This is part 2 of the stories. You can find part one here and part three here.
"Hoooi, Kak Dio. Kita satu sekolah lagi, nih" seruku sambil tersenyum.
"Walah. Kamu ngikutin aku ya makanya milih sekolah disini?" balasnya setengah bercanda
Aku tertawa.
Kak Dio adalah seniorku sedari SMP. Kalau dideskripsikan secara singkat, orangnya aneh. Jalan pikirannya kadang tidak bisa ditebak. Alhasil, dia sering senyum-senyum sendiri pada saat melihat sesuatu. Membuat teman-temannya bertanya-tanya tentang apa yang sedang dia pikirkan.
Karena itulah aku jadi penasaran dengan hidup seperti apa yang dilaluinya. Aku berusaha memperhatikan gerak-geriknya dari jauh, menghapal setiap kebiasaannya. Tanpa sadar dia seperti hadir di setiap hidupku. Di rumah, di sekolah, bahkan saat aku jalan-jalan bersama keluargaku, aku sering membayangkan apa yang akan dia lakukan kalau dia berada disini bersamaku.
Suatu siang sepulang sekolah, aku dan temanku sedang berjalan menuju parkiran. Kebetulan, dia juga sedang ada disana.
"Yo, Nay! Mau pulang?"
"Ya iyalah. Masa mau salto", balasku setengah cuek.
"Haha. Eh mau makan dulu, gak? Ajak temanmu itu sekalian, gih"
Orangtuaku selalu bilang untuk tidak menolak rejeki yang datang. Ajakannya ini bagaikan durian runtuh bagiku. Tentu saja aku tidak menolak.
Sejak pertemuan yang tidak disengaja saat itu kami bertiga jadi semakin sering bersama. Entah sekedar untuk menghabiskan waktu siang atau menikmati akhir pekan bersama. Aku juga berusaha menghafal jadwal pulang sekolahnya, mencoba mengatur sebuah 'pertemuan tak sengaja' lainnya.
Akhirnya suatu hari kuberanikan diri untuk melakukannya. Aku berdiri di balik gedung sekolah, sesekali mengintip kearah parkiran. Belum ada orang. Kuluruskan rokku, merapikan seragam dan rambutku, dan akhirnya kudengar bunyi langkah yang kukenal. Dia datang.
Kutarik nafas dalam, berharap semua emosiku tak melesak keluar, dan berjalan dengan normal menuju parkiran.
"Yo, Nay! Ketemu lagi. Mau pulang?"
Aku sudah menunggunya mengatakan hal itu.
"Ah, kak. Aku mau ke bioskop. Mau ikut?" Aah suaraku pasti bergetar karena gugup. Semoga dia tak sadar.
"Hmm. Ayok, lah."
Seketika dunia serasa indah. Perutku serasa dipenuhi taman bunga, lengkap dengan kupu-kupunya. Kalau aku punya ekor seperti anjing, pasti ekorku sudah berkibas kesana kemari dengan sangat cepat. Aku berhasil mengajaknya.
Di ruang bioskop yang gelap, kami duduk bersebelahan. Sesekali dia mengeluarkan ponselnya, lalu senyum tipis menghiasi bibirnya. Sesekali kucoba menilik ponselnya yang berpendar ditengah kegelapan, mencari tahu siapa lawan bicaranya. Lawan bicara yang membuat dia mengabaikan prinsipnya untuk tidak membuka ponsel saat menonton film.
Tapi setelah film berakhir pun, aku tetap tidak tahu. Aku juga tak punya keberanian lagi untuk bertanya. Dan begitulah malam kami berakhir.
Hari-hari selanjutnya kulalui dengan biasa. Sampai suatu hari tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku.
"Ntar malem nganggur, gak? Keluar, yuk. Lagi bete nih"
Tak pakai pikir panjang aku langsung setuju.
Malam itu dia menjemputku di rumah. Tak kuduga dia datang sendirian. Dan akhirnya kami berboncengan pergi ke sebuah tempat nongkrong.
Sesampainya di tempat yang dituju, kami memesan tempat duduk untuk dua orang. Aku dan dia, duduk berhadapan, sambil mendengarkan keluh kesahnya karena kalah di perlombaan tadi siang.
Setelah dia puas mengeluarkan semua kekesalannya, kami pun terdiam membisu. Dia mulai asyik lagi dengan ponselnya. Hening. Hanya menyisakan lilin di tengah meja kami, bergoyang perlahan. Membuat bayangan-bayangan kami seakan bergerak.
"Mungkin ini saatnya", pikirku. Kucoba meberanikan diri.
"Kak...", ucapku perlahan.
Dia hanya memandangku tanpa menjawab.
Pada akhirnya aku tidak bisa mengatakannya. Bukan karena aku tak sanggup mengatakannya, tetapi karena caranya memandangku. Pandangan matanya saat itu seakan memberitahuku sesuatu dengan sangat kuat. "Jangan katakan!", mungkin begitu.
Pada perjalanan pulang, aku hanya bisa tertunduk di kursi belakang. Tanpa sadar aku menarik ujung jaketnya, dan terisak pelan. Sambil memikirkan reaksi penolakannya saat itu yang mungkin hanya imajinasiku.
Maafkan aku. Aku tahu ini semua bukan salahmu. Kenapa kita bertemu? Kenapa kau begitu baik kepadaku? Kenapa kau mengajakku? Kenapa aku menyukaimu? Kenapa... Kenapa?
Kurasakan air mata mengalir di pipiku.
"Naya! Ada apa?"
Saat itu kami sudah sampai di depan rumahku. Aku turun dari motor dengan kepala tertunduk, berusaha menyembunyikan air mataku. Aku dapat mendengarnya masih memanggil namaku, namun aku tak peduli. Kak Dio, kumohon padamu...
Kumohon jangan terlalu baik lagi kepadaku.
Seketika itu pula awan mendung yang menutupi bulan mulai terurai, menampilkan bulan sabit berwarna agak jingga dan berbentuk seperti senyuman. Aku langsung masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa.
Kak Dio sangat baik. Tak jarang kami pergi bersama. Walau begitu dia selalu melihat sesuatu di kejauhan, bukan aku. Aku paham dengan sangat jelas bahwa kami tak mungkin bisa bersama.
Dengan hanya dia di pikiranku, malam itu aku menangis hingga terlelap.
--------------------------------------
Part 2 dari cerita sebelumnya. Yaay
Kali ini dari sudut pandang si Naya, and I decided our main hero name is Dio. Gampang dihapal dan terdengar keren.
Pas dapet konsep pikiran Naya, langsung kebayang part 2 dari 5cm per second nya Makoto Shinkai. Dan akhirnya ambil banyak referensi disana.
Semoga kali ini ga terasa 'jumpy'.
Now, I lay my pen down.
Yogyakarta, 27 Juni 2015
"To ease Naya's mind"
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar