Minggu, 28 Juni 2015

Real;ize

This is part three of the stories. You can find part two here.

"Terkadang lawan bicara kita tidak tau bahwa dirinya tengah dicintai" - Have I Told You Lately that I Love You

Belakangan ini pikiran gue kacau balau. Kalau diibaratkan, persis kayak habis diterpa tsunami. Semua yang ada disana gaada yang utuh. Luluh lantak rata dengan tanah.

Penyebabnya adalah penyakit yang emang biasa menyerang anak muda kayak gue; cinta. Bukan cinta biasa, tapi cinta tak terbalas. Miris. Gara-gara penyakit satu ini gue yang dulunya periang sekarang jadi lebih sering murung, meratapi nasib sambil memandangi layar hape, lalu menghela nafas panjang.

Gejala penyakit ini baru muncul sekitar enam bulanan yang lalu. Sebelumnya gue kebetulan lagi sering jalan bareng dua anak baru itu, dan semua normal-normal aja. Sampai suatu hari salah seorang sobat karib gue nge'cie'in gue;
"Ciee yang jalan mulu sama si Wulan"
Waktu itu gue masih bingung, ini anak kenapa cuma mention si Wulan, dah. Padahal kan gue jalannya ga berduaan sama si Wulan doang. Aaaah, apa gara-gara gue ada di klub yang sama, ya?

Dengan cuek gua anggap semua kayak angin lewat. Lagian gue emang gaada rasa apa-apa.

Kayak lilin yang sumbunya mulai dibakar, sejak kejadian itu cara gue memandang si Wulan ini mulai agak berubah. Gue mulai melihat dia sebagai seorang 'kandidat'. Disinilah hari-hari panjang penuh penyiksaan gue dimulai.

Tahap pertama penyiksaan ini dimulai saat gue mulai hafal beberapa hal tentang doi. Pertama, parfum doi. Entah kenapa gue kadang suka kangen ama wangi yang satu itu. Tak jarang gue tiba-tiba senyum-senyum ga jelas gara-gara wangi parfumnya yang mendadak masuk menggelitik hidung gue.

Yang lebih parah adalah saat gue lagi di jalan. Karna gue hapal banget ama motor doi, ini jadi lebih menyiksa. Tiap kali gue nemu motor yang model dan warnanya sama di jalanan, gue secara refleks selalu ngelihat kearah pengemudinya. Ini sama bodohnya kayak orang yang menjulurkan tangannya buat ngecek hujan, padahal dari genangan air aja keliatan kalo masih hujan. Cuma kurang afdol aja kalo ga dilaksanain.

Tahap kedua penyiksaan ini adalah gue jadi kepo ama doi. Parah banget lah pokoknya. Dikit-dikit, ngecek socmed. Dikit-dikit, apdet status. Cuma gara-gara pengen tau doi lagi ngapain, sama pengen tau apa doi peduli ama gue. Yang bikin lebih parah adalah, doi ini cueknya bukan main. Apdet status aja jarang apalagi ngasih komen di status orang. Jangankan itu, like pun ga dikasih. Cih.

Tahap ketiga lebih berat lagi; gue mulai cemburuan. Mungkin lu lagi pada mikir "Dih, emang lu siapanya dia jadi pake cemburu segala?" Ya, gue emang bukan siapa-siapa, tapi apa boleh buat. Kalo gue bisa atur ini hati biar ga cemburu, udah gue pencet itu tombol on/off nya dari kapan tau, dan gue ga bakal tersiksa kayak gini.

Dia lagi jalan ama temennya dan gue ga diajak, gue sakit ati.
Dia lagi chatting ama temennya, gue sakit ati.
Chat gue cuma di-read, gue rasa mau mati.
Pokoknya udah kayak anak muda labil, dah. Padahal, gue sadar gue bukan siapa-siapanya, cuma sekedar teman maen, itupun kadang-kadang.

Menjijikan

Dari situlah gue mulai berusaha menerima keadaan. Malam itu juga gue memantapkan hati. Gue tiarap di kasur lalu teriak "Gue suka Wulan!", sambil berdoa supaya semua suara teredam dengan baik oleh bantal iler dan orang rumah gaada yang kebangun. Dan, benar gaada yang kebangun. Lucky.

Keesokan harinya gue langsung disiksa ama penyiksaan tahap keempat. Gue ngerasa susah bersikap normal kalo didepan doi. Kalo kemaren gue masih bisa nyapa saat papasan ama doi, sekarang gue buang muka pura-pura ga liat. Kalo kemaren gue masih bisa ngobrol tatap muka, sekarang gue takut liat matanya. Takut tiba-tiba pipi gue jadi merah, salting, awkward. Kalo kemaren gue masih bisa melempar candaan, sekarang gue memilih diam dan cuma ngomong kalo emang perlu. Mungkin lu pada ga pernah ngalamin fase kayak gini. Tapi percayalah, ini bener-bener gue alamin.

