they touch

We fully aware of their existence
And believe they serve their own purpose

As we travel through them, together
In another version of life we own

Baca Selengkapnya....

Minggu, 14 Juni 2015

Liburan Lombok 2015

Semuanya dimulai pada suatu malam yang gelap. Kala itu lagi ada di mobil nya si T, di perjalanan pulang (Jangan tanya itu habis ngapain, soalnya aku ya lupa) tiba-tiba terucaplah wacana untuk pergi ke Lombok. Yaah namanya juga wacana, waktu itu kesan ucapannya masih becanda.

Saat itu juga, mulailah liat kalender hari libur, dan diwacanakan untuk berangkat di tanggal sekitar 14-17 Mei, yang mana ada satu hari terjepit. Jadinya cuma perlu ambil satu hari cuti. Efisien.

Sebenernya rada sangsi bakal suka liburan ke Lombok, secara di post sebelumnya aku pernah bilang kalo ga suka pantai, dan itu Lombok isinya pantai semua! Tapi, masa bodo! Yang penting liburan!! Udah lama juga gak pergi liburan ke tempat yang rada jauh, jadi liburan kali ini mesti dan harus jadi!

PART 1 – PERSIAPAN


Gentle warning, this part consist of wall of text without images.

Sesuai pengalaman traveling rame-rame yang pernah kujalani, hal pertama yang perlu dilakukan adalah beli tiket! Asal tiket udah ditangan, kemungkinan berangkat bakal makin gede. Situs jual tiket online sudah mulai dipantengin sejak bulan Maret. Yaah walau cuma sekedar liat doang, ga sambil ngatur jadwal pulang/pergi, seenggaknya tau kalo ada pesawat langsung dari Jogja ke Lombok. That’s big point when you live faaaar away from airport.

Singkat cerita, sampailah di akhir bulan Maret dan tiket belum dibeli. Duh! Langsunglah saat itu juga coba atur waktu keberangkatan dan kepulangan yang pas.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jadwal berangkat pesawat Jogja ke Lombok adalah jam 17:40, yang mana dua jam setelah pulang kerja, dan jadwal berangkat pesawat dari Lombok ke Jogja adalah 06.30 pagi, dan akan tiba di jogja jam 06.40 waktu setempat. DUA PULUH MENIT sebelum waktu masuk kerja ‘normal’. Kalo kayak gini bisa pergi Rabu sore tanggal 13 Mei, pulang senin pagi tangga 18 Mei. Ditambah cuti sehari di hari jumat, jadi di Lomboknya ntar 4 hari 5 malam. AMAZING!

Setelah wacana ini diajukan kepada sobat C dan T, dan mereka setuju dengan jadwal seperti ini, dimulailah perencanaan yang sebenarnya. Sobat T mengurus masalah penginapan, Sobat C mengurus masalah tujuan dan transportasi, aku sendiri ngurusin tiket (doang). Apa boleh buat, aku kan pemalu~ :p

Sobat T dengan koneksinya yang luar biasa, ternyata punya teman yang punya teman yang punya penginapan di Gili Trawangan; salah satu tujuan wisata paling terkenal di Lombok. Beres! Sobat C yang juga ga kalah sakti nya, juga punya teman yang rumahnya di Lombok dan bersedia buat jadi tour guide selama di Lombok. Beres juga! Super sekali.

Sementara aku, sampe pertengahan April belom juga beli tiket pulang pergi nya. Alhasil, harga tiket naik dari sekitar 750k menjadi sekitar 1200k. PANIK DONG! Untungnya saat itu yang berubah jadi 1200k cuma tiket pergi, sedangkan tiket pulang nya masih di sekitar 750k. Langsung saat itu juga beli tiket pulangnya, dan cari jalur alternatif, Pesawat transit Jogja-Bali-Lombok sekitar 850k, pesawat transit Jogja-Surabaya-Lombok sekitar 950k. Yes! I ‘love’ procrastinating as much as you do (yang menurut ‘mitos’ golongan darah adalah salah satu sifat si golongan darah B).

Setelah beberapa hari putus asa memutuskan pake jalur mana, isenglah nyari tiket Jogja-Lombok. Guess what? Harga tiketnya balik ke 750k-an. Gak pake pikir panjang, langsung beli! Dan disitulah tugasku berakhir. Disaat sobat T dan sobat C sibuk ngurusin itinerary sedemikian rupa, aku cuma bisa diam terpaku. Yep, I am useless.

Hal terpenting lain adalah tas yang cukup gede buat menampung baju buat 4 hari 5 malam. Karena baliknya senin pagi, jadi mesti bawa baju kerja juga. jadilah bingung. Sobat T yang sudah biasa naik gunung udah punya carrier sendiri, sobat C juga udah punya tempat meminjam. Aku, masi bingung.

Entah terima kabar dari mana, suatu hari akhirnya tersebutlah satu anak kantor yang juga suka naik gunung dan punya carrier; mas Willmen. Setelah dikejar terus menerus akhirnya jadi dipinjemin. Yeey. Thanks, mas.

Satu lagi, sandal. Karena sandalku bagian bawahnya sudah rata, jadi perlu beli sendal juga.


PART 2 – VACATION ITSELF


Yak, tibalah hari rabu tanggal 13 Mei. Pagi-pagi ke kantor pake carrier guede, langsung print tiket dan voucher homestay. Pake printer dan kertas kantor tentunya :p.

Jam 15.30 sore, masalah pertama langsung muncul. Taksi nya gaada yang bisa ditelepon. Matilah! Masa naik sepeda ke Bandara?! Yang jadi masalah bukan naik sepedanya, tapi tempat parkir inap sepedanya yang gaada. Beruntunglah dapet bantuan dari Mbak Pipit dan Mbak Diah yang pesan taksi pake aplikasi something gitu dari hape nya. Selamat~

Singkat cerita, sesampainya di bandara nunggu pesawat yang delay 1 jam, terbang selama satu jam, nyampe di Lombok, pulau ketiga di Indonesia yang pernah kukunjungi! YAAY.

Hal pertama yang perlu dilakukan setelah keluar lombok adalah pergi ke Senggigi, dimana tempat menginap pertama berada. Jam menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat, dan agak panik takut tempat nginapnya ga buka sampai malem. Beli tiket bus Damri buat ke Senggigi, langsung ke tempat nongkrong itu bus, hanya untuk mendapati cuma tersisa 2 kursi kosong buat 3 orang. Alhasil duduk lagi menunggu bus kloter selanjutnya, yang pastinya perlu ngetem dulu nunggu penumpang. Seorang dua orang masuk, seorang dua orang masuk. Tapi tetap aja ini bus ga penuh-penuh. Sampai hampir jam 10 malam pun ini bus masih bisa dibilang kosong, dan mulai semakin panik karena malam semakin larut. Untunglah jam 10 bus nya langsung berangkat walau ga penuh. Sobat T langsung menghubungi tempat menginap malam itu untuk memberi kabar bahwa akan datang sekitar jam 11 malam. Untungnya, boleh.

Bandara internasional Lombok ini jaraknya jaauh dari mana-mana, semacam KLIA2 yang juga jauh dari peradaban. Jadi, dikarenakan sudah malam dan perjalanan bakalan lama, alangkah baiknya dipake buat tidur.

Fun Fact: 30 menit setelah mulai jalan, pak supir berteriak karena ada kecelakaan di depan. Korban mengalami kaki putus.

Next, sampai di daerah senggigi. Diturunin di depan gang penginapan, lalu berjalan masuk sekitar 200 meter. Check In, bagi kamar, lalu tidur.



#### Pengeluaran hari ini: ####
1. Taksi dari kantor ke Bandara: 45.000
2. Bus Damri BIL-Senggigi: 105.000
3. La Cassa Homestay: 240.000
TOTAL DAY 0: 390.000

Day 1


Rencana besar hari ini adalah pergi ke Gili Trawangan sebelum tengah hari. Sembari menunggu, akhirnya diputuskan untuk sarapan sambil jalan-jalan ke pantai Senggigi. Perjalanan dari La Cassa ke Senggigi memakan waktu sekitar 15 menit naik angkot, dengan biaya 5.000 per orang.