Setiap ada berita tentang doi, gue pura-pura ga denger dan ga peduli. Contoh paling baik adalah waktu doi dipindah klub. Dulu gue dan doi satu klub di klub debat. Karena sesuatu dan lain hal, doi dipindah ke klub pidato. Pas dengar kabar itu, gue ga tau 'normal' itu kayak gimana. Akhirnya gue memutuskan pura-pura ga denger, pura-pura ga peduli, dan pasang muka datar. Walau sebenarnya dalam hati gue udah kayak es jus yang diblender; tak karuan, remuk jadi serpihan.

Untung suatu hari ada kejadian yang bisa bikin gue lumayan bahagia. Waktu itu kita habis nonton rame-rame ama teman-teman sekolah. Nah habis beres nonton, teman-teman yang lain langsung pada pulang ke rumah masing-masing. Tersisalah kita berdua. Awalnya gue mau ajak doi makan, tapi malu. Akhirnya kita berdua jalan ke parkiran. Belum sampai keluar, tiba-tiba doi nyeletuk:
"Laper ga? Makan yuk. Ada ide makan apa?"

Degg. Jantung gue berhenti. Wanjer! Boleh ini gue anggap kencan?

Masih dengan usaha bersikap normal, gue menyarankan sebuah tempat makan yang ada di lantai paling atas mall. Doi setuju, dan gue girang setengah mati.

Singkat cerita kita makan bareng berdua. Cuma gue dan doi, indah sekali. Kita duduk berhadapan, dan gue lagi-lagi salting. Anjir, ini hati emang bener-bener gabisa diajak kompromi. Bisa ga sih tenang dikit? Kalo diukur tekanan darah gue pasti naik drastis, bunyinya keras banget, cepat pula. Damn.

Sepanjang sesi makan, doi cerita banyak hal. Mulai dari beberapa urusan keluarga, cerita tentang temennya yang absurd, cerita tentang sinyal hape yang makin hari makin buruk, macem-macem pokoknya. Gue, sebagai seseorang dengan sifat "pendengar yang baik", langsung bahagia tak terkira diceritain macem-macem kayak gini. Tapi karena gue bukan pencerita yang baik, gue nyaris ga ngomong apa-apa. Cuma pasang senyum simpul, sembari memandang indahnya kedua bola matanya dengan lekat dan menikmati setiap kata terurai dari bibirnya yang mungil. Disitu gue berharap makanan gue ga pernah habis, biar kami bisa ngobrol kayak gini terus.

Tapi sesuatu yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Dan makanan kami pun habis. Aku berusaha memperpanjang sesi ini dengan cara memesan minuman tambahan, namun itu tetap tidak bertahan lama. Akupun menyerah, pasrah.

Dalam perjalanan menuju parkiran lagi, kita tak sengaja lewat sebuah warung kopi. Doi, yang mana adalah penggila kopi kelas akut, refleks tertarik. Gue ngeliat ini sebagai kesempatan lagi, dan langsung berusaha menghasut doi untuk beli, dan berhasil! Berhasil! Perpanjangan waktu!! Kitapun akhirnya duduk berdua lagi diwarung kopi tersebut.

"Terkadang lawan bicara kita tidak tau bahwa dirinya tengah dicintai", tiba-tiba gue teringat quote dari sebuah cerita yang pernah gue baca. Ya, terkadang lawan bicara kita gak sadar kalau dia sedang dicintai, memercikkan sedikit kebahagiaan kepada lawan bicaranya yang mendengarkan ceritanya yang menggebu-gebu. Tak apalah dia tak sadar, asal kita sama-sama bahagia.

Kenapa gue ga nembak doi saat itu? Entah, gue juga bingung. Padahal mungkin saat itu Tuhan ngasih gue kesempatan besar, sehari seumur hidup, buat mengetahui apakah doi merasakan perasaan yang sama dengan apa yang gue rasakan. Hari itu berakhir dengan kita tak menyinggung sedikitpun tentang perasaan masing-masing. Mungkin ini yang terbaik.

Tapi gue salah. Hari-hari penderitaan gue masih terus berlanjut.

Setelah kejadian itu, gue bener-bener gabisa bersikap normal didepan dia. Blas. Tiap ketemu dia disekolah, jantung gue deg-degan parah. Gue langsung memalingkan muka karena gatau mesti bersikap kayak gimana. Setiap ada obrolan yang membahas doi, gue juga pura-pura ga denger. Sekali lagi karena gue gatau mesti bersikap kayak gimana. Sejak saat itu dunia sekolah adalah dunia menyebalkan! Sangat menyebalkan!