Sesampainya di pantai, “Yak, masih ga suka pantai”. Nothing worth seeing. Just plain old beach. Temennya sobat C, sebut saja sobat F, juga ikut di kegiatan kali ini. Sembari melihat ketiga orang itu berkumpul (dan kayaknya foto-foto juga), aku cuma menatap dengan tatapan yang hampir kosong kearah laut.

Berikutnya tujuan mulia pagi ini, sarapan. Karena bingung dan yang pertama terlihat edible adalah sate, jadilah.

Sate Bulayak, Sate yang lontongnya disebut bulayak. Kalo lontong biasanya dibungkus pake daun pisang, yang ini kayaknya dari kelapa atau aren. Karena daunnya kecil-kecil, maka dibungkus membentuk spiral, dan ukurannya pun jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan lontong daun pisang.

Setelah beres makan sate, saatnya kembali ke homestay buat check-out.

Dari La Cassa menuju ke pelabuhan Bangsal ditempuh menggunakan taksi. Karena jarak lumayan jauh, argo taksi nya nyampe 125.000. Dan karena ini masih tengah hari, taksi nya ga boleh masuk sampe ke pelabuhannya. Jadi kami diturunkan di gerbang pelabuhan yang berjarak sekitar 300-500 meter, dan melanjutkan perjalanan menggunakan Cidomo

Sampai di Bangsal, langsung beli tiket boat buat nyeberang ke Gili Trawangan. Harga tiketnya 15.000 belum termasuk asuransi dan lain-lain 3.000. Perjalanan dari Lombok ke Gili Trawangan menggunakan boat memakan waktu sekitar 1 jam.

Sesampainya di Trawangan, impresi pertama adalah takjub. Maklum jarang jalan-jalan ke pantai, sekalinya liat pantai sejernih di Trawangan langsung berasa kepincut, lalu sadar bahwa aku juga bisa jatuh cinta sama yang namanya pantai :3

Sambil menunggu jemputan dari Hotel tempat nginap di Trawangan, seperti biasa aku memperhatikan lingkungan sekitar, curi dengar informasi-informasi yang berseliweran. Turisnya kebanyakan turis asing, dan banyak banget :o. Pas ke SG atau KL aja turis asingnya ga sebanyak ini. Takjub! Katanya di Bali juga kayak gini, cuma karna belum pernah ke Bali, jadinya ini kali pertama liat turis asing sebanyak ini.

Ga lama berselang, jemputan dari hotel dateng. Yang jemput namanya mas Buyung (kalogasalah), lalu kita digiring menuju hotelnya. Dikarenakan tempatnya penuh, jadi kita dialihkan ke hotel tetangga, Secret Garden.

Taruh barang, istirahat sekejap, sung keluar cari makan.

Nah, atas saran dari mas Buyung itu tadi akhirnya pergi ke warung masakan lokal yang namanya Warung Bu Dewi, waktu itu yang jaga warung bukan bu Dewi nya. Setelah tunjuk-tunjuk menu yang ada dan dapet makanan, kunyah-kunyah dan ternyata enak. Lihat foto sekeliling, terpampanglah beberapa foto bu Dewi bareng pengunjung.

“Seingatku ini mirip foto emaknya si Trio yang pernah dikasih liat, dah”

foto nyomot dari sini

Kalo kak Trio baca ini, dan ternyata ga mirip, mohon maap :D

Setelah itu, basically isinya jalan-jalan.




Hal terbaik lainnya yang didapat dari Trawangan adalah disini gaada sepeda motor, apalagi mobil. Satu-satunya motor yang ada di jalanan cuma sepeda listrik, yang jumlahnya sedikit. Sisanya naik sepeda, cidomo, jalan kali, atau naik kuda. Perfect place buat yang hobi nggenjot sepeda.

Oleh karena itu, kita sewa sepeda!


Dikarenakan sobat T gabisa bawa sepeda, akhirnya sepeda yang disewa 2 buah, salah satunya yang ada tempat duduk belakangnya :3. Tujuan berikutnya, sunset point buat menghabiskan waktu sambil nunggu sunset. Sambil naik sepeda pastinya, karena jaraknya lumayan jauh. Dan untuk pertamakalinya, bawa orang di kursi belakang! *Langsung inget The Girl Who Leapt Through Time*




Bonus



Beres liat sunset, saatnya nyari makan. Genjot sepeda lagi ke daerah keramaian, menuju daerah Night Market alias Pasar Malam. Isinya stand-stand makanan, terutama seafood. Kalau dibandingkan dengan harga makanan di Bu Dewi sih, disini jauh lebih mahal. Semua seafood nya dijual per ekor, ga terkecuali lobster, cumi, sampe udang yang ukuran kecil pun dijual per ekor. Sadis.




That’s all for day 1

#### Pengeluaran hari ini: ####
1. Sate Bulayak (4 orang): 100.000
2. Taksi La-Cassa -> Bangsal: 125.000
3. Cidomo ke Bangsal: 30.000
4. Boat Bangsal  Trawangan: 54.000
5. Makan di Bu Dewi: 50.000
6. Gili Gelato: 60.000
7. Sewa Sepeda (2bh): 55.000
8. Aqua: 16.000
9. Makan Seafood: 100.000
10. Hotel (2 Kamar): 300.000
TOTAL DAY 1: 890.000

Day 2


Hari ini hari yang ditunggu-tunggu. Saatnya main aer, snorkling. Yaaay! Tapi sobat C mimpi hari ini badai, jadi ga bisa pergi snorkeling. Kejam

Sebelum berangkat, alangkah baiknya kita sarapan dulu. Kali ini sarapan di Warung Bu Dewi lagi, dan yang jaga Bu Dewi nya sendiri :3


Setelah kenyang, langsung menuju tempat berkumpul, nunggu boat buat pergi snorkel snorkel. As expected, tempatnya ruaaame banget. Disini kita dikasih kacamata buat snorkel, sama salah satu dari kaki katak atau life vest. Karena sobat C ga bisa renang, maka dia pilih life vest. Disini juga kita disuruh pilih menu makan siang kita.



Jadi dari spot-spot yang ada di peta diatas, kita mengunjungi 5 tempat disekitar ketiga pulau itu. Spot nya mana aja? Lupa. Harap maklum

Karena sobat T punya kamera sakti yang bisa dibawa nyebur, maka kali ini ada foto-foto bawah air.



Di spot pertama, semua penumpang masih antusias. Semua nyebyur. Tapi di spot 2 yang lebih dalam, para penumpang mulai tumbang. Alesannya karena di spot nomer 2 ini gelombangnya tinggi. Wajar kalo banyak yang tumbang bermuntahan, termasuk sobat C.


Di spot 4 ada penyu. PENYU! Tapi karena kamera ada di sobat T, dan sobat T asyik foto-foto ikan, dan ga ngeliat penyu, jadinya gaada fotonya.

Setelah spot ke-4, saatnya makan siang. Dengan baju basah, jalan ke warung makan. Serahin kupon makan, trus nunggu. Karena ruaaame banget, kita sudah menduga kalo makanannya bakal lama baru datang. 15 menit, 30 menit, 45menit berlalu makanan pun belum dateng. Orang yang dateng setelah kita udah pada dapet makanan, tetapi makanan kita belom dateng. Sampai orang-orang sudah pada pulang, makanan kita belum datang. Damn, didzalimi!
Sobat T mencoba menanyakan status pesanan kami, hanya untuk mendapat balesan “kalo mau cepat, ke dapur aja. Minta orang dapurnya cepat” ato semacam itulah. Apa ga kesal.

Singkat cerita, udah beres makan. Lanjut ke spot 5, trus lanjut pulang. Langsung menuju kamar, mandi, istirahat sejenak.