Tapi gue masih pengen berinteraksi ama doi! Entah bagaimana caranya!

Cara terbaik yang gue pikirin saat itu adalah melewati perantara gelombang sinyal. Dan jadilah kami menciptakan dunia sendiri, dunia yang berada dibalik potongan kaca tipis berukuran 3,5 sampai 4 inci, dimana kami, atau setidaknya gue, bisa bersikap normal lagi. Dunia yang hanya tercipta di beberapa malam tertentu. Dunia chat.

Tapi pada dasarnya manusia memang serakah, selalu merasa kurang. Inilah penyiksaan kelima, langsung dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Gue pengen jalan berdua lagi ama doi! Cuma berdua, ga pake tambahan cameo cameo gajelas.

Dicoba mengajak doi di weekend pertama, digagalkan karena doi jalan-jalan keluar kota.
Dicoba mengajak doi di weekend kedua, digagalkan karena orang tua doi ngajak jalan-jalan.
Dicoba ngajak doi di weekend ketiga, doi ngajak orang lain sebagai tambahan.
Aaargh, don't you realize? I'm looking for a moment with you alone!

Tiba-tiba gue teringat penggalan pepatah lain yang bunyinya:
"Anything that happen once, won't happen twice"
There's no second date for us

Dan sejak sekitar 2 bulan yang lalu, sikap doi mulai jadi makin dingin. Kali ini dia yang mulai nganggap gue gak ada. Akhirnya dunia sekolah beneran jadi dunia lain. Gue gaada disana buat dia, dia ga ada disana buat gue. Yang tersisa buat gue hanyalah dunia dalam layar kaca itu.

Lebih parahnya lagi, hari ini adalah akhir pekan sekaligus hari ulang tahun doi. Gue pengen ngajak doi jalan, tapi gue tahu bahwa gue udah kalah. Doi lebih memilih pergi jalan bareng orangtuanya. Mungkin dengan ditemani beberapa temannya, yang gue gak termasuk dalam daftar pesertanya. Gue hanya bisa menunggu malam tiba, sebagai pertanda mulainya permainan kata diantara kami berdua.


Setelah pengamatan selama berbulan-bulan yang melelahkan, gue memberanikan diri menarik kesimpulan.

Gue tau yang gue mau.
Gue tau dia kuat.
Gue tau dia periang.
Gue tau dia baik.
Gue tau dia cerdas.
Gue tau itu dia!


Tiba-tiba lagi gue teringat sebuah lagu berjudul Intuisi Cinta:
Ku masih punya waktu untuk mengatakannya.
Ku tak mau buru-buru, biarkan apa adanya.
Ku yakin engkau tahu apa yang kurasakan.
Bersabarlah menunggu, semua akan terasa indah.
Karena hanya kita yang tahu waktu untuk bersama.

Gue yakin sedikit banyak doi sadar kalau gue ada menyimpan rasa. Dan gue akan bersabar menunggu, menunggu saat dimana gue tak sabar lagi menunggu buat ngungkapin semuanya.

Sampai saat itu tiba, gue percaya kita masih punya waktu, dan juga harapan.


--------------------------------------

FINALLY, part 3 sekaligus part final dari kisah Realize
-edit- malah bikin lanjutan disini OTL

Pada awalnya cuma niat bikin satu part. Tapi setelah di-brainstorm ama kak Wulan, 3 orang itu jadi menari-nari di pikiran gue. Minta untuk dibuatkan 'tubuh', agar mereka bisa menikmati dunia. Dan agar dunia bisa menikmati mereka.

Kali ini secara gamblang gue jelasin kalo disini tokohnya cowok, gak abu-abu kayak cerita-cerita gue lainnya. Dan disini gue mendapati menulis isi pikiran cowok jauh lebih gampang daripada menulis isi pikiran cewek.

Tiga cerita ini 'harusnya' nyambung satu sama lain, walaupun kadang cuma ada irisan tipiiiiiiis diantara mereka. Tapi sebenernya mereka ada dalam satu alur yang sama. Semoga gak miss, karena 2 cerita terakhir dikerjakan dengan agak tergesa-gesa.

Terimakasih kepada kak Naya Prastatama yang namanya gue pinjam buat cerita pertama. Peace, Nay :D
Terimakasih juga buat Dio Brando, yang namanya juga gue pinjam buat cerita kedua. Tetap manly, bro.
Dan yang ketiga, terimakasih kepada Kak Wulan, yang namanya juga dipinjam, dan atas ide yang membuat ketiga cerita ini akhirnya terwujud.

As usual, here I lay my pen down.


Yogyakarta, 28 Juni 2015
"To mend my messy and broken head"


Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :

1 komentar:

Anonim mengatakan... Best Blogger Tips

'cameo cameo ga jelas' :)

Posting Komentar