Rencana selanjutnya adalah nyari ayunan yang ada di laut, kayak gambar ini:


Katanya sih letaknya dekat Sunset Point. Hari ini ga nyewa sepeda tapi naik cidomo, niatnya. Yep, cuma niat. Ujung-ujungnya jalan kaki dari hotel sampai ke Sunset Point yang lumayan jauh itu. Sampainya di Sunset Point, matahari nya udah jadi merah. Jadinya ga lanjut nyari itu ayunan, dan memutuskan foto-foto di sunset point lagi




Beres dari Sunset Point, saatnya nyari makan lagi. Karna lagi malas makan nasi, dan sobat T juga kayaknya males, akhirnya nyari alternatif lain. Kita memutuskan beli jagung bakar dan Kebab, dan sobat C tetap beli nasi di Night Market. Done!

Setelah selesai makan, kita memutuskan untuk mencari tempat nongkrong. Karena ada pantai disekitar situ, jadilah pergi ke pantai, sambil liat-liat bocah main di pantai




That’s all for day two
#### Pengeluaran hari ini: ####
1. Sarapan di Bu Dewi: 60.000
2. Akua: 20.000
3. Snorkling + makan siang: 330.000
4. Minuman di tempat maksi: 30.000
5. Kebab + Makan Malam: 125.000
6. Akua + Jajan: 23.000
7. Hotel (2 Kamar): 300.000
TOTAL DAY 2: 858.000

Day 3

Malam sebelumnya sempat ada wacana buat liat sunrise, tapi kalah oleh hasrat malas gerak. Jadi ya batal. Padahal sobat C sampai kebawa mimpi liat sunrise. Wkwk

Hari ketiga adalah hari terakhir di Trawangan. Sebenernya untuk hari ketiga ini pun masih pengen makan di warung bu Dewi, tapi akhirnya diputuskan untuk pergi makan di hotel sahaja.
Menu kali ini kalo gasalah namanya Gallete


Setelah makan, langsung checkout dan pamit sama mas Buyung. Abis itu langsung pergi beli tiket boat buat ke Bangsal. Tiket kali ini harganya pas 15.000 udah termasuk asuransi. Ga kayak tiket dari bangsal yang nambah 3.000 lagi buat asuransi dan lain-lain.


Farewell, Gili Trawangan. You're my favorite place so far. We'll definitely meet again someday :)



Nyampe di Bangsal sekitar tengah hari dan langsung dijemput sobat F bersama pacarnya, pake mobil sewaan buat keliling-keliling pulau lombok. Ya, agenda selanjutnya adalah mengunjungi tempat-tempat wisata di Lombok.


Tempat pertama yang dikunjungi adalah air terjun Sindang Gile dan Tiu Kelep yang bertetangga. Dibilang bertetangga karena pintu masuknya cuma satu, bayarnya cuma sekali, dan bisa mengunjungi keduanya. Padahal sebenarnya jarak keduanya ya lumayan jauh.


Bayar biaya masuk, lalu jalan sekitar 1km turun naik bukit, akhirnya sampai di lokasi pertama.


Impresi pertama: "Waterfall! Ini kali pertama liat waterfall beneran". Selama di Bandung ga pernah ikut jalan-jalan ke curug, sih.


Jadi, seperti biasa. Nyampe lokasi langsung mendekat, mengamati sekitar, curi dengar percakapan orang, melihat kelakuan lucu orang-orang lain. Menikmati percikan air dan angin karena air terjun, soothing. Sementara sobat C dan sobat T asyik dengan kamera-kamera mereka, untuk mendapatkan foto dengan sudut terbaik :)



Setelah puas di air terjun ini, lanjut ke spot kedua. Kali ini jaraknya lebih jauh, mungkin sekitar 2 kilometer. Menembus hutan, meyeberangi sungai, naik turun bukit, sampai-sampai sobat C nyemplung sewaktu menyebrangi sungai. Pfft.




Di spot kedua ini waterfall nya lebih guede, lebih berair, lebih berangin. Sampai-sampai baju ikut basah walaupun cuma memandangi dari kejauhan.






Puas di kedua air terjun, saatnya menempuh perjalanan pulang yang jauh menuju parkiran.

Tujuan selanjutnya adalah sunset dan dinner di Bukit Nipah. Tapi sebelum itu sobat F mampir dulu buat beli satu makanan yang namanya Sate Tanjung.




Sate Tanjung ini adalah kuliner paling enak yang pernah kumakan selama di lombok. Terbuat dari seiris ikan yang dibumbui dengan bumbu yang, kalo kulihat sih, mirip bumbu pepes. Terus ditusuk dengan lidi dari bambu, dibakar. Setelah matang langsung diangkat dan disajikan, tanpa bumbu-bumbu tamban lain. Beda dari sate pada umumnya yang menggunakan tambahan bumbu kacang atau kecap.

Pertama digigit, serrrrr, langsung meleleh. Kenikmatan memenuhi seisi mulut. Membuat semua kepenatan langsung terlupakan. Dan saat itu juga menyesal cuma beli 10 buat dibagi tiga. Aku makan sepuluh pun kurang!!!

jadi inilah sunset dari Bukit Nipah




Beres dari Nipah, saatnya pulang dan tidur. Malam ini nginap di rumah sobat F yang warga lokal.

Sampai di rumah sobat F, langsung disambut baik sama kedua orangtuanya. Kamar sudah disiapkan, welcome drink juga ada. Superb.

Jadi aku langsung masuk kamar, naruh tas, lalu mengamati environment baru. Ada beberapa piagam terpampang, dan yang paling menarik ada satu meja komputer yang isinya padat, tapi bukan diisi komputer. Isinya seperangkat radio HF. Ternyata bapak ama ibunya sobat F ini anggota ORARI. (YB9GV & YB9JBI)


Malam itu juga bapaknya langsung praktekin. Hidupin mesin-mesin antik itu, putar-putar cari frekuensi, nemu yang broadcast, langsung komunikasi. Lawan bicaranya bukan dari Indonesia, tapi di sekitaran eropa. Amazing!!

Ternyata lagi, bapaknya sobat F ini punya banyak teman di luar negri, dan ga jarang dikunjungi orang-orang dari luar negri. Sering juga sewaktu liburan ke suatu kota, dan ada kenalan dari ORARI yang berada disekitar sana, mereka langsung dikunjungi di hotel, menawarkan menginap di rumah mereka daripada di hotel. Kalo keluar negri pun juga sama, ada aja temannya anggota radio amatir, walau bukan dari ORARI, dan menawarkan hospitality juga. Faith in humanity restored.

Ada satu benda ajaib lagi yang kutemukan di rumah ini


Tampak seperti kursi biasa, tapi kursi ini SAMA PERSIS dengan kursi yang dulu sering kumainin pas masih balita. Spontan langsung teringat masa-masa indah bersama kursi biru ini. Bagaimana tutupnya bisa dibuka, kuisi air, mainin kelereng di tutupnya, sampai glundung'in ini kursi. Aaaaaaaaaaah, so nostalgic.


Mengiyakan, ibu nya sobat F cerita kalo itu kursi lebih tua dari sobat F. Artinya ini kursi benar-benar (model) kursi yang sama dengan yang biasa kumainin. Terharu, lah :)

#### Pengeluaran hari ini: ####
1. Sarapan: 135.000
2. Boat Trawangan->Bangsal: 45.000
3. Sewa Mobil + Bensin: 350.000
4. Parkir + Air Terjun: 34.000
5. Akua: 9.000
6. Sate Tanjung: lupa
7. Makan di Nipah: 202.000
TOTAL DAY 3: 775.000++

Day 4

Oke ini hari terakhir di Lombok. Tujuan hari ini adalah bersih-bersih wishlist. Karena kebanyakan lupa nama tempatnya, jadi lihat-lihat fotonya aja.

Spot pertama, bukit dan pantai.











Isengnya sobat T


Turun menuju spot berikutnya, batu berbentuk ummm, jamur kayaknya.



Disini kejadian unyu terjadi. Saat aku jongkok berusaha mencuci tangan di air pantai, tiba-tiba berbunyi "KREEKKKKK". Seketika itu pula terasa silir di daerah silit. Yep, celana sobek. Deeemn -_-

Untungnya hari itu pake baju yang lumayan panjang, trus ditutupin tas, beres.



Additional photos:


Next spot, pantai lain. Kali ini rada kurang menikmati karena celana sobek. Tapi disinilah nemu gambar unyu kayak gini

Cocok kalo ditulisin "Mamah. Itu mereka ngapain, yah?"

Additional photos:





Beres dari pantai ini, lanjut ke spot berikutnya. Tapi tiba-tiba AC mobil nya ga dingin! Dalam hati "Bah! Ini freonnya mesti abis -_-". Tapi entah kenapa akhirnya kita memutuskan turun dan membuka kap mobil, cek air radiator, kosong. Demn -_-. Hari ini sial banget.


Setelah diotak-atik, dikasih minum, akhirnya AC nya bisa dingin lagi.


Next spot, desa Sasak. Ini desa yang terkenal ngepel lantai rumahnya pake kotoran sapi. Tapi pas dateng kesini pas gaada yang ngepel. So here are the photos






Ini masih pake celana sobek

Abis itu kembali ke rumsh sobat F buat mandi dan ganti baju.

Beres mandi, diajak keluar buat makan malam. Menu kali ini adalah Ayam Taliwang.

Kali ini gratis karena dibayarin sobat F dan pacarnya.

Aaand that sum up our final day

Also, bonus:


#### Pengeluaran hari ini: ####
1. Degan: 75.000
2. Nasi Balap: 80.000
3. Akua: 10.000
4. Masuk Sade/Sasak: 50.000
5. Oleh-oleh: 95.000
6. Sewa Mobil + Bensin: 400.000
TOTAL DAY 4: 710.000

Day 4+1

Hari kepulangan. Jam 2 dinihari sudah bangun. Ngumpulin nyawa, mandi, pake baju kerja, langsung berangkat pake taksi langganan keluarga sobat F.
Sampe bandara langsung check in, dan sobat T langsung ke warung kopi. Belum kopinya beres dibikin, udah dipanggil disuruh masuk pesawat. Rush!
Untungnya itu kopi ga dilarang masuk kesawat, jadi bisa numpang sruput.


Skip skip selama di pesawat, tau-tau dah nyampe lagi di Jogja.


Turun, nunggu bagasi, pesan taksi, beli roti, cuss ke kantor.
Sampai di kantor pas banget jam 7. Di depan pintu ketemu ama pak Senior Manager, yang kebetulan dulu pernah kerja di Lombok.
Naik ke lantai 3, dan bekerja seperti biasa.

#### Pengeluaran hari ini: ####
1. Taksi ke Bandara: 150.000
2. Roti-O: 28.500
3. Taksi ke kantor: 60.000
TOTAL DAY 4+1: 238.500++


EPILOGUE


Liburan kali ini mempunyai banyak sekali kenangan, baik yang manis maupun yang agak pahit. Overall, its great! Ga kalah ama liburan di bandung 2 minggu sebelumnya.


Thank you sobat T and sobat C for having me in this wonderful trip. I really enjoy it and hope there will be another trip in near future :)

PS: This also the trip with most groufie I ever have, so far.


-----------------
So, we meet again in this section.


Ini rangkuman liburan ke Lombok lama banget terbengkalai. Salah satunya karena hobi menunda pekerjaan, dan yang lain adalah karena dapat ide tulisan yang lebih urgent dan berapi-api jika dibandingkan dengan ini.


Kali ini kerangka ceritanya juga ditulis sambil backlog grooming, sprint planning dan sprint review. Sedangkan ceritanya sendiri ditulis disela-sela jam kerja dan sesudah jam kerja. Cuma separuh akhir cerita ini yang ditulis dirumah dengan gadget secara darurat, karena draft awalnya direncanakan untuk dirilis ke sobat T dan sobat C dihari Jumat, dan dirilis ke blog dihari Minggu. Jadi perlu memanfaatkan waktu nganggur di kamar.


Again, expect several style changes. My writing style really depends on my mood and mental condition, and this post was not written in one day. I also have writer block in the middle of writing this post. I'm sure the quality is drop far below my initial expectation. I have several reasons why I should prioritizing its release date instead of its quality. But it doesn't mean I didn't enjoy writing this. Its just the thrill is not as intense as previous post. I apologize.


And now, I lay my pen down.




Yogyakarta - 12 Juni 2015
"The runaway mind"


Baca Selengkapnya....